Senin, 02 Agustus 2010

Cerita Untuk Keisha

Hari-hari terakhir kemarin, Bundamu terlihat begitu gelisah. Pokok soalnya karena kamu tidak juga menunjukkan perubahan posisi sejak tiga minggu lalu. Padahal, menurut dokter, begitu ikat rahim Bundamu dibuka, mustinya kamu bisa segera meluncur ke pangkal jalur lahirmu yang Januari lalu terpaksa diikat supaya kamu bisa bertahan.

Ketika tubuhmu masih sekepalan, kondisimu begitu lemah. Makanya, saat kami periksakan ke dokter, rupanya jalur lahirmu sudah terbuka lebar. Ayah dan Bunda tidak punya pilihan lain kecuali mempertahankanmu dengan sebuah operasi penutupan jalur rahim. Istilah kedokterannya syrodkart. Kondisi seperti ini yang umum dikenal orang sebagai kandungan lemah.

Usai diikat, Alhamdulillah, kondisi kritismu bisa cepat terelewat dan kamu bisa berkembang baik. Bobot tubuhmu cepat sekali bertambah, bahkan melebihi masmu Vito ketika lahir, 3,4 kilogram. Tapi, prediksi tidak selamanya sesuai. Dari seharusnya kamu sudah bisa lahir spontan/normal, nyatanya di ujung masa kandunganmu yang sudah mencapai 41minggu, posisimu tidak juga berubah : jauh dari mulut rahim.

Lilitan plasentalah yang membuatmu sulit turun walaupun ikat rahim Bundamu telah dibuka tiga minggu sebelum kelahiranmu. Ini kondisi luar biasa. Bahkan, dokter yang menanganimu, Reino Rambey, sempat bingung. Ini pengalaman pertamanya sepanjang karirnya sebelas tahun sebagai dokter kandungan. Olehnya kami diberi fakta yang mengharuskan kamu harus dilahirkan melalui jalan caesar.

Posisi terakhirmu diakui dokter memang sudah dalam kondisi siap lahir. Hanya saja, lantaran ikatan usus di lehermu, kamu kesulitan turun. Terlebih, hingga kini tidak ada teknologi yang bisa mengetahui panjang tali ari-ari secara persis, sehingga sukar menentukan apakah tali ususmu itu bisa mengulur sampai di mulut rahim atau tidak.

Rahim Bundamu juga sulit terbuka karena tidak ada dorongan dari kepalamu yang sudah tertunduk, siap meluncur. Untuk kondisi ini dokter muda itu memprediksi : tingkat keberhasilan bantuan induksi hanya 20 persen. Kalau mau ditunggu sampai minggu ke-42 pun kemungkinan lahir spontan hanya 30 persen. Angka statistik itu tentu saja mengkhawatirkan, meski peluang tetap ada. Kami putuskan untuk ‘mengambilmu’ saja lewat caesar.

Jumat pagi, 16 Juli 2010—sehari lebih cepat dari jadwal rutin konsultasimu—itu pula kami putuskan untuk ceasar. Jadwal dokter Reino yang padat memaksa bundamu dioperasi pukul 22.00.
Setengah jam sebelum jadwal, Bundamu dibawa ke ruang operasi. Bundamu kelihatan tegang. Terlebih Ayah yang sungguh tak sabar bertemu kamu. Ingin sekali Ayah segera memelukmu. Mendengar tangismu. Membedongimu. Menggantikan popokmu kalau kamu pipis atau pup. Memandikanmu. Bundamu, biarlah beristirahat menyelesaikan tidurnya yang tak sempurna karena sepanjang hari menetekimu.

Masmu Vito bahkan sudah sibuk telpon sejak pagi. Tapi, karena ada psikotes di sekolahnya masmu Vito memilih di rumah untuk istirahat. Tapi kamu beruntung, ada eyang putri dan eyang kakung yang menungguimu. Bundamu bisa sedikit tenang.

Nafas Ayah tiba-tiba terhenti, ketika ruang operasi dibuka tepat pukul 22.35—lima belas menit setelah kamu lahir. Kamu rupanya sudah menunggu di sana. Pada sebuah kubus berlubang-tutup enam tembus pandang, kamu terlihat bergerak-gerak. Tubuhmu masih merah. Sebagian darah Ayah lihat masih tersisa di bagian kepala. Ujung jari kaki dan tanganmu terlihat kisut dan putih. Matamu terbuka malu-malu menatapi wajah Ayah. Kita berbenturan pandang. Dada Ayah berdesir. Kamu terlihat begitu anggun dibalik balutan handuk putih itu…

Ayah kian mendekat. Nafas Ayah makin tak terkendali. Tercekat oleh udara yang terhenti di tenggorokan, air mata Ayah tiba-tiba meleleh. Menyaksikan sebuah Keagungan Allah.

Tak hentinya Ayah mengucapkan syukur atas amanah yang diberikan-Nya. Sungguh kami telah menantikan ini cukup lama. Tangis Ayah seketika tumpah saat harus mengadzankanmu. Suara Ayah dihalangi oleh perasaan yang tumpang-tindih.

Kalimat Allahu Akbar yang Ayah bisikkan ke kuping kananmu tersendat-sendat, bertubrukan dengan haru yang sesak-menyesak. Ayah terhenti, menghimpun kekuatan. Adzan untukmu Ayah sempurnakan dengan susah payah. Lafadz komat dilanjutkan eyang kakungmu.

Bundamu di ruang pemulihan terlihat kepayahan. Ceasar, yang dijalani benar-benar membuatnya kewalahan. Tubuh Bundamu mengigil hebat. Dadanya sesak. Perut kanan-bawahnya nyeri seperti disayat-sayat. Kesadarannya tidak pulih benar. Rupanya obat bius yang ditusukkan di pinggul belakang Bundamu telah mundur secara teratur.

Butuh sepanjang hari untuk menormalkan kondisi pasca operasi itu. Ia cuma bisa berbaring menahan nyeri di sekujur perutnya. Sakit itu bisa diobati saat mendengar kondisimu baik-baik saja. Bundamu terlihat bahagia betul. Kebahagiaannya buncah saat kamu minta ASI diperjumpaan pertamanya dengan kamu.

Seperti pernah terpisah bertahun-tahun, malam pertama itu kami tumpahkan kerinduan untukmu. Kerinduan berlumur doa : semoga kamu bisa menjadi pelindung buat Ayah Bundamu.

Kamu mudah-mudahan bukan sekedar ‘bidadari’ yang cantik, tapi bisa menjadi pemimpin yang cerdas dan tangguh. Sesuai nama yang kami sematkan untukmu : Keisha Almira Rivinata. []

RS Haji Jakarta : 19:07:2010

Langkah Kecil

Langkahnya betul-betul membuatku gugup. Baju ukuran terkecil itu tetap saja terlihat kedodoran.  Bukan saja  baju pendek itu yang sampai separuh lengannya. Juga, coba lihat kerahnya, sempurna menutupi leher mungilnya. Ia  tenggelam di balik kerah putihnya yang masih berdiri tegak macam pagar besi.
Celana juga begitu, tak bisa merapat ke perutnya yang tipis. Lubang ikat pinggang yang dibelikan Bundanya tidak cukup kuat mengunci baju dan celana putihnya yang terus saja meronta minta keluar tiap kali ia bergerak. Aku pun terpaksa melubanginya lagi. Bukan satu tapi dua lubang.

