Senin, 02 Agustus 2010

Cerita Untuk Keisha

Hari-hari terakhir kemarin, Bundamu terlihat begitu gelisah. Pokok soalnya karena kamu tidak juga menunjukkan perubahan posisi sejak tiga minggu lalu. Padahal, menurut dokter, begitu ikat rahim Bundamu dibuka, mustinya kamu bisa segera meluncur ke pangkal jalur lahirmu yang Januari lalu terpaksa diikat supaya kamu bisa bertahan.

Ketika tubuhmu masih sekepalan, kondisimu begitu lemah. Makanya, saat kami periksakan ke dokter, rupanya jalur lahirmu sudah terbuka lebar. Ayah dan Bunda tidak punya pilihan lain kecuali mempertahankanmu dengan sebuah operasi penutupan jalur rahim. Istilah kedokterannya syrodkart. Kondisi seperti ini yang umum dikenal orang sebagai kandungan lemah.

Usai diikat, Alhamdulillah, kondisi kritismu bisa cepat terelewat dan kamu bisa berkembang baik. Bobot tubuhmu cepat sekali bertambah, bahkan melebihi masmu Vito ketika lahir, 3,4 kilogram. Tapi, prediksi tidak selamanya sesuai. Dari seharusnya kamu sudah bisa lahir spontan/normal, nyatanya di ujung masa kandunganmu yang sudah mencapai 41minggu, posisimu tidak juga berubah : jauh dari mulut rahim.

Lilitan plasentalah yang membuatmu sulit turun walaupun ikat rahim Bundamu telah dibuka tiga minggu sebelum kelahiranmu. Ini kondisi luar biasa. Bahkan, dokter yang menanganimu, Reino Rambey, sempat bingung. Ini pengalaman pertamanya sepanjang karirnya sebelas tahun sebagai dokter kandungan. Olehnya kami diberi fakta yang mengharuskan kamu harus dilahirkan melalui jalan caesar.

Posisi terakhirmu diakui dokter memang sudah dalam kondisi siap lahir. Hanya saja, lantaran ikatan usus di lehermu, kamu kesulitan turun. Terlebih, hingga kini tidak ada teknologi yang bisa mengetahui panjang tali ari-ari secara persis, sehingga sukar menentukan apakah tali ususmu itu bisa mengulur sampai di mulut rahim atau tidak.

Rahim Bundamu juga sulit terbuka karena tidak ada dorongan dari kepalamu yang sudah tertunduk, siap meluncur. Untuk kondisi ini dokter muda itu memprediksi : tingkat keberhasilan bantuan induksi hanya 20 persen. Kalau mau ditunggu sampai minggu ke-42 pun kemungkinan lahir spontan hanya 30 persen. Angka statistik itu tentu saja mengkhawatirkan, meski peluang tetap ada. Kami putuskan untuk ‘mengambilmu’ saja lewat caesar.

Jumat pagi, 16 Juli 2010—sehari lebih cepat dari jadwal rutin konsultasimu—itu pula kami putuskan untuk ceasar. Jadwal dokter Reino yang padat memaksa bundamu dioperasi pukul 22.00.
Setengah jam sebelum jadwal, Bundamu dibawa ke ruang operasi. Bundamu kelihatan tegang. Terlebih Ayah yang sungguh tak sabar bertemu kamu. Ingin sekali Ayah segera memelukmu. Mendengar tangismu. Membedongimu. Menggantikan popokmu kalau kamu pipis atau pup. Memandikanmu. Bundamu, biarlah beristirahat menyelesaikan tidurnya yang tak sempurna karena sepanjang hari menetekimu.

Masmu Vito bahkan sudah sibuk telpon sejak pagi. Tapi, karena ada psikotes di sekolahnya masmu Vito memilih di rumah untuk istirahat. Tapi kamu beruntung, ada eyang putri dan eyang kakung yang menungguimu. Bundamu bisa sedikit tenang.

Nafas Ayah tiba-tiba terhenti, ketika ruang operasi dibuka tepat pukul 22.35—lima belas menit setelah kamu lahir. Kamu rupanya sudah menunggu di sana. Pada sebuah kubus berlubang-tutup enam tembus pandang, kamu terlihat bergerak-gerak. Tubuhmu masih merah. Sebagian darah Ayah lihat masih tersisa di bagian kepala. Ujung jari kaki dan tanganmu terlihat kisut dan putih. Matamu terbuka malu-malu menatapi wajah Ayah. Kita berbenturan pandang. Dada Ayah berdesir. Kamu terlihat begitu anggun dibalik balutan handuk putih itu…

Ayah kian mendekat. Nafas Ayah makin tak terkendali. Tercekat oleh udara yang terhenti di tenggorokan, air mata Ayah tiba-tiba meleleh. Menyaksikan sebuah Keagungan Allah.

Tak hentinya Ayah mengucapkan syukur atas amanah yang diberikan-Nya. Sungguh kami telah menantikan ini cukup lama. Tangis Ayah seketika tumpah saat harus mengadzankanmu. Suara Ayah dihalangi oleh perasaan yang tumpang-tindih.

Kalimat Allahu Akbar yang Ayah bisikkan ke kuping kananmu tersendat-sendat, bertubrukan dengan haru yang sesak-menyesak. Ayah terhenti, menghimpun kekuatan. Adzan untukmu Ayah sempurnakan dengan susah payah. Lafadz komat dilanjutkan eyang kakungmu.

