Selasa, 29 Desember 2009

"Mahkota" untuk Pejabat


Ada saja alasan pejabat untuk ganti mobil. Kendaraan mewah Toyota Camry para menteri  dan juga pejabat negara lainnya, semisal pimpinan DPR, MPR dan DPD serempak diganti. Dengan yang lebih mewah tentu. Masih dari Toyota tapi kali ini naik kelas menjadi Crown Royal Saloon yang harganya juga tak main-main, Rp 1,3 milyar.

Barangkali sebagian menganggapnya wajar karena mobil dinas sebelumnya sudah berumur lima tahun. Para pejabat penerima tentu meminta masyarakat agar tidak membesar-besarkan masalah ini  karena memang sudah seharusnya. Alasannya jelas  untuk menunjang tugas-tugas. Selama ini konon, mobil dinas lama sering ngadat. Sehingga, tak layak untuk diteruskan. Ini 'lagu' lama. Karena ketika akan mengganti Camry pun, alasan yang dikemukakan juga sama, sering mogok.

Saya pernah mendapat cerita, seorang menteri era Megawati sempat mogok mobil di puncak, persis pas tanjakan. Volvo tua yang dianggap paling prestisius ternyata harus nyerah dan ditarik turun ke Jakarta. Sang menteri sewot dan harus pindah mobil. Volvo para menteri lainnya konon juga begitu, maka tak heran banyak juga menteri yang justru menggunakan kendaraa lain. Harganya pun jatuh. Volvo bekas menteri itu dilelang dengan cuma seharga Rp 70 juta.

Lantas, apakah Camry juga memiliki kinerja seperti Volvo yang sering ambekan itu? tak jelas. Yang pasti, untuk menambah prestise pejabat, rasanya perlulah status kendaraan pun dinaikkan. Barangkali malu, jika harus menjamu tamu-tamu dari luar. Camry gress saat ini paling-paling 'cuma' Rp 650-jutaan. Yang bekas lebih murah lagi, Rp 175 juta. Pertanyaannya apa kita tega jika pejabat kita harus menggunakan mobil yang barangkali sekelas dengan harga Avanza baru, mobil yang sudah begitu merakyat? Itu artinya kita menyamakan pejabat dengan rakyat kebanyakan, bukan?

Kalau memang kita kurang rela pejabat kita direndah-rendahkan maka perdebatan pembelian mobil itu sebaiknya dihentikan. Tapi tentu ada harga yang harus dibayar. Apa pantas jika pejabat menggunakan mobil mewah jika kerjanya begitu-begitu saja? Kalau memang dianggap berlebihan maka yang perlu dikejar adalah kinerja mereka. Biarkan saja mereka (para pejabat) itu menikmati kemewahan, bukankah itu justru menjadi senjata rakyat untuk mengkritik lebih pedas lagi jika apa yang mereka lakukan jauh dari harapan rakyat. Kalau perlu tuntut mereka untuk mundur jika ternyata hasil kerjannya jauh dari harapan rakyat, enakkan? Jadikan mobil baru itu adalah alat kritik ampuh.

Tapi kita boleh juga tidak setuju. Pembelian mobil baru sangat mengada-ada. Setahu saya kondisi Camry sebelumnya juga masih baik-paling tidak bodinya-. Lantas kalau memang hendak ingin diganti, apakah harus yang harganya terpaut jauh. Ini menimbulkan pertanyaan besar. Pemerintah sering mengeluh tidak memiliki dana untuk berbagai pengeluaran pembangunan, tetapi mengapa untuk belanja mobil bisa? Okehlah diganti, tapi tidak perlulah Crown  yang harganya membuat rakyat miskin makin tersiksa batin.

Anggaran yang harus digelontorkan pemerintah untuk pengadaan 79 mobil anyar itu lumayan spektakuler, mencapai  Rp 126,79 milyar (baca: Rp 126.790.000.000). Jumlah itu membengkak dari yang semula disetujui Panitia Anggaran DPR Rp 63,99 milyar.  Duit sebanyak itu rupanya tidak termasuk untuk membayar pajak untuk sebuah mobil yang poskan sebesar Rp 810 juta. Pajaknya sendiri bisa mencapai Rp 62,805 milyar. Inilah yang kemudian diajukan Menkeu sebagai dana tambahan.