Senyumku sulit disembunyikan saat ia melangkah dengan celana  yang juga setengah dari tungkai kakinya. Dengkulnya mengintip malu-malu, karena memang, hanya bagian tubuh itu saja yang bisa terlihat—selain lengan tangan dan muka—sebab kaos kakinya bisa melesak nyaris sampai betis.

Beban tasnya kutaksir nyaris menyamai bobot tubuhnya. Beragam buku tebal disesakkan ke dalam tas Ben 10 yang kami beli tahun lalu. Seperti hendak pergi berhari-hari, Bundanya menyiapkan aneka panganan  dan minuman, meski kelas pertamanya itu, kelar pukul sepuluh.

Ia terhuyung-huyung memasuki pintu gerbang yang dijubeli para orangtua yang mengantar. Aku memperhatikannya dengan perasaan berkecamuk: senang, haru, was-was,  dan asa.

Mukanya tegang. Aku tidak tahu persis apakah memang kurang tidur, karena ia semalam tidur hingga pukul setengah  sepuluh malam dan sudah harus bangun pagi-pagi sekali untuk memilih posisi duduk.
Atau memang ada beban psikologis sebab bakal menemui lingkungan baru di sekolah. Setahuku, seminggu ini tidak terlihat tanda-tanda yang membebani. Malah, ia ceria sepanjang hari karena eyangnya seminggu menemaninya di rumah.

Ingatanku tiba-tiba terlempar ke tahun 1980, ketika awal masuk SDN 27 Pagi. Aku diantar Ibu saat hari pertamaku. Ibu bahkan rela tidak berjualan di pasar demi aku. Aku sempat menangis, meronta karena tegangnya. Ibu membujukku sedemikian rupa agar mau bersekolah.

Baju yang dibeli Ibu di lapak pinggir jalan Sumur Batu itu, ‘habis’ oleh usapan air mataku yang mengucur. Aku tak peduli. Makin Ibu membujuk, makin keras aku menangis.  Apa Ibu marah? Tidak.  Ibu tidak marah. Ia tidak menyerah dan terus membujuk.

Beragam jurus ia keluarkan demi anak bungsunya supaya berangkat sekolah, kecuali soal jajan atau yang berhubungan dengan uang. Ya, aku tahu Ibu tidak cukup uang untuk membujuk anaknya agar mau sekolah.
Kawan, kami ini keluarga sederhana. Bapak cuma pegawai rendahan di sebuah yayasan yang peduli kesehatan. Gajinya mungkin hanya cukup untuk pendidikan delapan anaknya—yang  masih murah ketika itu.

Soal makan, menjadi domain Ibu.  Keperluan dapur diurus Ibu, termasuk uang jajan. Itu sebabnya, Ibu sulit mengembangkan usaha dari hasil berjualan sayur-mayur di pasar. Bisa memutar dagangan saja sudah baik.
Jatah harian kami pun tidak banyak, hanya lima puluh rupiah per hari. Uang jajan itu ditinggalkan Ibu saban pagi di  bawah taplak mesin jahit sebelah kanan, sebelum Ibu berangkat  ke pasar lepas sholat subuh. Aku sungguh tak mengeluh, meski dua koin  ini hanya pas untuk membeli satu gorengan dan seplastik es kebo, saat jam istirahat.

Aku jarang sekali bisa membeli mainan, macam adu biji karet, tebak manggis, aneka mainan di abang-abang krotokan,  menonton ‘film’ di sebuah layar sempit yang hanya bisa dinikmati dengan diintip satu mata . Atau, kalau yang ingin melalui dua mata, bisa  melihat gambar mati lewat media serupa teropong yang depannya tertutup rata.

Sebagian anak perempuan kulihat banyak yang bertukar kertas surat. Ada satu merek yang kutahu sangat mahal :  Sanrio. Kertas merek ini hanya bisa ditukar dengan lima kertas surat merek lain. Entah, sensasi apa yang dicari dari tukar-tukaran macam itu. Buatku itu terlalu mewah..
Tapi aku bersyukur, masih bisa mempunyai teman-teman yang bisa diajak untuk berbagi, lewat permainan yang kami ciptakan sendiri…(lain kali aku ceritakan, Kawan)

Aku sendiri, tidak ingat bagaimana Ibu akhirnya bisa membujukku. Yang pasti, Ibu menggunakan kekuatan kata-kata yang menentramkan dan energi kasih sayangnya. Aku tidak tahu persis kalimat bertenaga seperti apa yang akhirnya mampu membangkitkan semangatku.
Lamunanku buyar ketika tiba-tiba anakku teriak, “Ayah, buruan donk. Udah mo jam setengah delapan nih!”

***

Sekarang, aku bisa merasakan apa yang Ibuku rasakan dulu. Aku, sama seperti Ibu yang ingin betul anaknya bisa sekolah, sukses bukan cuma urusan dunia tapi juga akhirat. Hingga Ibu tidak ada, aku sampai sekarang masih bertanya, apakah sudah bisa memenuhi semua harapan-harapannya? Sungguh aku tidak tahu.
Maka, ketika aku dapati muka anakku tegang, aku berusaha sebisaku menenangkannya. Tentu saja bukan hanya aku, Bundanya lebih berperan menentramkannya.

Dari balik kaca jendela, kami menatapi lekat-kelat anak kami. Beribu doa dan harapan tercurah untuknya. Sama seperti Ibu dan Bapakku dulu, kami berharadap Vito, anak kami  itu bisa memulai langkah kecilnya dengan benar hingga di penghujung cita-citanya. []

Bojong Kulur: 12:07:2010

Senin, 14 Juni 2010

Negeri Iblis

ada keceriaan yang kutahu diambil dari kesedihan. kami, manusia, yang masih memiliki hati pasti gundah. geram. marah sekali. tersentak oleh pagi buta menjelang subuh. perlukah para iblis itu menyesak masuk ke bilik-bilik kamar, geladak, menembaki manusia lainnya, yang sedang membawa harapan demi jutaan nyawa di sebuah negeri lahirnya semua agama samawi. tak cukupkah sejarah itu melindungi mereka?

bukan. bukan. aku yakin mereka bukan saja memiliki tabiat iblis. aku sungguh percaya mereka memang iblis. dimana pun iblis tidak mengenal solusi kebaikan. urat dan nafas mereka selalu ingin mencari teror dan keributan. ucapan kerap berkelit memaksakan pembenaran.

enam iblis luka, dibayar sembilan-belas nyawa dan puluhan penuh luka menganga. di seberang, jutaan orang menanti mereka. makanan-obatobatan-selimut. sudah tiga tahun negeri terebut itu menangis.
sementara dunia hanya bisa menatap. tidak lebih.

si iblis, terkekeh gembira. makin menantang. bisa membinasakan pahlawan kemanusiaan. iblis sampai kiamat pun tetap benci manusia. yakini itu.  tidak ada dialog untuk para iblis. karena iblis selalu gemar berkelok ucap tanpa ujung. percayalah kalian pasti kalah.  hanya satu cara untuk menghadapi  negeri iblis itu

: lawan

,dengan apa?

apa saja

imanmu dan doamu sudah cukup.

selebihnya biar Allah yang menyelesaikan.