Bundamu di ruang pemulihan terlihat kepayahan. Ceasar, yang dijalani benar-benar membuatnya kewalahan. Tubuh Bundamu mengigil hebat. Dadanya sesak. Perut kanan-bawahnya nyeri seperti disayat-sayat. Kesadarannya tidak pulih benar. Rupanya obat bius yang ditusukkan di pinggul belakang Bundamu telah mundur secara teratur.

Butuh sepanjang hari untuk menormalkan kondisi pasca operasi itu. Ia cuma bisa berbaring menahan nyeri di sekujur perutnya. Sakit itu bisa diobati saat mendengar kondisimu baik-baik saja. Bundamu terlihat bahagia betul. Kebahagiaannya buncah saat kamu minta ASI diperjumpaan pertamanya dengan kamu.

Seperti pernah terpisah bertahun-tahun, malam pertama itu kami tumpahkan kerinduan untukmu. Kerinduan berlumur doa : semoga kamu bisa menjadi pelindung buat Ayah Bundamu.

Kamu mudah-mudahan bukan sekedar ‘bidadari’ yang cantik, tapi bisa menjadi pemimpin yang cerdas dan tangguh. Sesuai nama yang kami sematkan untukmu : Keisha Almira Rivinata. []

RS Haji Jakarta : 19:07:2010

Langkah Kecil

Langkahnya betul-betul membuatku gugup. Baju ukuran terkecil itu tetap saja terlihat kedodoran.  Bukan saja  baju pendek itu yang sampai separuh lengannya. Juga, coba lihat kerahnya, sempurna menutupi leher mungilnya. Ia  tenggelam di balik kerah putihnya yang masih berdiri tegak macam pagar besi.
Celana juga begitu, tak bisa merapat ke perutnya yang tipis. Lubang ikat pinggang yang dibelikan Bundanya tidak cukup kuat mengunci baju dan celana putihnya yang terus saja meronta minta keluar tiap kali ia bergerak. Aku pun terpaksa melubanginya lagi. Bukan satu tapi dua lubang.

Senyumku sulit disembunyikan saat ia melangkah dengan celana  yang juga setengah dari tungkai kakinya. Dengkulnya mengintip malu-malu, karena memang, hanya bagian tubuh itu saja yang bisa terlihat—selain lengan tangan dan muka—sebab kaos kakinya bisa melesak nyaris sampai betis.

Beban tasnya kutaksir nyaris menyamai bobot tubuhnya. Beragam buku tebal disesakkan ke dalam tas Ben 10 yang kami beli tahun lalu. Seperti hendak pergi berhari-hari, Bundanya menyiapkan aneka panganan  dan minuman, meski kelas pertamanya itu, kelar pukul sepuluh.

Ia terhuyung-huyung memasuki pintu gerbang yang dijubeli para orangtua yang mengantar. Aku memperhatikannya dengan perasaan berkecamuk: senang, haru, was-was,  dan asa.

Mukanya tegang. Aku tidak tahu persis apakah memang kurang tidur, karena ia semalam tidur hingga pukul setengah  sepuluh malam dan sudah harus bangun pagi-pagi sekali untuk memilih posisi duduk.
Atau memang ada beban psikologis sebab bakal menemui lingkungan baru di sekolah. Setahuku, seminggu ini tidak terlihat tanda-tanda yang membebani. Malah, ia ceria sepanjang hari karena eyangnya seminggu menemaninya di rumah.

Ingatanku tiba-tiba terlempar ke tahun 1980, ketika awal masuk SDN 27 Pagi. Aku diantar Ibu saat hari pertamaku. Ibu bahkan rela tidak berjualan di pasar demi aku. Aku sempat menangis, meronta karena tegangnya. Ibu membujukku sedemikian rupa agar mau bersekolah.

Baju yang dibeli Ibu di lapak pinggir jalan Sumur Batu itu, ‘habis’ oleh usapan air mataku yang mengucur. Aku tak peduli. Makin Ibu membujuk, makin keras aku menangis.  Apa Ibu marah? Tidak.  Ibu tidak marah. Ia tidak menyerah dan terus membujuk.

Beragam jurus ia keluarkan demi anak bungsunya supaya berangkat sekolah, kecuali soal jajan atau yang berhubungan dengan uang. Ya, aku tahu Ibu tidak cukup uang untuk membujuk anaknya agar mau sekolah.
Kawan, kami ini keluarga sederhana. Bapak cuma pegawai rendahan di sebuah yayasan yang peduli kesehatan. Gajinya mungkin hanya cukup untuk pendidikan delapan anaknya—yang  masih murah ketika itu.

Soal makan, menjadi domain Ibu.  Keperluan dapur diurus Ibu, termasuk uang jajan. Itu sebabnya, Ibu sulit mengembangkan usaha dari hasil berjualan sayur-mayur di pasar. Bisa memutar dagangan saja sudah baik.
Jatah harian kami pun tidak banyak, hanya lima puluh rupiah per hari. Uang jajan itu ditinggalkan Ibu saban pagi di  bawah taplak mesin jahit sebelah kanan, sebelum Ibu berangkat  ke pasar lepas sholat subuh. Aku sungguh tak mengeluh, meski dua koin  ini hanya pas untuk membeli satu gorengan dan seplastik es kebo, saat jam istirahat.

Aku jarang sekali bisa membeli mainan, macam adu biji karet, tebak manggis, aneka mainan di abang-abang krotokan,  menonton ‘film’ di sebuah layar sempit yang hanya bisa dinikmati dengan diintip satu mata . Atau, kalau yang ingin melalui dua mata, bisa  melihat gambar mati lewat media serupa teropong yang depannya tertutup rata.