Itu belum termasuk biaya bahan bakar yang boros minum. Bisa dibayangkan kekuatan minum mobil mewah berkapasitas 3.000 cc itu. Harusnya mobil pejabat dipilih yang hemat energi. Bagaimana rakyat bisa dipaksa-paksa untuk irit bahan bakar jika mobil para pejabatnya saja doyan minum.

Sementara di lain pihak, rakyat masih saja kesulitan memenuhi kebutuhan hidup yang masih tinggi. Belum lagi kekhawatiran akan ancaman kenaikan harga BBM di 2010, tarif TDL yang konon juga naik. Atau harga elpiji yang dalam hitungan bulan mungkin akan naik lagi. Belum tarif air dan lain-lain.

Apakah memang sebegitu kritisnya Camry sehingga harus diganti? Toh, kendaraan bukanlah penunjang esensial dari sebuah kinerja, gengsi mungkin iya. Apakah kita mementingkan harga diri, sementara rakyat dibiarkan terlantar. []

30 Desember 2009

Awal dari Akhir

Di tengah hiruk pikuk politik dan kasus korupsi yang memanas, ada kabar menyejukkan. Prita Mulyasari akhirnya divonis bebas oleh PN Tangerang. Kemenangan Prita atas RS Omni Internasional menegaskan banyak hal. Perjuangan ibu dua anak ini sungguh bukan sebuah akhir, tapi awal atas perjuangan yang banyak dialami oleh sebagian besar masyarakat.

Kasus Prita bukan lagi perseteruan antara orang 'kecil' melawan 'raksasa' tak terkalahkan. Prita jangan pula dianggap pesakitan yang bisa dipermainkan hukum. Mungkin ia dulu kecil, kini setelah jutaan orang mendukungnya, posisi pun menjadi seimbang. Lihatlah begitu ia diharuskan membayar Rp 204 juga karena kasus perdatanya, seluruh Indonesia mendukung dengan koin-sebagai representasi kaum lemah-hingga mencapai Rp 810 juta.

Dan, PN Tangerang telah melihat ini secara adil. Bahwa, memang tidak ada pelanggaran apapun yang dilakukan Prita terhadap keluhan-keluhan pelayanan dari RS internasional. Untuk itu, wajar Prita harus mendapatkan rehabilitasi namanya karena sempat tercemar. Yang lebih menyakitkan, terpenjara 21 hari dan jauh dari anak-anak yang sangat butuh kasih sayang seorang ibu yang masih menyusui.

Keadilan seperti inilah yang selalu dinanti rakyat. Meski disambut gembira, kita prihatin apakah untuk menghasilkan keputusan adil, perlu dukungan puluhan juta rakyat. Dan betapa terkurasnya energi kita jika untuk satu kasus hukum yang dirasa mengusik rasa keadilan, harus perlu mendapatkan perhatian media dan dukungan publik. Seharusnya, para penegak hukumlah yang sudah bisa menjalankan tugasnya lewat hati nurani agar hukum tak memihak kecuali terhadap kebenaran. Supremasi hukum mestinya berjalan bukan oleh desakan apalagi sebuah people power karena itu sejatinya juga tidak sehat. Menandakan ada yang tak beres dalam sistem dan proses.

Di satu sisi, fenomena dukungan terhadap Prita menunjukkan bahwa gerakan rakyat tidak lagi bisa disepelekan. Kita tentu ingat bagaimana derasnya aliran dukungan terhadap pembebasan Bibit dan Chandra. Keduanya juga dinyatakan bebas karena juga dorongan masyarakat, melalui berabagai forum dan media, termasuk dunia maya. Kelihatannya memang suara rakyat seperti ini tak bisa disepelekan. Dan, siapapun kini harus hati-hati menempatkan hukum demi kepentingan tertentu. Rakyat sudah pandai apalagi dibodoh-bodohi untuk melihat suatu kasus. Percayalah kebenaran akan selalu terungkap.

Perjuangan Prita tak berhenti di situ. Kini yang perlu dilihat, UU ITE yang selama ini menjadi momok orang untuk berpendapat perlu direvisi. Prita merupakan tumbal pertama atas UU ini. Konyolnya, setelah Prita dinyatakan bebas, di saat bersamaan para pekerja infotainment menjerat Luna Maya atas tuduhan mencemarkan nama baik akibat dianggap merendahkan martabat. Ini seperti menikam dari belakang. Karena pers yang paling rentan terhadap jeratan UU ITE ini sudah begitu gigih memperjuangkan agar Prita bebas. Tetapi mengapa tiba-tiba para pekerja infotainmen itu seperti menelikung.