Gelora: 01:06:2010

Good Bye My Lena

Hari ini begitu berat bagiku. Beban psikologis yang beberapa pekan mengganggu batinku, ternyata betul-betul terjadi juga hari ini. Sebuah keputusan pahit terpaksa aku tempuh. Ini bukan soal pilihan tapi realita.

Aku sudah mendampinginya selama delapan tahun. Ya, sebuah periode yang tidak sedikit untuk sebuah romantisme. Aku pertama kali mengenalnya di sebuah acara pekan raya malam. Ia begitu menggoda. Tubuhnya dibalut serba hitam, dengan sedikit lorek biru-hijau-putih yang memanjang. Aku sungguh terpesona. Ia terlihat sangat elegan di bawah sorotan lampu yang menyilaukan.

Sebuah perkenalan pun dilakukan. Aku begitu teliti mencari informasi tentangnya dari berbagai orang yang kukenal, sebagai referensi. Aku memang tidak mudah tertarik pada penampilan sekilas yang pertama. Merasa cukup puas, tak sampai dua minggu, kami pun bisa berjalan bersama, setelah sebelumnya aku memberinya mahar pembuka tiga juta rupiah.

Betul, aku memang tak sanggup untuk keseluruhan syarat yang diberikannya. Untuk meyakinkannya, aku bersedia mencicil mahar itu selama satu setengah tahun, yang tiap-tiap bulannya ku bayar lima ratus enam puluh ribu rupiah. Itupun aku perjuangkan dengan berat, karena keputusan itu sempat mendapat tentangan.

Untuk sebuah mahar yang jujur kuakui sangat memberatkan, ia memang cukup memuaskan.. Selalu setia mendampingiku kemanapun. Di saat hujan, kami berteduh bersama. Di saat terik ia sama sekali tidak mengeluh, meski ku yakini tubuhnya juga kelahan walau tanpa keringat yang keluar.

Aku juga begitu. Berusaha setia sebisaku. Seringkali aku menuntunnya ketika terluka. Membawanya ke sebuah tempat sampai ‘kakinya’ yang terobek sembuh, walau  hari telah larut. Berulang-kali aku lakoni kejadian seperti itu. Aku tidak mengeluh, tetapi justru bersyukur masih bisa ditemaninya.

Ia sungguh tak mengenal waktu ketika mendampingiku. Kapanpun dibutuhkan, ia selalu siap. Ia jarang sekali rewel. Kecuali, jika aku telat memberinya perhatian. Maka, pada periode tertentu aku ‘dandani’ ia. Aku percantik tubuhnya agar lebih mulus agar bisa memuaskanku juga dirinya. Aku juga tentu bangga bisa berdampingan dengan tubuh licinnya. Kesetiaanku dan dirinya, membuat kami begitu menyatu. Sulit dipisahkan.

Tapi kusadari staminanya kian hari mengendur. Jalannya tak lagi seperti dulu : gesit dan sergep. Beberapa bagian tubuhnya terlihat memudar. Aku bukannya tidak lagi memperhatikannya. Bahkan aku sering membawanya ke ‘salon’.  Barangkali karena memang bawaan umur yang membuatnya sulit bersinar. Apalagi, bila sehabis bepergian jauh, tubuh kumalnya sungguh membuatku tidak enak hati.

Pancaran keelokan ketika aku mengenalnya pertama-kali sama sekali tak tampak. Sendi-sendinya bahkan terdengar gemeletuk. Aku merinding tiap kali pergi bersamanya. Takut jika tiba-tiba anfal di tengah jalan.

Sejak aku pindah rumah di Bojong Kulur, Bogor, ia makin sering ‘batuk-batuk’.  Kalau malam lebih menyedihkan lagi. Aku tak berani mengajaknya berjalan-jalan jauh sebab sangat rawan. Aku tidak ingin ambil risiko. Aku harus memutuskan segera. Kalau tidak, aku yang bisa sengsara. Enam tahun mungkin umur yang masih muda. Tapi entahlah mengapa dia begitu cepat rapuh?

Dan, dua tahun bekalangan, ia aku tinggalkan di rumah. Aku terpaksa mencari pasangan baru. Bertubuh besar, tetapi tetap ramping di depan dengan ‘pantat’ tipis di belakang. Bersamanya aku merasa lebih pas. Dengan tubuh sebesar ini, aku tentu lebih serasi. Aku merasakan sensasi baru dengannya.

Maka, ia aku tinggalkan di rumah, kecuali untuk urusan yang tak terlalu berat. Kasihan juga kalau-kalau ia tambah ‘sakit’. Tiap malam aku menatapnya dalam-dalam. Memandangnya dari depan hingga belakang. Mengenang kesetiaannya menemaniku enam tahun dan dua tahun di kesendiriannya. Aku tidak tahu bagaimana ‘perasaannya’ ketika ia disandingkan dengan pasangan baruku.

Ia diam saja.

Kini, sudah saatnya aku melepaskannya dengan ikhlas. Aku juga tidak sanggup meragati dua pendamping sekaligus. Keduanya butuh perhatian penuh. Pada periode tertentu keduanya juga harus dipercantik.Kalau tidak bisa-bisa aku yang repot. Biaya untuk mereka kalau ‘sakit’ jauh lebih mahal.

Dengan yang baru aku juga memberinya mahar awal. Entahlah, ini barangkali kebiasaan burukku. Tapi memang segitu kemampuanku untuk mencari pendamping baru. Toh, mereka senang-senang saja. Dengan yang ini aku memberinya delapan juta. Tiap-tiap bulannya aku cicil mahar itu sejumlah empat ratus dua-puluh satu ribu rupiah, selama dua tahun.

Terus terang dengan kondisi keuangan sempit seperti itu aku tidak sanggup, keuanganku terbatas. Aku harus menyisihkan rupiah cukup besar untuk mereka. Selain keperluan bayar sekolah, les, listrik, PAM, iuran RT, tagihan kartu kredit, cicilan koperasi, tagihan internet, jajan anak, pembantu dan seabrek keperluan lainnya.
Maka ketika ada seorang pria yang berminat, aku siap merelakannya. Ia tentu saja tidak menolak. Berharap ada perbaikan nasib.

Pria ini berjanji akan merawatnya dengan baik, dan berikrar memperlakukannya sama seperti aku dulu. Kalau tidak, aku tidak akan melepaskannya. Dari rautnya dan tuturnya aku percaya pada laki-laki ini.

Kini, ia benar-benar meninggalkanku bersama kenangan dan romantisme yang tersimpan bersamanya. Namun, apa pentingnya kenangan manis kalau itu justru membebani dan memberatkan. Lagi pula, masih banyak yang harus dipikirkan. Toh, dengan melepaskannya aku justru teringankan.

Tapi, yang aku sesalkan, selama delapan tahun kebersamaan kami, tidak ada satu pun foto yang bisa diabadikan dengannya. Hanya ada dua  foto yang aku ‘jepret’, sesaat sebelum ia dijemput sang pria, yang sungguh menginginkannya.

Aku harus tegar. Tidak boleh cengeng. Toh aku sudah mendapatkan dua juta lima ratus ribu rupiah dengan melepaskanmu, Lena.

\Mungkin harga itu terlalu murah untuk sebuah Honda Legenda 2002. Tapi, ya sudahlah…Toh aku masih memiliki pasangan baru, si Suzi, yang bertubuh besar-ramping meski lebih boros darimu.
Bersama Suzi yang secepat  dan sesangar guntur aku berharap juga bisa lebih langgeng, persis seperti saat-saat bersamamu, Lena.