Sebagian anak perempuan kulihat banyak yang bertukar kertas surat. Ada satu merek yang kutahu sangat mahal :  Sanrio. Kertas merek ini hanya bisa ditukar dengan lima kertas surat merek lain. Entah, sensasi apa yang dicari dari tukar-tukaran macam itu. Buatku itu terlalu mewah..
Tapi aku bersyukur, masih bisa mempunyai teman-teman yang bisa diajak untuk berbagi, lewat permainan yang kami ciptakan sendiri…(lain kali aku ceritakan, Kawan)

Aku sendiri, tidak ingat bagaimana Ibu akhirnya bisa membujukku. Yang pasti, Ibu menggunakan kekuatan kata-kata yang menentramkan dan energi kasih sayangnya. Aku tidak tahu persis kalimat bertenaga seperti apa yang akhirnya mampu membangkitkan semangatku.
Lamunanku buyar ketika tiba-tiba anakku teriak, “Ayah, buruan donk. Udah mo jam setengah delapan nih!”

***

Sekarang, aku bisa merasakan apa yang Ibuku rasakan dulu. Aku, sama seperti Ibu yang ingin betul anaknya bisa sekolah, sukses bukan cuma urusan dunia tapi juga akhirat. Hingga Ibu tidak ada, aku sampai sekarang masih bertanya, apakah sudah bisa memenuhi semua harapan-harapannya? Sungguh aku tidak tahu.
Maka, ketika aku dapati muka anakku tegang, aku berusaha sebisaku menenangkannya. Tentu saja bukan hanya aku, Bundanya lebih berperan menentramkannya.

Dari balik kaca jendela, kami menatapi lekat-kelat anak kami. Beribu doa dan harapan tercurah untuknya. Sama seperti Ibu dan Bapakku dulu, kami berharadap Vito, anak kami  itu bisa memulai langkah kecilnya dengan benar hingga di penghujung cita-citanya. []

Bojong Kulur: 12:07:2010

Senin, 14 Juni 2010

Negeri Iblis

ada keceriaan yang kutahu diambil dari kesedihan. kami, manusia, yang masih memiliki hati pasti gundah. geram. marah sekali. tersentak oleh pagi buta menjelang subuh. perlukah para iblis itu menyesak masuk ke bilik-bilik kamar, geladak, menembaki manusia lainnya, yang sedang membawa harapan demi jutaan nyawa di sebuah negeri lahirnya semua agama samawi. tak cukupkah sejarah itu melindungi mereka?

bukan. bukan. aku yakin mereka bukan saja memiliki tabiat iblis. aku sungguh percaya mereka memang iblis. dimana pun iblis tidak mengenal solusi kebaikan. urat dan nafas mereka selalu ingin mencari teror dan keributan. ucapan kerap berkelit memaksakan pembenaran.

enam iblis luka, dibayar sembilan-belas nyawa dan puluhan penuh luka menganga. di seberang, jutaan orang menanti mereka. makanan-obatobatan-selimut. sudah tiga tahun negeri terebut itu menangis.
sementara dunia hanya bisa menatap. tidak lebih.

si iblis, terkekeh gembira. makin menantang. bisa membinasakan pahlawan kemanusiaan. iblis sampai kiamat pun tetap benci manusia. yakini itu.  tidak ada dialog untuk para iblis. karena iblis selalu gemar berkelok ucap tanpa ujung. percayalah kalian pasti kalah.  hanya satu cara untuk menghadapi  negeri iblis itu

: lawan

,dengan apa?

apa saja

imanmu dan doamu sudah cukup.

selebihnya biar Allah yang menyelesaikan.

Gelora: 01:06:2010

Good Bye My Lena

Hari ini begitu berat bagiku. Beban psikologis yang beberapa pekan mengganggu batinku, ternyata betul-betul terjadi juga hari ini. Sebuah keputusan pahit terpaksa aku tempuh. Ini bukan soal pilihan tapi realita.

Aku sudah mendampinginya selama delapan tahun. Ya, sebuah periode yang tidak sedikit untuk sebuah romantisme. Aku pertama kali mengenalnya di sebuah acara pekan raya malam. Ia begitu menggoda. Tubuhnya dibalut serba hitam, dengan sedikit lorek biru-hijau-putih yang memanjang. Aku sungguh terpesona. Ia terlihat sangat elegan di bawah sorotan lampu yang menyilaukan.

Sebuah perkenalan pun dilakukan. Aku begitu teliti mencari informasi tentangnya dari berbagai orang yang kukenal, sebagai referensi. Aku memang tidak mudah tertarik pada penampilan sekilas yang pertama. Merasa cukup puas, tak sampai dua minggu, kami pun bisa berjalan bersama, setelah sebelumnya aku memberinya mahar pembuka tiga juta rupiah.

Betul, aku memang tak sanggup untuk keseluruhan syarat yang diberikannya. Untuk meyakinkannya, aku bersedia mencicil mahar itu selama satu setengah tahun, yang tiap-tiap bulannya ku bayar lima ratus enam puluh ribu rupiah. Itupun aku perjuangkan dengan berat, karena keputusan itu sempat mendapat tentangan.