Bagaimanapun, kebebasan berpendapat adalah hak paling hakiki. Inilah ciri sebuah negara yang berdemokrasi. Tanpa itu, demokrasi hanya slogan tanpa isu. Perkasa tapi mandul. Kebebasan berpendapat yang dianggap kebablasan bisa dilawan lewat pendapat pula, dan tidak dengan memenjarakannya. Itu sama saja kita ditarik untuk kembali ke masa tiran dulu.

Pertanyaan pokoknya adalah siapkah pemerintah untuk mendukung kebebebasan perbendapat dengan tidak saja sebatas pernyataan dan slogan, tapi diwujudkan dengan perubahan aturan-aturan yang dianggap mengekang. Lebih penting lagi, apakah aparat sudah mampu bertindk adil, dan mengedepankan hati nuraninya dalam menegakkan hukum. []

Jakarta, 29 Desember 2009

Senin, 28 Desember 2009

Penjual Buah Sialan!!

Sepekan lalu saya berbelanja buah di kios yang baru saja berdiri. Cukup lengkap dan bersih. Buah yang dijual terlihat dari pinggir jalan begitu segar dan menggiurkan. Nah, ini nih pilihan toko buah yang bisa dijadikan langganan, pikir saya. Paling tidak, selama ini, tiga hari sekali saya selalu beli buah di kios yang kecil dan kurang tertata rapi, walau saya akui buah-buahan yang dijualnya juga berkualitas baik.

Rupanya, penampilan bukan berarti cermin dari isi. Begitu seringnya kita tertipu soal penampilan. Terhadap seseorang juga begitu. Dengan gampangnya kita mencurigai  seorang yang berpenampilan kusam, klombrot, pakaian yang kurang baik dengan tuduhan di hati yang pasti negatif. Kita selalu menempatkan kata "Jangan-Jangan" dalam benak dalam pertemuan dengan orang bertipe seperti itu. Ini berbahaya karena tak selamanya apa yang kita duga benar. Barangkali justru di balik orang-orang seperti itulah kebaikan justru tersimpan.

Saya sekali lagi terjebak dalam pikiran seperti itu. Saat memasuki toko buah pinggir jalan itu, penjual toko yang saya duga juga pemiliknya memang berpenampilan rapi : baju dimasukkan, pakai kemeja dan celana bahan. Tidak bau keringat. Tapi, mukanya masam, tidak ramah dalam pelayanan. Saat saya  coba menawar dengan ketus dia berujar, "Harga pas GAK BISA DITAWAR."

Selera saya langsung jatuh, tapi saya tetap  bertahan. Beberapa buah pir saya buka dari bungkusnya. Karena dalam kondisi tidak baik, saya batalkan pembelian pir Ya Lie itu. Saya pun memilih pir madu. Agar bisa melihat jelas kondisi buah-buah itu, saya kembali buka bungkus-bungkusnya. Kontan ia menghardik, "Jangan dibuka-buka gitu. Kalau dibeli sih gak apa-apa."

"Lho, kalau tidak dibuka saya tahu dari mana kalau ini baik atau tidak," suara saya tak kalah keras.
"Saya jamin pasti bagus."
"Gak bisa begitu, itu namanya penipuan."
"Ya udah, mending gak usah beli aja," pejaja itu sewot.

Saya segera menarik badan keluar toko yang tiba-tiba serasa panas dan sumpek itu. Saya tak habis mengerti mengapa masih saja ada penjual yang ketus. Kalau pembeli tidak boleh memilih, apa itu tidak penipuan. Penjualan buah sialan itu, dalam hitungan bulan saya jamin pasti akan tutup jika tetap mempertahankan pelayanan seperti itu.

Saya pun kembali pada toko buah yang kecil dekat Pasar Pocong, Bojong Kulur itu. Meski penjualnya berbau keringat dan tak rapi, tapi masih ada senyum dari penjualnya. Jauh lebih penting lagi, di sana ada kejujuran. []

Bojong Kulur, 28 Desember 2009

Selamat Datang, Blog!