Good Bye My Lena… []



Bojong Kulur: 11:06:2010

Rabu, 19 Mei 2010

hilang


dua pagi tanpa ciuman
meringkuk kecut di kesendirian
: perih

aku
masygul
kamu
isak

hadirmu tak mengganjilkan
pergimu begitu menggenapkan

,aku dimana
,kamu entah


Bojong Kulur: 20:05:2010

Selasa, 18 Mei 2010

Sundal Kampung

Aku bukan sundal atau pelacur
Aku hanya berbalas budi
Jangan tanya kenapa
Karena kalian, aku begini

Aku dilahirkan tidak seperti kebanyakan bayi perempuan di kampungku. Perempuan sering diposisikan sebagai pelengkap. Bahkan, lebih buruk dari itu. Kaumku mungkin lebih pantas dianggap sebagai budak. Dipaksa bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan semata pelengkap, tapi ujung tombak, juga tulang punggung.

Ibuku juga begitu. Sehabis menyiapkan sarapan nasi putih ditambah semangkuk sayur tumis campur tempe tanpa lauk, ia sudah bergegas ke belakangan. Memberesi setumpuk cucian yang kemarin kami pakai. Berjarak lima ratus meter ke bawah, tempat dimana air sungai mengalir deras, Ibu membilaskan semua pakaian kami. Setumpuk cucian setengah basahd dalam anyaman itu kemudian dinaikkan di atas pundak sebelah kiri, sembari bertopang pada tangga-tangga batu yang licin dan perpegangan di ranting-ranting pohon yang ringkih.

Tak sampai sejam di bawah, ia harus bersegera  menjerengkan pakaian-pakaian agar  cepat mengering, karena siang di kampungku terasa lebih pendek. Ia kemudian berbilas sebentar, di kamar mandi bambu kami yang atapnya terbuka. Jambannya hanya bersebelahan yang kalau berdiri niscaya auratmu kelihatan.

Ibu biasa mengenakan semacam jarik kalau mandi. Berjaga-jaga kalau-kalau ada yang nakal menikmati kemolekan tubuh Ibu. Tubuh Ibu putih mulus. Wajahnya memanjang dengan dagu lebah menggantung, serasi dengan pipinya yang tirus. Matanya menyipit ke atas, dihiasi ratusan semut alis yang menyatu tipis di tengah dahi. Rambutnya meski saban hari  digelung, tetap terlihat lurus tebal jika diurai. Betisnya talas mungil, dihiasi bulu-bulu kecil. Pinggulnya meliuk tajam tepat di perut. Jika berjalan, siapapun akan terpesona.
Ibu memang cantik. Teramat cantik seperti parasku, begitu teman-temanku bilang. Aku sendiri merasa biasa saja. Mungkin kesamaan nasib yang, kelak, membuat  kami serupa.

Aku dilahirkan sebegitu beruntung. Kalau tidak, mana bisa aku  sebesar ini. Seperti aku bilang, di kampungku perempuan memang kurang diinginkan. Perempuan terlanjur dianggap lemah, dan karenanya bisa dibuat semena-mena. Kalau perlu dibinasakan. Tidak. Aku tidak belebihan.

Buktinya, jumlah kami hanya kurang seperempat dari lelaki. Hanya perempuan-perempuan beruntunglah yang bisa dibiarkan hidup besar. Kami tak lebih sebagai pemuas nafsu. Dan kerbau  pembajak nafkah.
Lelaki ditakdirkan sebagai penerus trah yang begitu diangungkan, sakral dan suci. Meski sejatinya mereka sungguh sebagai mahluk pemalas, sekaligus serakah bahkan dibandingkan monyet sekali pun.

Di rumah, kami hidup sepasang : dua lelaki dan dua perempuan. Adikku yang masih kecil, sering diperlakukan istimewa. Bangun tidur, bisa langsung duduk santai di teras rumah sambil tidur-tiduran lagi di bale-bale dan memerintahku seenaknya untuk dibikinkan teh juga pisang atau singkong rebus.  Ini bukan kurang ajar, karena memang begitu tradisi di kampungku.

Aku tidak berani menolak meski terhadap adikku sendiri. Penolakan perintah lelaki dianggap dosa besar, walau keluar dari mulut seorang bocah lelaki kecil.  Aku pernah dipukul sampai pahaku memerah, ketika adikku minta diambilkan minum sehabis makan. Aku sebenarnya bukan enggan, tapi kebetulan saja perutku sedang sakit.

“Cai, kamu dengar tidak, adikmu minta diambilkan minum?” teriak Bapak.

“Sebentar Pak, perutku lagi sakit,”

“Ah, alasan. CEPAT  ambilkan!” perintahnya keras.

“Aku gak bisa berjalan, Pak. Sakit,” aku merintih.

Bapak tidak lagi bicara. Kali ini, ia mengambil pukulan kasur rotan yang tergantung di samping pintu. Tanpa ampun, ia menarikku dari kursi. Memukul dengan kekuatan penuh mengenai paha depanku. Aku menjerit. Percuma aku menangis, bisa-bisa pukulannya makin kencang. Cara satu-satunya adalah  melaksanakan perintahnya.

Ibu terdiam. Sama sekali tidak membela. Matanya nanar, penuh iba ke arahku. Aku tahu, hatinya ikut sakit, tapi tak bisa apa-apa. Ia memberikan isyarat mata yang dipejamkan sebentar. Aku paham isyarat itu, agar segera memenuhi permintaan Bapak. Tidak ada gunanya lagi berbantah.

Keberadaan kami dibatasi. Baik secara definitif atau karena eksternalitas negatif sikap biadab para lelaki. Atau, aturan adat yang sudah keblinger. Begitu ada seorang Bapak yang tahu bahwa istrinya  mengandung anak perempuan, segera digugurkan.  Di bekap bapaknya sendiri, atau lewat dukun.
Kalau sudah terlanjur membesar akan dibiarkan. Tetapi dengan terlebih dahulu dibicarakan dan dikompromikan dengan tetua adat. Perlakuan apa yang pantas untuknya jika besar nanti.

Hidup bukan berkah bagi kami, kaum perempuan yang dibiarkan hidup. Penderitaan jauh dari selesai. Berbagai perlakuan diskirminatif segera diterapkan. Soal kewajiban, fasilitas, apalagi hak. Banyak di antara bayi-bayi perempuan yang akhirnya dibolehkan hidup itu akhirnya mati mengenaskan. Tentu saja, para dukun sedeng itu akan membiarkan bayi-bayi perempuan ini mati jika mengalami sakit. Layanan kesehatan adalah barang mahal.

Nyawa seorang bayi perempuan bukan lagi di tangan Tuhan. Tapi sekumpulan orang-orang sinting itu. Hanya warga tertentu yang boleh membesarkan bayi perempuannya. Aku salah satunya. Karena aku istimewa…

Bukan karena kebetulan Bapakku atau moyangku termasuk trah terhormat, sehingga Ibu dibolehkan melahirkan bayi perempuannya. Seperti ku bilang, paras Ibu memang cantik, jauh melampaui perempuan-perempuan di kampungku. Ibu memang bukan penduduk asli. Ia pendatang, yang karena keterpaksaan dikawinkan dengan Bapakku yang gila perempuan.