Untuk sebuah mahar yang jujur kuakui sangat memberatkan, ia memang cukup memuaskan.. Selalu setia mendampingiku kemanapun. Di saat hujan, kami berteduh bersama. Di saat terik ia sama sekali tidak mengeluh, meski ku yakini tubuhnya juga kelahan walau tanpa keringat yang keluar.

Aku juga begitu. Berusaha setia sebisaku. Seringkali aku menuntunnya ketika terluka. Membawanya ke sebuah tempat sampai ‘kakinya’ yang terobek sembuh, walau  hari telah larut. Berulang-kali aku lakoni kejadian seperti itu. Aku tidak mengeluh, tetapi justru bersyukur masih bisa ditemaninya.

Ia sungguh tak mengenal waktu ketika mendampingiku. Kapanpun dibutuhkan, ia selalu siap. Ia jarang sekali rewel. Kecuali, jika aku telat memberinya perhatian. Maka, pada periode tertentu aku ‘dandani’ ia. Aku percantik tubuhnya agar lebih mulus agar bisa memuaskanku juga dirinya. Aku juga tentu bangga bisa berdampingan dengan tubuh licinnya. Kesetiaanku dan dirinya, membuat kami begitu menyatu. Sulit dipisahkan.

Tapi kusadari staminanya kian hari mengendur. Jalannya tak lagi seperti dulu : gesit dan sergep. Beberapa bagian tubuhnya terlihat memudar. Aku bukannya tidak lagi memperhatikannya. Bahkan aku sering membawanya ke ‘salon’.  Barangkali karena memang bawaan umur yang membuatnya sulit bersinar. Apalagi, bila sehabis bepergian jauh, tubuh kumalnya sungguh membuatku tidak enak hati.

Pancaran keelokan ketika aku mengenalnya pertama-kali sama sekali tak tampak. Sendi-sendinya bahkan terdengar gemeletuk. Aku merinding tiap kali pergi bersamanya. Takut jika tiba-tiba anfal di tengah jalan.

Sejak aku pindah rumah di Bojong Kulur, Bogor, ia makin sering ‘batuk-batuk’.  Kalau malam lebih menyedihkan lagi. Aku tak berani mengajaknya berjalan-jalan jauh sebab sangat rawan. Aku tidak ingin ambil risiko. Aku harus memutuskan segera. Kalau tidak, aku yang bisa sengsara. Enam tahun mungkin umur yang masih muda. Tapi entahlah mengapa dia begitu cepat rapuh?

Dan, dua tahun bekalangan, ia aku tinggalkan di rumah. Aku terpaksa mencari pasangan baru. Bertubuh besar, tetapi tetap ramping di depan dengan ‘pantat’ tipis di belakang. Bersamanya aku merasa lebih pas. Dengan tubuh sebesar ini, aku tentu lebih serasi. Aku merasakan sensasi baru dengannya.

Maka, ia aku tinggalkan di rumah, kecuali untuk urusan yang tak terlalu berat. Kasihan juga kalau-kalau ia tambah ‘sakit’. Tiap malam aku menatapnya dalam-dalam. Memandangnya dari depan hingga belakang. Mengenang kesetiaannya menemaniku enam tahun dan dua tahun di kesendiriannya. Aku tidak tahu bagaimana ‘perasaannya’ ketika ia disandingkan dengan pasangan baruku.

Ia diam saja.

Kini, sudah saatnya aku melepaskannya dengan ikhlas. Aku juga tidak sanggup meragati dua pendamping sekaligus. Keduanya butuh perhatian penuh. Pada periode tertentu keduanya juga harus dipercantik.Kalau tidak bisa-bisa aku yang repot. Biaya untuk mereka kalau ‘sakit’ jauh lebih mahal.

Dengan yang baru aku juga memberinya mahar awal. Entahlah, ini barangkali kebiasaan burukku. Tapi memang segitu kemampuanku untuk mencari pendamping baru. Toh, mereka senang-senang saja. Dengan yang ini aku memberinya delapan juta. Tiap-tiap bulannya aku cicil mahar itu sejumlah empat ratus dua-puluh satu ribu rupiah, selama dua tahun.

Terus terang dengan kondisi keuangan sempit seperti itu aku tidak sanggup, keuanganku terbatas. Aku harus menyisihkan rupiah cukup besar untuk mereka. Selain keperluan bayar sekolah, les, listrik, PAM, iuran RT, tagihan kartu kredit, cicilan koperasi, tagihan internet, jajan anak, pembantu dan seabrek keperluan lainnya.
Maka ketika ada seorang pria yang berminat, aku siap merelakannya. Ia tentu saja tidak menolak. Berharap ada perbaikan nasib.

Pria ini berjanji akan merawatnya dengan baik, dan berikrar memperlakukannya sama seperti aku dulu. Kalau tidak, aku tidak akan melepaskannya. Dari rautnya dan tuturnya aku percaya pada laki-laki ini.

Kini, ia benar-benar meninggalkanku bersama kenangan dan romantisme yang tersimpan bersamanya. Namun, apa pentingnya kenangan manis kalau itu justru membebani dan memberatkan. Lagi pula, masih banyak yang harus dipikirkan. Toh, dengan melepaskannya aku justru teringankan.

Tapi, yang aku sesalkan, selama delapan tahun kebersamaan kami, tidak ada satu pun foto yang bisa diabadikan dengannya. Hanya ada dua  foto yang aku ‘jepret’, sesaat sebelum ia dijemput sang pria, yang sungguh menginginkannya.

Aku harus tegar. Tidak boleh cengeng. Toh aku sudah mendapatkan dua juta lima ratus ribu rupiah dengan melepaskanmu, Lena.