Ini merupakan debut pertama saya di dunia blog (tulisan ini dibuat tahun 2007). Jujur saya akui, keinginan ini sudah lama sekali terpendam. Entah mengapa baru kali ini kesampaian. Barangkali saya termasuk orang yang malas untuk bersusah. Padahal, fasilitas yang ditawarkan untuk membuat blog sangat mudah. Sebagai jurnalis, bisalah saya digolongkan tertinggal. Tak apa, toh pepatang bilang: lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali. Teman seprofesi sudah lama menggunakan media blog sebagai sarana 'balas dendam' ketika sebuah tulisan tak layak muat secara redaksi.

Maklum, sidang redaksi memiliki dinding pembatas yang tak mudah ditembus seorang jurnalis melalui hasil liputannya. Alasannya bisa beragam. Mungkin karena dianggap terlalu berbahaya. Data kurang lengkap. Berbenturan dengan kepentingan iklan atau karena dicurigai terima 'amplop'. Untuk yang terakhir ini memang sensitif untuk dibicarakan.

Suatu kali, kakak perempuan saya mengatakan, "Kok libur-libur liputan?emang ada uang ongkosnya,ya?" saya terkejut. Tetapi, tak marah. Barangkali dalam pemahaman umum, wartawan memang diidentikkan dengan terima uang. Termasuk kakak saya itu. Tak ada yang perlu disalahkan memang. Stigma tersebut muncul dari berbagai pengalaman atau cerita. Berbantah mati-matian juga percuma. Toh, kakak saya itu juga tak membutuhkan jawaban apa-apa, apalagi sebuah kebenaran.

Sengaja saya menggunakan alamat ini 'jalanpikiran'. Harapannya agar siapapun yang membaca, terutama anak-anak saya kelak bisa mengerti apa yang ada di benak ayahnya. Jalan adalah sebuah media ke arah suatu tujuan. Termasuk pikiran tentu mempunyai arah. Tanpa itu, sulit bagi kita untuk menentukan tujuan hidup, apalagi cita-cita. Blog ini jelas dimaksudkan agar saya bisa dipahami setiap orang. Dengan begitu, siapapun akan lebih jelas mengetahui siapa diri saya sebenarnya. Sehingga, lebih mudah bagi teman-teman saya untuk menyesuaikan diri. Ini bukan egois.

Saya juga tidak memaksa lingkungan untuk menyesuaikan dengan saya. Paling tidak, dengan posisi yang jelas, orang akan mudah menentukan bagaimana seharusnya. Dalam banyak hal kepastian itu perlu. Di jalanan, pengendara yang bingung menentukan arah akan membahayakan yang lain. Seorang peragu akan sulit ditebak kemana minatnya. Ini akan menjerumuskan ke dalam jurang kesulitan, kelak, ketika mencari pekerjaan. Seorang jendral akan banyak kehilangan anak buahnya ketika bingung harus menyerang atau bertahan.

Meski terlewat jauh dari yang lain, saya menyambut suka cita kehadiran blog ini. Alangkah nikmatnya bisa berselancar dalam alam pikiran sendiri. Akan lebih berbahagia lagi, jika jalanpikiran saya bisa dinikmati apalagi bermanfaat bagi yang lain. Selamat datang, blog! []