Bapak muda memang sering keluar kampung kalau sedang suntuk di rumah. Layaknya lelaki kebayakan di kampungku, Bapak tidak mempunyai pekerjaan tetap. Untuk mendapat uang Bapak sering ke kota. Bukan bekerja tapi berjudi. Apa saja bisa dijudikan di sana. Mulai sabung ayam, main kartu, taruhan sepakbola tarkam, atau apa saja. Apapun bisa dipertaruhkan.

Kegilaannya terhadap judi pula yang menghantarkannya pada sosok perempuan yang belakangan dinikahinya. Ia naik pitam ketika ditantang lawan judinya bermain gaple sembilan putaran tanpa henti. Kumis Bapak memang ketel, tapi selalu dilecehkan karena dianggap pengecut. Seminggu sebelumnya, Bapak terbirit  dikejar lawan main karena meninggalkan arena yang dimenangkannya separuh.

Tak terima lecehan, ia menaikkan taruhan tak masuk akal. Bapak tidak minta taruhan benda apalagi uang tapi seorang perempuan,  istri di antara pemain lawan yang baru dinikahinya seminggu. Bapak menawarkan dua adik perempuanya. Tentu saja buat Bapak ini bukan taruhan berharga. Mungkin justru buang sial.

Dari sembilan pertandingan, Bapak memenangkan lima seri. Di sini tidak ada yang berani  ingkar. Karena itu sama artinya dengan kematian. Keman pun pasti dikejar, sebelum kemudian dibunuh. Bapak berhasil  membawa perempuan berparas cantik itu ke kampung untuk dinikahi. Semua tertegun menyaksikan perempuan ini. Benar-benar cantik. Luar biasa.

Pemuda-pemuda berkerumun ketika Bapak memamerkan perempuan belia itu. Bahkan, sore itu pula meminta restu agar bisa dinikahkan dengan tetua adat.

Malamnya, Bapak langsung mengajak perempuan ini  ke sebuah gubuk. Ia membiarkan pintu setengah terbuka dan jendela separuh tertutup. Ia ingin memamerkan keperkasaan dan kehebatan mendapatkan gadis secantik ini. Kegairahan itu diumbar. Libo laki-laki penjudi itu benar-benar seperti monyet.

Tujuh bulan setelah itu, kandungan Ibu makin besar. Dukun sudah bisa memprediksi bayinya perempuan. Bapak tentu saja murka. Ia ingin segera mengugurkan keturunannya sendiri. Tapi, Ibu menampik keras. Bapak tahu, perempuan hanya akan menjadi beban dan menyusahkan.

Ibu sampai tersedu, memohon agar bayi ini dipertahankan. Ia bahkan berjanji akan berbuat apa saja agar bayinya bisa tetap hidup. Di hadapan tetua adat, Ibu akhirnya diizinkan membesarkan anaknya. Hanya saja, perlu  satu transaksi sinting yang harus disetujui: kelak ketika anak peremuannya besar, ia harus bersedia menyemai benih para lelaki yang ditunjuk di kampung ini. Alasannya juga tidak masuk akal : merubah keturunan kampung ini-secara fisik.

Jujur, tampang-tampang mereka memang menjijikan. Bukan. Aku tidak ingin menghina Tuhan yang menciptakan manusia. Hanya… hanya tak habis mengerti saja, mengapa mereka bisa tetap bertahan hidup dengan prilaku binatang seperti itu. Wajah buruk mereka memang mencerminkan perangainya. Sama sekali tidak ada keseimbangan.

Ibu menangis. Ia dihadapkan pada pilihan buntu. Ingin mempertahankan bayi ini atau membiarkannya mati sebelum lahir. Ibu menawarkan diri. Tapi Bapak menolak. Tentu saja pria egois ini tidak ingin berbagi kenikmatan dengan pria-pria lain. Ibu sulit membayangkan anak perempuannya kelak diperlakukan seperti pelacur.

***

Kini, di umurku yang sudah 25 tahun, aku makin tersiksa. Anaku sudah sepuluh. Tersebar di beberapa rumah. Ibu, kian hari sakit-sakitan. Fisiknya tak lagi kuat mengangkut berkilo-kilo ikan tambak milik tetua adat. Bersama perempuan-perempuan lain, Ibu terpaksa mencari uang sebagai kuli, bertahun-tahun.

Tapi, ada yang tak berubah. Parasnya tetap cantik, menawan siapa saja yang melihat. Bapak masih sulit melepaskan Ibu meski itu yang meminta sang tetua adat sendiri. Dan karena itulah aku tetap jadi pelacur di sini. Kian hari kebencianku memuncak para pria itu. Ia menyandera Ibu sebegitu rupa. Kelakuannya juga makin tak dibendung. Makin sering mabuk, madat judi dan tetap main perempuan di kota.

Aku juga terpenjara dalam kampung keparat ini. Ingin sekali aku melepas statusku sebagai sundal kampung. Tapi, aku sulit lari dari keadaan. Aku ingin mati, tapi tak bisa. Aku berusaha berkali-kali coba  bunuh diri, tapi tak kuasa. Bapak bersama tetua adat sepakat akan menghabisi Ibu juga kalau sampai aku mati. Aku dihadapkan lagi-lagi pada pilihan buntu. Ibu yang membuatku hidup. Lantas, pantaskah aku yang harus “membunuhnya”?

Aku makin tersiksa karena delapan dari sepeluh anakku perempuan. Mereka cantik-cantik dan tampan-tampan. Kampungku memang sudah berubah sekarang, setidaknya dari raut dan fisik yang enak dilihat. Orang-orang kampung ini makin menginginkan aku. Tubuhku. Bukan cuma vaginaku, tapi rahimku. Kelak, mungkin juga anak-anak perempuanku.

Barangkali aku, Ibu juga anak-anaku adalah spesies yang memang mereka inginkan selama ini. Sialnya, aku hanya sendiri, menghadapi birahi dan hasrat lekaki kampung bejat yang ingin merubah kampungnya menjadi sempurna, meski kosong jiwa.

Kalian, tak usah tahu nama lengkapku, panggil saja aku Cai, si wanita sundal-pelacur. Begitukan mau kalian? []

Bojong Kulur: 18:05:2010

Minggu, 16 Mei 2010

Empat Sahabat

Persahabatan ini terjalin begitu saja. Bukan karena kebetulan aku duduk berpunggungan, lantas bisa berakrab dengan mereka. Dua teman sekelas wanitaku ini memang spesial.  Gayanya lugas, cerdas dan ceplas-ceplos. Terkadang juga kritis, tajam pada pokok persoalan. Suka humor, dan ini yang ku suka : wawasannya luas.

Aku tahu mereka ini begitu banyak membaca dari berbagai sumber bacaan. Apa saja bisa dibincangkan dan selalu nyambung. Soal politik, ekonomi apalagi cerita-cerita. Aku kalah jauh. Soal prestasi sekolah, seingatku duet perempuan ini termasuk yang diperhitungkan. Kalian jangan tanya aku soal prestasi sekolah, aku malu.