\Mungkin harga itu terlalu murah untuk sebuah Honda Legenda 2002. Tapi, ya sudahlah…Toh aku masih memiliki pasangan baru, si Suzi, yang bertubuh besar-ramping meski lebih boros darimu.
Bersama Suzi yang secepat  dan sesangar guntur aku berharap juga bisa lebih langgeng, persis seperti saat-saat bersamamu, Lena.

Good Bye My Lena… []



Bojong Kulur: 11:06:2010

Rabu, 19 Mei 2010

hilang


dua pagi tanpa ciuman
meringkuk kecut di kesendirian
: perih

aku
masygul
kamu
isak

hadirmu tak mengganjilkan
pergimu begitu menggenapkan

,aku dimana
,kamu entah


Bojong Kulur: 20:05:2010

Selasa, 18 Mei 2010

Sundal Kampung

Aku bukan sundal atau pelacur
Aku hanya berbalas budi
Jangan tanya kenapa
Karena kalian, aku begini

Aku dilahirkan tidak seperti kebanyakan bayi perempuan di kampungku. Perempuan sering diposisikan sebagai pelengkap. Bahkan, lebih buruk dari itu. Kaumku mungkin lebih pantas dianggap sebagai budak. Dipaksa bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan semata pelengkap, tapi ujung tombak, juga tulang punggung.

Ibuku juga begitu. Sehabis menyiapkan sarapan nasi putih ditambah semangkuk sayur tumis campur tempe tanpa lauk, ia sudah bergegas ke belakangan. Memberesi setumpuk cucian yang kemarin kami pakai. Berjarak lima ratus meter ke bawah, tempat dimana air sungai mengalir deras, Ibu membilaskan semua pakaian kami. Setumpuk cucian setengah basahd dalam anyaman itu kemudian dinaikkan di atas pundak sebelah kiri, sembari bertopang pada tangga-tangga batu yang licin dan perpegangan di ranting-ranting pohon yang ringkih.

Tak sampai sejam di bawah, ia harus bersegera  menjerengkan pakaian-pakaian agar  cepat mengering, karena siang di kampungku terasa lebih pendek. Ia kemudian berbilas sebentar, di kamar mandi bambu kami yang atapnya terbuka. Jambannya hanya bersebelahan yang kalau berdiri niscaya auratmu kelihatan.

Ibu biasa mengenakan semacam jarik kalau mandi. Berjaga-jaga kalau-kalau ada yang nakal menikmati kemolekan tubuh Ibu. Tubuh Ibu putih mulus. Wajahnya memanjang dengan dagu lebah menggantung, serasi dengan pipinya yang tirus. Matanya menyipit ke atas, dihiasi ratusan semut alis yang menyatu tipis di tengah dahi. Rambutnya meski saban hari  digelung, tetap terlihat lurus tebal jika diurai. Betisnya talas mungil, dihiasi bulu-bulu kecil. Pinggulnya meliuk tajam tepat di perut. Jika berjalan, siapapun akan terpesona.
Ibu memang cantik. Teramat cantik seperti parasku, begitu teman-temanku bilang. Aku sendiri merasa biasa saja. Mungkin kesamaan nasib yang, kelak, membuat  kami serupa.

Aku dilahirkan sebegitu beruntung. Kalau tidak, mana bisa aku  sebesar ini. Seperti aku bilang, di kampungku perempuan memang kurang diinginkan. Perempuan terlanjur dianggap lemah, dan karenanya bisa dibuat semena-mena. Kalau perlu dibinasakan. Tidak. Aku tidak belebihan.

Buktinya, jumlah kami hanya kurang seperempat dari lelaki. Hanya perempuan-perempuan beruntunglah yang bisa dibiarkan hidup besar. Kami tak lebih sebagai pemuas nafsu. Dan kerbau  pembajak nafkah.
Lelaki ditakdirkan sebagai penerus trah yang begitu diangungkan, sakral dan suci. Meski sejatinya mereka sungguh sebagai mahluk pemalas, sekaligus serakah bahkan dibandingkan monyet sekali pun.

Di rumah, kami hidup sepasang : dua lelaki dan dua perempuan. Adikku yang masih kecil, sering diperlakukan istimewa. Bangun tidur, bisa langsung duduk santai di teras rumah sambil tidur-tiduran lagi di bale-bale dan memerintahku seenaknya untuk dibikinkan teh juga pisang atau singkong rebus.  Ini bukan kurang ajar, karena memang begitu tradisi di kampungku.

Aku tidak berani menolak meski terhadap adikku sendiri. Penolakan perintah lelaki dianggap dosa besar, walau keluar dari mulut seorang bocah lelaki kecil.  Aku pernah dipukul sampai pahaku memerah, ketika adikku minta diambilkan minum sehabis makan. Aku sebenarnya bukan enggan, tapi kebetulan saja perutku sedang sakit.

“Cai, kamu dengar tidak, adikmu minta diambilkan minum?” teriak Bapak.

“Sebentar Pak, perutku lagi sakit,”

“Ah, alasan. CEPAT  ambilkan!” perintahnya keras.

“Aku gak bisa berjalan, Pak. Sakit,” aku merintih.

Bapak tidak lagi bicara. Kali ini, ia mengambil pukulan kasur rotan yang tergantung di samping pintu. Tanpa ampun, ia menarikku dari kursi. Memukul dengan kekuatan penuh mengenai paha depanku. Aku menjerit. Percuma aku menangis, bisa-bisa pukulannya makin kencang. Cara satu-satunya adalah  melaksanakan perintahnya.