Minggu, 27 Desember 2009

Luna, Oh Luna

Sekali lagi kita prihatin. Setelah publik selama berbulan-bulan memberikan perhatian penuh terhadap kasus Prita yang terjerat hukum karena menulis keluhan di email pada pelayanan RS Omni Internasional, kini hal serupa kembali terulang. Yang menyedihkan pelapor justru kalangan media yang sejatinya sebagai penyuara terdepan terhadap Prita dalam melawan kesewenangan.
Adalah artis beken Luna Maya yang kini terancam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Para pekerja infotainment menuding Luna telah menghinakan mereka dengan sebutan-sebutan tak bermoral dan merendahkan. Gawatnya, menurut mereka, apa yang disampaikan Luna itu dimuat di twitter pribadinya yang bisa diakses begitu banyak orang. Atas dasar itulah kemudian, para pekerja infotainment mengadukan Luna dan kemungkinan akan dijerat dengan UU ITE terutama pasal 27 ayat 3 dan pasar 45 ayat 1.
Sejak awal, UU ITE ini memang menimbulkan kontroversi. Hal yang paling membahayakan karena begitu mudahnya orang tersandung masalah dan bisa dibawa ke meja hijau karena sebuah tulisan, meski itu mungkin di blog-nya sendiri. Isi Pasal 27 ayat tiga jelas menyebutkan, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Ancaman hukuman bagi pelanggar ini juga tak main-main, sampai enam tahun. Para blogger atau penggiat dunia maya tentu gelisah. Di era serba terbuka seperti ini masihkah kita dibatas-batasi dalam hal mengeluarkan pendapat. Begitu mudahkah kita menuding orang telah melakukan pencemaran nama baik. Dan yang terpenting, pers atau media juga sangat rentan untuk pula terjerat dengan UU ini, walaupun mereka juga diatur sendiri lewat UU Pers. Sayangnya, sedikit sekali orang yang menggunakan UU ini begitu merasa dirugikan oleh sebuah pemberitaan.
Mestinya media yang diharapkan tetap berada di garis depan untuk mengawal jangan sampai ada masyarakat yang kembali terjerat UU ITE, dan bukannya justru mereka sendiri melalui para pekerja infotainment yang justru mendorong ke arah itu. Bukankah ini berarti mereka sedang membuat lubang kuburnya sendiri. Kita tak pernah tahu, kelak, mereka bisa saja terjerat kasus serupa. Kalau sudah begitu, akan sulit mengelak.
Semestinya memang jalan damai yang harus ditempuh, bukan langsung dibawa ke wilayah hukum. Apa yang disampaikan Luna Maya hanyalah akibat berondongan pertanyaan yang dilontarkan para pekerja infotainmen sudah melewati batas, sampai-sampai menurut pengakuan Luna, anak Ariel yang digendongnya terbentur kamera. Sangat manusiawi jika dalam kondisi tertekan seperti itu, Luna lantas melontarkan keluhan-keluhannya.
Pertanyaannya, apakah para pekerja infotainment itu sudah meminta permintaan maaf kepada Luna karena prilakunya yang dianggapnya sudah begitu mengganggu. Sebaliknya Luna justru sudah meminta maaf melalui jejaringnya. Pernyataannya pun sudah dicabut. Namun, Luna juga mestinya bisa mengerti, bahwa tuntutan pekerjaan yang dibebankan para pencari berita itu begitu tinggi. Tak selayaknya melontarkan kata-kata yang merendahkan.
Artis dan media adalah dua profesi yang saling membutuhkan. Percayalah, dalam batin Luna Maya, ia tak ingin karirnya hancur karena dijauhi media apalagi diboikot. Sedangkan media, membutuhkan artis sebagai bahan liputan karena layak dijual dan begitu diminati. Keduanya sungguh tak bisa terpisahkan. Lantas mengapa kalau keduanya membutuhkan harus saling bermusuhan.
Saya percaya banyak pelajaran yang diambil dari peristiwa ini. Paling tidak, artis-tentu juga kita semua- dididik untuk tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan yang membuat hati orang lain terluka. Para pekerja infotainment ditegur agar bisa menjaga privasi orang, tak asal terabas dalam membuat liputan atau mengkonfirmasi, apalagi jika itu didasarkan pada isu dan gosip tanpa didasari fakta yang kuat.
Duduk bersama tentu paling baik. Toh, bagaimanapun perselisihan yang paling baik jika diselesaikan dengan saling memafkan dan kekeluargaan. Tidak ada pihak yang merasa dikalahkan apalagi dimenangkan. Terpenting dari semua itu, bagaimana agar UU ITE itu tidak lagi mengekang warga dalam berekspresi memuat pendapatnya. Kalau perlu agar direvisi, toh keberatan-keberatan cukup diberikan dengan hak jawab.[]
Bogor, 21 Desember 2009

Cerita Cinta (I)

Aku tak bisa berhenti bersyukur dikaruniai rasa cinta begitu besar terhadap istri. Usia kami terpaut empat tahun, lebih tua aku. Tapi dalam hal berfikir, tingkah laku, peribadatan, cara mendidik anak, aku kalah jauh. Apa mungkin karena ia dilahirkan sebagai anak pertama dan aku anak bungsu nomor urut delapan.