Satu lagi karib sebangkuku yang juga asik diajak berteman.  Ia lebih kecil dariku tapi soal kelincahan tak diragukan. Gesit dalam bergaul dan bisa merangkul, juga beradaptasi dengan mudah pada siapa saja. Kalian tahu, ia yang “menyelamatkanku” ketika teman sebangkuku terdahulu minta pindah tempat duduk, meninggalkanku.

Aku memiliki satu kelemahan utama yang memaksa harus duduk di deretan paling depan. Sejak SMP aku memang begitu. Dengan minus besar, bawaan sejak lahir, aku sulit sekali melihat papan tulis dengan jelas. Alih-alih bisa menjawab pertanyaan guru, membaca soalnya pun sulit. Aku tersiksa betul jika ada kebijakan rolling tempat duduk.

Ketika banyak teman berebut  datang pagi untuk pilih posisi duduk di awal ajaran, aku justru paling  tenang. Sudah dapat dipastikan jarang ada yang mau duduk paling depan. Kalaupun ada pasti “kecelakaan”. Bagiku justru berkah.

Ketika SMP aku sempat ditinggalkan teman sebangkuku juga. Ia pindah bukan tanpa alasan. Prilakunya yang nakal membuat ia dipindahkan ke kelas lain. Karena sulit diatur, ia akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Kabar terakhir yang ku dengar, ia kini sudah almarhum karena kelebihan dosis. Ah, sudahlah aku tak ingin menceritakan aib orang yang sudah tidak ada.

Ada satu kebiasaan kami yang selalu kuingat hingga kini. Karena bosan belajar dan mendengarkan ocehan guru, kami berempat sering ngobrol lewat secarik kertas. Kata-kata berbalas kata-kata. Ada cemooh, canda, gosip, atau informasi gak penting. Tapi kami sering cekikikan. Tawa kami terhenti begitu guru menoleh. Kertas, kami sembunyikan sebisa-bisanya. Kalau aku, paling hobi menyimpan di paha bawah.

Tanpa kami sadari cara komunikasi seperti itu justru efektif. Membuat suasana kelas tidak jemu dan mengikat keakraban. Segala yang sulit diverbalkan, mudah tertuang dalam satu-dua baris kalimat atau kurang. Kami bisa menumpahkan apa saja lewat  media itu.

Dua pria dan dua wanita.  Inilah kami. Unik karena kebebasan dalam bergaul. Perasaan hati lepas karena masing-masing dari kami bisa menjaga privasi. Aku tahu, dua teman wanitaku ini memang sudah memiliki teman pria yang ditaksir. Aku tahu betul itu. Begitu juga dengan teman sebangkuku yang juga tidak lagi sendiri. Aku, juga begitu. Inilah enaknya bersahabat yang tanpa sekat.

Keakraban ini berlanjut sampai-sampai jika ada di antara kami yang ulang tahun, kami patungan memberi sebuah hadiah. Tidak mahal, tapi sungguh berkesan., Satu kado yang ku ingat betul ketika aku ulang tahun adalah seperangkat alat tulis, lengkap. Pensil isi ulang, pulpen, penghapus juga penggaris. Semuanya berwarna unggu. Entah mengapa mereka memilihkan warna yang tak kusuka. Tapi demi mereka tentu saja aku suka-sukakan.

Sebagai  balasan, si penerima kado harus mentraktir kami. Dan, karenanyalah peristiwa itu terjadi.
Dengan berpakaian sekolah yang masih lengkap, kami berangkat menuju Pasar Baru. Naik metromini  P10 dari depan sekolah kami turun di Pintu Besi. Panas yang menusuk sirna oleh keceriaan kami. Aku lupa, siapa yang akan mentraktir hari itu. Yang jelas referensi untuk makan mie ayam ini datang dari temanku yang memang gemar mie. Mungkin karena ia seorang keturunan. Kalian pasti sudah pernah dengar, namanya Bakmi Gang Kelinci.

Seumur-umur aku belum pernah ke sana.. Tempatnya di belakangan pertokoan Pasar Baru. Tempatnya memang di gang yang sumpek. Jejal-berjejal dengan rumah-rumah penduduk yang padat. Aku juga tak mempertimbangkan lagi, apakah makanan itu halal atau tidak. Aku percaya saja. Dan harus diakui, mie ayam ini memang benar-benar bisa menggoyang lidah.

Pulang dengan badan yang masih kuyup keringat, kami tidak langsung mencari bus pulang. Tapi, sebentar melihat-lihat keramaian mall. Inilah bodohnya kami. Pergi dengan tidak berganti pakaian. Kami begitu mencolok. Di era yang sedang getol tawuran, kami benar-benar santapan empuk.

Empat pria tanggung, sebaya kami tiba-tiba menghampiriku dan juga teman sebangkuku. Dengan wajah yang disangar-sangarkan, salah seorang dari mereka mencolekku. Ia mendekatkan hidungnya yang bau ke kuping kiriku. Nada ancamannya memang membuat aku takut. Bau alkohol dan keringatnya membuatku mual. Aku bertahan dengan berbagai alasan, ketika mereka meminta sejumlah uang.

Aku tahu mereka juga terjepit karena suasana yang ramai. Aku mengulur waktu. Aku dipaksa ke sudut deretan celana-celana jins tapi kutolak. Aku tetap bertahan. Sekali lagi, aku molorkan waktu. Sayang, tidak demikian dengan teman sebangkuku. Ancaman beralih padanya, begitu mereka melihat ada jam yang melingkar bisa direbut. Siapapun akan menyerahkan barangnya, kalau sudah terjepit seperti itu.

Ia akhirnya merelakan jam hitamnya. Aku mengigil takut. Sungguh, aku tak membayangkan kalau mereka tidak mendapat sesuatu yang tidak diinginkan. Sekali lagi, temanku “menyelamatkan” kami. Meski untuk itu ia harus kehilangan jam tangannya. Lebih beruntung lagi, dua temanku yang lainnya tidak sempat diapa-apakan. Mereka berada dalam jarak yang aman.

Kami pulang dalam kebisuan. Ayunan kaki  kami dipercepat, dua langkah-dua langkah. Menghindari mereka yang sebenarnya sudah menghilang. Tapi, ketakutan itu tetap saja sulit dihapus, bahkan hingga di rumah.
Kini, 18 tahun sudah peristiwa itu berlalu. Aku juga tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke Bakmi Gang Kelinci.  Pengalaman pertama, mungkin juga terakhir.

Ini hanya sekelumit cerita kecil tentang tiga teman-teman baikku semasa SMA. Kapan-kapan  akan aku ceritakan lagi cerita lainnya. Aku sungguh tak ingin kehilangan mereka, setelah belasan tahun tak bertemu, meski lewat maya.

Cerita ini bisa saja tidak menarik atau membosankan. Tapi kisah ini adalah sepotong memori yang kurajut dalam kerinduan. Persahabatan itu terlalu berharga untuk dihapus.

Glora: 10:05:2010

Takluknya Sang Jendral

Aku dulu pernah bercita-cita ingin jadi tentara. Terlihat gagah dengan seragam, dan angker. Siapapun akan sungkan, atau mungkin juga takut. Kemanapun aku pergi pasti menjadi perhatian.

Tapi itu dulu. Setelah aku divonis berkacamata, angan-angan itu pudar. Belakangan aku sadar, apa enaknya jadi tentara. Kalau alasannya ingin gagah, toh dengan seragam kerja juga bisa. Ingin ditakuti? tidak perlu, karena sekarang orang lebih takut sama duit dan kekuasaan.