Ibu terdiam. Sama sekali tidak membela. Matanya nanar, penuh iba ke arahku. Aku tahu, hatinya ikut sakit, tapi tak bisa apa-apa. Ia memberikan isyarat mata yang dipejamkan sebentar. Aku paham isyarat itu, agar segera memenuhi permintaan Bapak. Tidak ada gunanya lagi berbantah.

Keberadaan kami dibatasi. Baik secara definitif atau karena eksternalitas negatif sikap biadab para lelaki. Atau, aturan adat yang sudah keblinger. Begitu ada seorang Bapak yang tahu bahwa istrinya  mengandung anak perempuan, segera digugurkan.  Di bekap bapaknya sendiri, atau lewat dukun.
Kalau sudah terlanjur membesar akan dibiarkan. Tetapi dengan terlebih dahulu dibicarakan dan dikompromikan dengan tetua adat. Perlakuan apa yang pantas untuknya jika besar nanti.

Hidup bukan berkah bagi kami, kaum perempuan yang dibiarkan hidup. Penderitaan jauh dari selesai. Berbagai perlakuan diskirminatif segera diterapkan. Soal kewajiban, fasilitas, apalagi hak. Banyak di antara bayi-bayi perempuan yang akhirnya dibolehkan hidup itu akhirnya mati mengenaskan. Tentu saja, para dukun sedeng itu akan membiarkan bayi-bayi perempuan ini mati jika mengalami sakit. Layanan kesehatan adalah barang mahal.

Nyawa seorang bayi perempuan bukan lagi di tangan Tuhan. Tapi sekumpulan orang-orang sinting itu. Hanya warga tertentu yang boleh membesarkan bayi perempuannya. Aku salah satunya. Karena aku istimewa…

Bukan karena kebetulan Bapakku atau moyangku termasuk trah terhormat, sehingga Ibu dibolehkan melahirkan bayi perempuannya. Seperti ku bilang, paras Ibu memang cantik, jauh melampaui perempuan-perempuan di kampungku. Ibu memang bukan penduduk asli. Ia pendatang, yang karena keterpaksaan dikawinkan dengan Bapakku yang gila perempuan.

Bapak muda memang sering keluar kampung kalau sedang suntuk di rumah. Layaknya lelaki kebayakan di kampungku, Bapak tidak mempunyai pekerjaan tetap. Untuk mendapat uang Bapak sering ke kota. Bukan bekerja tapi berjudi. Apa saja bisa dijudikan di sana. Mulai sabung ayam, main kartu, taruhan sepakbola tarkam, atau apa saja. Apapun bisa dipertaruhkan.

Kegilaannya terhadap judi pula yang menghantarkannya pada sosok perempuan yang belakangan dinikahinya. Ia naik pitam ketika ditantang lawan judinya bermain gaple sembilan putaran tanpa henti. Kumis Bapak memang ketel, tapi selalu dilecehkan karena dianggap pengecut. Seminggu sebelumnya, Bapak terbirit  dikejar lawan main karena meninggalkan arena yang dimenangkannya separuh.

Tak terima lecehan, ia menaikkan taruhan tak masuk akal. Bapak tidak minta taruhan benda apalagi uang tapi seorang perempuan,  istri di antara pemain lawan yang baru dinikahinya seminggu. Bapak menawarkan dua adik perempuanya. Tentu saja buat Bapak ini bukan taruhan berharga. Mungkin justru buang sial.

Dari sembilan pertandingan, Bapak memenangkan lima seri. Di sini tidak ada yang berani  ingkar. Karena itu sama artinya dengan kematian. Keman pun pasti dikejar, sebelum kemudian dibunuh. Bapak berhasil  membawa perempuan berparas cantik itu ke kampung untuk dinikahi. Semua tertegun menyaksikan perempuan ini. Benar-benar cantik. Luar biasa.

Pemuda-pemuda berkerumun ketika Bapak memamerkan perempuan belia itu. Bahkan, sore itu pula meminta restu agar bisa dinikahkan dengan tetua adat.

Malamnya, Bapak langsung mengajak perempuan ini  ke sebuah gubuk. Ia membiarkan pintu setengah terbuka dan jendela separuh tertutup. Ia ingin memamerkan keperkasaan dan kehebatan mendapatkan gadis secantik ini. Kegairahan itu diumbar. Libo laki-laki penjudi itu benar-benar seperti monyet.

Tujuh bulan setelah itu, kandungan Ibu makin besar. Dukun sudah bisa memprediksi bayinya perempuan. Bapak tentu saja murka. Ia ingin segera mengugurkan keturunannya sendiri. Tapi, Ibu menampik keras. Bapak tahu, perempuan hanya akan menjadi beban dan menyusahkan.

Ibu sampai tersedu, memohon agar bayi ini dipertahankan. Ia bahkan berjanji akan berbuat apa saja agar bayinya bisa tetap hidup. Di hadapan tetua adat, Ibu akhirnya diizinkan membesarkan anaknya. Hanya saja, perlu  satu transaksi sinting yang harus disetujui: kelak ketika anak peremuannya besar, ia harus bersedia menyemai benih para lelaki yang ditunjuk di kampung ini. Alasannya juga tidak masuk akal : merubah keturunan kampung ini-secara fisik.