Aku harus banyak belajar tentang bagaimana mencintai darinya. Setahuku, ia sejak remaja memang sudah banyak yang berminat. Rautnya harus diakui memancing orang untuk tertarik : putih, bermata sipit dan berbodi ideal semampai. Seorang dosennya di kampus pernah mengajaknya kencan ke sebuah cafe. Tentu saja ditolak karena dianggap kurang pantas. Jauh sebelum itu, sejak masih kelas enam SD seorang SMA kelas satu coba mengutarakan cinta lewat secarik buku tulis bergaris-garis tebal.

Dan dalam rentang itu bejibun pria coba mendekat, merebut hatinya baik secara terang-terangan atau sekedar curi perhatian. Namun, ternyata hanya ada satu pria yang dianggap cocok itupun hanya berjalan sebentar lalu putus. Sejak itu ia tak pernah pacaran, sampai suatu ketika bertemu aku di UKM BIMA, sebuah majalan kampus.

Aku tak berbekal apapun ketika mendekatinya. Bahkan, aku surut langkah begitu ada teman karibku  secara agresif coba mendekat. Aku paling anti bertempur apalagi bersaing untuk urusan perempuan, meski hati ini lantak. Kesempatan beberapa waktu aku berikan pada temanku  itu. Dalam batinku betul-betul berharap agar perjuangan temanku itu gagal. Inilah perselingkuhan seorang teman. Di depannya berusaha terlihat mendukung, tetapi di balik itu tetap menginginkan ia gagal.

Aku dari dulu menjunjung tinggi sportifitas. Maka, ketika temanku itu maju, aku seratus persen memberinya jalan. Di awal perjuangannya aku tahu ia bakal gagal, karena seorang Hindu. Kesempatan bagiku terbentang. Itu bukan berarti aku begitu mudah bisa diterima. Aku ini pemalu berat. Untuk urusan cewek aku agak kesulitan apalagi jika harus tembak langsung. Modal ini terlalu minim untuk urusan begitu-begitu. Bisa dibiayai kuliah oleh kakak-kakakku saja sudah karunia besar. Kalau sampai amanat di kampus ini disiakan, aku bisa kena marah besar mereka. Kasian ah, mereka sudah berkorban terlalu banyak.

Aku cuma bermodal nekat ketika hati ini sulit lagi dibendung. Dengan bekal seadanya, ia aku antar pulang yang jaraknya 30 kilometer dari rumahku. Sinyal pun diberikan, ia bersedia diantar siang itu usai kelas akuntansi setelah sebelumnya kami mampir di sebuah warung asinan terkenal di Rawamangun.

Sepanjang jalan hati ini berdegum kacau. Ujung jari kakiku seperti tersiram es : dingin dan kaku laksana besi. Mulut terkunci rapat. Bingung ingin membuka perbincangan. Diam di tengah kebisingan bus Mayasari yang disumpeki penumpang dan penjaja makanan. Topik obrolan yang ku  siapkan menguap bersama keringat yang mengucur deras dari pori-pori yang menganga. "Hei, kemana semua keberanian yang telah ku susun berhari-hari itu," batinku berontak sendiri.

Perjalanan satu setengah jam ke Pondok Gede berlalu penuh ketegangan. Entahlah apa ia merasakan seperti yang aku alami. Perasaan ini paradoks antara ingin berlama-lama dan segera selesai. Aku sadar tingkahku makin terlihat konyol jika terus berlama. Setelah bertemu kedua orang-tuanya dan berkenalan seadanya, aku pamit.

Dan, inilah momen penting itu terjadi. Di depan pintu dengan wajah manjanya ia meminta, "Kalau udah sampe telpon aku ya..."

Sepenggal kalimat yang betul-betul menentramkan jiwa. Hati ini merebak memancarkan energi positif ke seluruh tubuh melalui simpul-simpul syaraf mata, kulit, kaki, tangan, tengkuk juga lidah. Dengan agak terbata aku membalas kesukacitaan ini dengan kalimat, "Okeh...okeh...pasti.....tungguin ya.....,"

Di keheningan lampu merkuri jalan yang meluruhkan kulit gelapku menjadi kuning...ayunan langkah ini terasa ringan, seperti tak menapakan aspal....(bersambung)