Pengabdian pada negara tidak usah repot-repot, karena semua warga negara diberi kesempatan sama untuk mengabdi. Lewat pajak yang dibayarkan, kita sudah memberikan pengorbanan pada negara. Meski setelah itu kita juga baru sadar kalau pengorbanan itu ternyata sia-sia: dirampok para kolektor-kolektor pajak.

Lewat uang, kita bisa mengatur. Kekuasaan pun bisa dikendalikan dengan mudah. Siapa bilang demokrasi diatur oleh suara terbanyak? Suara rakyat apakah benar suara Tuhan? wong, rakyatnya saja suka menyelingkuhi Tuhan. Jadi, berani betul kita mewakilkan pilihan kita pada Tuhan. Demokrasi itu adalah pencitraan. Siapa yang unggul pasti menang. Anda juga bisa dipoles begitu ciamik di mata publik, kalau mau. Persoalannya apakah anda punya uang? Kalau punya buatlah iklan terus-menerus dan jangan lupa berlakulah seolah anda orang suci di mata publik.

Apa berhasil? Mungkin. Tergantung bagaimana anda mendekatkan diri pada para pengusaha. Apa pentingnya pengusaha? Lho, mereka ini yang mengendalikan negara. Negara boleh mengklaim bisa mengkapitalisasikan PDB hingga Rp 6.300 trilyun. Tapi, dari mana uang sebanyak itu kalau tidak dari pengusaha. Lagi pula, APBN itu hanya sebagian kecil gambaran sebuah perekonomian. Perhitungan di luar itu, sangat besar, dan itu yang mengendalikan adalah pengusaha.

Jadi, siapapun anda kalau tidak menggandeng pengusaha akan sulit. Lebih sempurna lagi kalau anda adalah pengusaha sekaligus politisi. Nah, ini baru klop. Sebagai pengusaha anda tentu memiliki kolega besar. Uang tentu tidak jadi soal. Terlebih ketika anda adalah seorang yang berpengaruh di sebuah partai besar. Pergerakan politisi itu seperti belut, dan pikiran pengusaha itu selincah ular: menghindar dan menyambar begitu ada kesempatan.

Kalau tentara, kaku dengan garis komando tegas. Perhitungan cermat lebih dipentingkan, meski kecepatan juga menentukan. Dengan pola pikir seperti ini, tentu menjadi santapan empuk si pengusaha-politisi tadi.

Tololnya,  sejawat-sejawat politisi-pengusaha ini tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu-dayai. Mereka digiring ramai-ramai untuk merongrong penguasa yang kebetulan seorang bekas Jendral. Ia menggunakan cara paling purba, yakni menciptakan musuh bersama.

Di singgasana, Sang Jendral yang sedang pusing memikirkan nasib teman duetnya dan pembantunya -yang mulai banyak diprotes- berfikir keras agar kekuasaannya tidak goyang. Maka, dirangkulah pengusaha-politisi ini untuk ikut memperkuat posisi dengan diberi jabatan pretisius, menjaga keutuhan koalisi.
Sang Jendral pun senang. Si pengusaha-politisi lebih senang lagi. Dua tujuan bisa tercapai: menyingkirkan musuhnya karena mengusik-usik tunggakan-tunggakan upetinya pada negara, di saat sama bisa mengambil ancang-ancang untuk pemilu mendatang.

Sang Jendral tidak menyadari bahaya yang mengintai. Sesungguhnyalah, ini hanya dendam-ambisi yang disatukan. Targetnya tentu saja kekuasaan. Pengusaha-politisi itu ingin menduduki singgasana. Ia merangkul pelan-pelan dari bawah. Tapi, kita tahu, mulutnya terus mendesis, lidahnya yang penuh buih bisa, menjulur-julur mencari kesempatan. Sang Jendral yang kini bisa terlelap, makin lengah. Si ular terus siaga menunggu waktu yang tepat.

Ular itu bersembunyi diranting-ranting pohon yang tertutup rimbunan daun pohon beringin. Sang Jendral makin pulas oleh desiran angin yang menyejukkan di bawah pohon tua itu.
***
Aku sekarang tambah bingung. Apakah ingin jadi pengusaha, politisi atau tentara. Ah, sudahlah aku lebih menikmati duniaku sekarang. Bebas menulis, mengkritisi diri sendiri dan mentertawai kalian. []

Glora: 11:05:2010

Minggu, 02 Mei 2010

Bersekutu Melawan Dewa

Ulasan Film "Clash of The Titans"



Di jagad ini tidak ada yang sempurna, termasuk para Dewa. Manusia membutuhkan Dewa untuk kelangsungan hidup. Begitupun, keabadian Dewa sangat ditentukan doa-doa umat manusia. Lantas, apa jadinya jika dua kekuatan ini saling berselisih. Inilah yang ditawarkan Warner Bros Pictures lewat film “Clash of The Titans”.

Manusia mungkin ditakdirkan untuk sulit berterima-kasih, bahkan membangkang kalau perlu melawan. Apa bisa, manusia melawan Tuhan (Dewa)? Anda tidak usah memakai logika untuk bisa menikmati film ber-genre petualangan dan fantasi seperti ini. Nikmati saja. Lebih tidak masuk akal lagi, ketika anda mendapati bahwa Dewa Zeus (Liam Neeson) menzinahi wanita dari golongan manusia.

Begitu kasihnya Zeus pada manusia, ia ingin memberikan pelajaran pada Raja Acrisius (Jason Flemyng) yang terang-terangan murka pada para Dewa. Zeus ingin mengikat Acrisius lewat benih di istrinya, yang mengandung putra setengah Dewa : Perseus. Namun ditolak Acrisius dan justru, bayi dan beserta istrinya ditenggelamkan ke laut.

Dewa tentu lebih berkuasa. Bayi mungil ini bisa bertahan hidup. Sialnya, lelaki inilah yang kelak, dengan gagah bisa membalaskan dendam manusia, terutama pada Dewa kegelapan dan kejahatan, Hades (Ralph Fiennes), yang telah membunuh ibu, ayah tiri, dan adiknya.
Perseus yang diperankan Sam Worthington harus diakui kurang memukau dan meyakinkan. Tentu jauh jika anda membandingkannya dengan Russell Crowe dalam “Gladiator”. Special effect yang dipamerkan film berdurasi 1 jam 35 menit ini juga biasa saja. Tidak ada hal istimewa, dan cenderung seragam saat kita menyaksikan film sejenis seperti “The Mummy”, “Lord of The Ring”, Troy”, “Scorpion King” atau “Beowulf” dan film serupa lainnya.

Sutradara Louis Letterier memang berusaha memaksimalkan para pemain, dengan pengambilan sudut-sudut gambar yang memang sulit. Kecepatan pemain harus maksimal untuk memadankan teknologi animasi, terutama saat melawan penyihir berkepala ratusan ular. Di akhir cerita kepala ular ini digunakan untuk membunuh Kraken, raksasa penghancur saat manusia di kerajaan Argos tidak bisa menumbalkan Andromeda (Alexa Davalos), sang Putri, sebagai wujud kepatuhan pada para Dewa.

Beginilah enaknya fiksi. Dewa pun bisa dikalahkan. Bahkan dengan bantuan iblis, yang menginginkan betul Dewa dibinasakan. Hades akhirnya mampu diusir dan dikirim ke negeri bawah tanah (neraka), tempat asalnya.