Jujur, tampang-tampang mereka memang menjijikan. Bukan. Aku tidak ingin menghina Tuhan yang menciptakan manusia. Hanya… hanya tak habis mengerti saja, mengapa mereka bisa tetap bertahan hidup dengan prilaku binatang seperti itu. Wajah buruk mereka memang mencerminkan perangainya. Sama sekali tidak ada keseimbangan.

Ibu menangis. Ia dihadapkan pada pilihan buntu. Ingin mempertahankan bayi ini atau membiarkannya mati sebelum lahir. Ibu menawarkan diri. Tapi Bapak menolak. Tentu saja pria egois ini tidak ingin berbagi kenikmatan dengan pria-pria lain. Ibu sulit membayangkan anak perempuannya kelak diperlakukan seperti pelacur.

***

Kini, di umurku yang sudah 25 tahun, aku makin tersiksa. Anaku sudah sepuluh. Tersebar di beberapa rumah. Ibu, kian hari sakit-sakitan. Fisiknya tak lagi kuat mengangkut berkilo-kilo ikan tambak milik tetua adat. Bersama perempuan-perempuan lain, Ibu terpaksa mencari uang sebagai kuli, bertahun-tahun.

Tapi, ada yang tak berubah. Parasnya tetap cantik, menawan siapa saja yang melihat. Bapak masih sulit melepaskan Ibu meski itu yang meminta sang tetua adat sendiri. Dan karena itulah aku tetap jadi pelacur di sini. Kian hari kebencianku memuncak para pria itu. Ia menyandera Ibu sebegitu rupa. Kelakuannya juga makin tak dibendung. Makin sering mabuk, madat judi dan tetap main perempuan di kota.

Aku juga terpenjara dalam kampung keparat ini. Ingin sekali aku melepas statusku sebagai sundal kampung. Tapi, aku sulit lari dari keadaan. Aku ingin mati, tapi tak bisa. Aku berusaha berkali-kali coba  bunuh diri, tapi tak kuasa. Bapak bersama tetua adat sepakat akan menghabisi Ibu juga kalau sampai aku mati. Aku dihadapkan lagi-lagi pada pilihan buntu. Ibu yang membuatku hidup. Lantas, pantaskah aku yang harus “membunuhnya”?

Aku makin tersiksa karena delapan dari sepeluh anakku perempuan. Mereka cantik-cantik dan tampan-tampan. Kampungku memang sudah berubah sekarang, setidaknya dari raut dan fisik yang enak dilihat. Orang-orang kampung ini makin menginginkan aku. Tubuhku. Bukan cuma vaginaku, tapi rahimku. Kelak, mungkin juga anak-anak perempuanku.

Barangkali aku, Ibu juga anak-anaku adalah spesies yang memang mereka inginkan selama ini. Sialnya, aku hanya sendiri, menghadapi birahi dan hasrat lekaki kampung bejat yang ingin merubah kampungnya menjadi sempurna, meski kosong jiwa.

Kalian, tak usah tahu nama lengkapku, panggil saja aku Cai, si wanita sundal-pelacur. Begitukan mau kalian? []

Bojong Kulur: 18:05:2010

Minggu, 16 Mei 2010

Empat Sahabat

Persahabatan ini terjalin begitu saja. Bukan karena kebetulan aku duduk berpunggungan, lantas bisa berakrab dengan mereka. Dua teman sekelas wanitaku ini memang spesial.  Gayanya lugas, cerdas dan ceplas-ceplos. Terkadang juga kritis, tajam pada pokok persoalan. Suka humor, dan ini yang ku suka : wawasannya luas.

Aku tahu mereka ini begitu banyak membaca dari berbagai sumber bacaan. Apa saja bisa dibincangkan dan selalu nyambung. Soal politik, ekonomi apalagi cerita-cerita. Aku kalah jauh. Soal prestasi sekolah, seingatku duet perempuan ini termasuk yang diperhitungkan. Kalian jangan tanya aku soal prestasi sekolah, aku malu.

Satu lagi karib sebangkuku yang juga asik diajak berteman.  Ia lebih kecil dariku tapi soal kelincahan tak diragukan. Gesit dalam bergaul dan bisa merangkul, juga beradaptasi dengan mudah pada siapa saja. Kalian tahu, ia yang “menyelamatkanku” ketika teman sebangkuku terdahulu minta pindah tempat duduk, meninggalkanku.

Aku memiliki satu kelemahan utama yang memaksa harus duduk di deretan paling depan. Sejak SMP aku memang begitu. Dengan minus besar, bawaan sejak lahir, aku sulit sekali melihat papan tulis dengan jelas. Alih-alih bisa menjawab pertanyaan guru, membaca soalnya pun sulit. Aku tersiksa betul jika ada kebijakan rolling tempat duduk.

Ketika banyak teman berebut  datang pagi untuk pilih posisi duduk di awal ajaran, aku justru paling  tenang. Sudah dapat dipastikan jarang ada yang mau duduk paling depan. Kalaupun ada pasti “kecelakaan”. Bagiku justru berkah.

Ketika SMP aku sempat ditinggalkan teman sebangkuku juga. Ia pindah bukan tanpa alasan. Prilakunya yang nakal membuat ia dipindahkan ke kelas lain. Karena sulit diatur, ia akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Kabar terakhir yang ku dengar, ia kini sudah almarhum karena kelebihan dosis. Ah, sudahlah aku tak ingin menceritakan aib orang yang sudah tidak ada.

Ada satu kebiasaan kami yang selalu kuingat hingga kini. Karena bosan belajar dan mendengarkan ocehan guru, kami berempat sering ngobrol lewat secarik kertas. Kata-kata berbalas kata-kata. Ada cemooh, canda, gosip, atau informasi gak penting. Tapi kami sering cekikikan. Tawa kami terhenti begitu guru menoleh. Kertas, kami sembunyikan sebisa-bisanya. Kalau aku, paling hobi menyimpan di paha bawah.

Tanpa kami sadari cara komunikasi seperti itu justru efektif. Membuat suasana kelas tidak jemu dan mengikat keakraban. Segala yang sulit diverbalkan, mudah tertuang dalam satu-dua baris kalimat atau kurang. Kami bisa menumpahkan apa saja lewat  media itu.

Dua pria dan dua wanita.  Inilah kami. Unik karena kebebasan dalam bergaul. Perasaan hati lepas karena masing-masing dari kami bisa menjaga privasi. Aku tahu, dua teman wanitaku ini memang sudah memiliki teman pria yang ditaksir. Aku tahu betul itu. Begitu juga dengan teman sebangkuku yang juga tidak lagi sendiri. Aku, juga begitu. Inilah enaknya bersahabat yang tanpa sekat.

Keakraban ini berlanjut sampai-sampai jika ada di antara kami yang ulang tahun, kami patungan memberi sebuah hadiah. Tidak mahal, tapi sungguh berkesan., Satu kado yang ku ingat betul ketika aku ulang tahun adalah seperangkat alat tulis, lengkap. Pensil isi ulang, pulpen, penghapus juga penggaris. Semuanya berwarna unggu. Entah mengapa mereka memilihkan warna yang tak kusuka. Tapi demi mereka tentu saja aku suka-sukakan.

Sebagai  balasan, si penerima kado harus mentraktir kami. Dan, karenanyalah peristiwa itu terjadi.
Dengan berpakaian sekolah yang masih lengkap, kami berangkat menuju Pasar Baru. Naik metromini  P10 dari depan sekolah kami turun di Pintu Besi. Panas yang menusuk sirna oleh keceriaan kami. Aku lupa, siapa yang akan mentraktir hari itu. Yang jelas referensi untuk makan mie ayam ini datang dari temanku yang memang gemar mie. Mungkin karena ia seorang keturunan. Kalian pasti sudah pernah dengar, namanya Bakmi Gang Kelinci.

Seumur-umur aku belum pernah ke sana.. Tempatnya di belakangan pertokoan Pasar Baru. Tempatnya memang di gang yang sumpek. Jejal-berjejal dengan rumah-rumah penduduk yang padat. Aku juga tak mempertimbangkan lagi, apakah makanan itu halal atau tidak. Aku percaya saja. Dan harus diakui, mie ayam ini memang benar-benar bisa menggoyang lidah.

Pulang dengan badan yang masih kuyup keringat, kami tidak langsung mencari bus pulang. Tapi, sebentar melihat-lihat keramaian mall. Inilah bodohnya kami. Pergi dengan tidak berganti pakaian. Kami begitu mencolok. Di era yang sedang getol tawuran, kami benar-benar santapan empuk.

Empat pria tanggung, sebaya kami tiba-tiba menghampiriku dan juga teman sebangkuku. Dengan wajah yang disangar-sangarkan, salah seorang dari mereka mencolekku. Ia mendekatkan hidungnya yang bau ke kuping kiriku. Nada ancamannya memang membuat aku takut. Bau alkohol dan keringatnya membuatku mual. Aku bertahan dengan berbagai alasan, ketika mereka meminta sejumlah uang.

Aku tahu mereka juga terjepit karena suasana yang ramai. Aku mengulur waktu. Aku dipaksa ke sudut deretan celana-celana jins tapi kutolak. Aku tetap bertahan. Sekali lagi, aku molorkan waktu. Sayang, tidak demikian dengan teman sebangkuku. Ancaman beralih padanya, begitu mereka melihat ada jam yang melingkar bisa direbut. Siapapun akan menyerahkan barangnya, kalau sudah terjepit seperti itu.

Ia akhirnya merelakan jam hitamnya. Aku mengigil takut. Sungguh, aku tak membayangkan kalau mereka tidak mendapat sesuatu yang tidak diinginkan. Sekali lagi, temanku “menyelamatkan” kami. Meski untuk itu ia harus kehilangan jam tangannya. Lebih beruntung lagi, dua temanku yang lainnya tidak sempat diapa-apakan. Mereka berada dalam jarak yang aman.

Kami pulang dalam kebisuan. Ayunan kaki  kami dipercepat, dua langkah-dua langkah. Menghindari mereka yang sebenarnya sudah menghilang. Tapi, ketakutan itu tetap saja sulit dihapus, bahkan hingga di rumah.
Kini, 18 tahun sudah peristiwa itu berlalu. Aku juga tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke Bakmi Gang Kelinci.  Pengalaman pertama, mungkin juga terakhir.

Ini hanya sekelumit cerita kecil tentang tiga teman-teman baikku semasa SMA. Kapan-kapan  akan aku ceritakan lagi cerita lainnya. Aku sungguh tak ingin kehilangan mereka, setelah belasan tahun tak bertemu, meski lewat maya.

Cerita ini bisa saja tidak menarik atau membosankan. Tapi kisah ini adalah sepotong memori yang kurajut dalam kerinduan. Persahabatan itu terlalu berharga untuk dihapus.

Glora: 10:05:2010