Zeus tentu saja bisa tetap bertahan. Ia yang “melahirkan” para manusia dan selalu menjaganya. Maka, ia membutuhkan cinta dan doa-doa yang dipanjatkan umat manusia. Zeus berpesan : “Jangan pernah melemah. Kelemahan manusia hanya membangkitkan Hades (sifat-sifat jahat)”. Bagaimana? []

Bojong Kulur: 29:04:2010

Rabu, 28 April 2010

Hal Sepele Juga Bisa Menarik

Ulasan Film " Cop Out"



Kalau anda kangen gaya kocak Bruce Willis dalam serial TV “Moonlighting” mungkin saatnya menyaksikan film terbarunya, “Cop Out”. Willis yang memerankan detektif Jimmy Monroe dipaksa melucu setelah sebelumnya dijargonkan sebagai super jagoan -setidaknya dalam “Die Hard”- beberapa tahun silam.

Dipasangkan dengan Tracy Morgan, sesungguhnya Willis nampak tenggelam. Entah, apa yang diinginkan sang sutradara, Kevin Smith, yang meminta Morgan terlihat begitu berlebihan. Willis ibarat pelakon Cahyono di Jayakarta Grup, yang hanya memberi umpan-umpan kelucuan pada mitranya di film tersebut, Paul Hodges.

Sebagai aktor serba-bisa, peran Willis memang tetap enak ditonton. Sayang, alur cerita yang disajikan duet Robb Cullen dan Mark Cullen begitu ringan, bahkan terlalu sederhana. Mungkin karena film ini memang ber-genre laga, kriminal yang setengah humor. Terlebih saat Jennifer Euston, si penentu peran, memasangkan Seann William Scott sebagai Dave, yang tampil jorok di "American Pie".

Dave inilah biang keonaran. Ketika Jimmy Monroe ingin menjual kartu baseball kesayangannya, Dave mencurinya, tepat ketika transaksi akan dilakukan di sebuah toko. Satu set kartu legendaries “Andy Pafko” itu bukan barang murah, karena nilainya saja bisa mencapai 83 ribu dolar AS. Bukan tanpa alasan Monroe menjual kartu pemberian ayahnya itu. Polisi veteran NYPD ini ingin membuktikan pada mantan istrinya, ia mampu membiayai kebutuhan pernikahan anaknya senilai 43 ribu dolar.

Perburuan Dave pun dimulai. Beberapa kejadian kocak pun dimunculkan. Hodges sering berlakon tidak pada tempatnya, sehingga film ini terasa janggal dan mengganggu. Namun, inilah hebatnya Hollywood, persoalan sepele pun bisa dibuat film asyik. Ketegangan hadir saat Dave mengaku bahwa kartu baseball itu dijual ke gembong narkoba New York, Poh Boy (Guillermo Diaz).

Persoalan makin rumit, karena adik kesayangan Poh Boy, Juan (Cory Fernandez), tewas saat kejar-kejaran dengan Monroe dan Hodges di dalam pemakaman. Beruntung film ini masih menampilkan wanita cantik Anna de la Reguera, yang memukau saat memerankan Gabriela, si pembawa flash drive yang menyimpan begitu banyak transaksi Poh Boy.

Ujung film ini tentu saja bisa anda tebak. Poh Boy tewas, dan Gabriela yang terandera bisa selamat. Serta pernihakan anak Monroe tetap bisa berlangsung.

Cuma, ini yang di luar dugaan : kartu baseball yang menjadi inti cerita justru hancur, terkena serangan mereka sendiri, saat menyarangkan peluru di dada kiri Poh Boy. Sebuah satire yang mengejutkan! []

Gelora: 27:04:2010

Rabu, 21 April 2010

Kejujuran Setengah Hati

Ulasan Film "Green Zone

Apa jadinya jika sebuah berita hanya mengandalkan pada satu sumber, tanpa cek ulang. Padahal, isu yang diangkat begitu sensitif. Lebih merepotkan lagi, laporan ini dimuat dalam satu surat kabar terkemuka : Wall Street Journal.

Irak yang berkecamuk di awal tahun 2003 begitu menyudutkan Amerika Serikat (AS). Isu Pemerintahan Saddam Hussein soal Weapons of Mass Destruction (WMD) atau senjata pemusnah massal benar-benar harus bisa dibuktikan. Hanya alasan itulah AS mampu menjustifikasi agresinya.  Film Green Zone (Universal) sungguh sebuah karya yang ingin mereposisi wajah AS secara tanggung. Ingin berusaha jujur, tapi di akhir cerita tetap dibiarkan menggantung. Atau jangan-jangan secara diam-diam memang tidak ingin disalahkan.

Untuk tugas maha berat itulah maka, AS mengirim Kepala Perwira Tinggi Roy Miller (Matt Damon) . Dalam keterbatasan waktu yang dimiliki Miller harus bekerja cepat.

Dokumen proyek WMD Saddam didapat Lawrie Dyne, sang reporter, rupanya dari sumber kedua, seorang petinggi di Washington. Sumber utamanya adalah seseorang yang disamarkan : “Magellan”. Ia seorang Irak. Berangkat dari sumber itulah, laporan itu muncul. Miller yang frustasi karena selalu gagal menemukan senjata pemusnah massal itu mulai curiga ada sesuatu yang janggal. Ia bahkan tegas mengatakan laporan inteligen tidak bisa dipercaya.

Lawrie sendiri sebenarnya sudah mencoba mencari data tambahan ke berbagai sumber, tetapi selalu dihalangi oleh pejabat di Pentagon. Jelas, tujuannya adalah untuk membuat isu itu berkembang seperti yang diyakini saat ini.

Paul Greengrass, sang sutradara, sengaja menciptakan konflik internal di dalam misi ini. Persis seperti ketika ia menggarap film “Bourne Supremacy” dan ”The Bourne Ultimatum”. Entah mengapa Matt Damon selalu ditokohkan sebagai orang yang kerap berseberangan dengan sebuah misi, dan selalu soal inteligen.

Film berdurasi 1 jam 45 menit ini memang penuh ketegangan. Layaknya film perang, banyak sekali  gambar bergoyang karena menggunakan teknik hand-held. Tentu maksudnya agar anda seolah berada dalam kancah konflik ketika menontonnya. Yang menarik, film ini juga soal perang inteligen.

Bagaimana kemudian, Miller ternyata juga didukung secara diam-diam oleh kepala CIA Bagdad Martin Brown (Brendan Gleeson). Ambisi Miller untuk mengungkap kebohongan laporan soal WMD awalnya berjalan mulus, berkat bantuan Freddy (Khalid Abdalla), seorang warga Irak.

Sayangnya, gerakan mereka terendus. Miller harus berkejaran dengan pasukan lain mengejar sumber penting laporan palsu itu : Mohammed Al Rawi. Tak jelas alasan apa yang membuat Al Rawi  harus membuat laporan bohong dan disebarkan ke inteligen AS. Mungkin lawan politik Saddam? Yang pasti ia menyesali keputusannya. Dan terang-terangan ingin memerangi pasukan AS.

Kisah ini memang lumayan menarik. Mungkin karena diinspirasi dari sebuah buku karya Rajiv Chandrasekran berjudul ‘Imperial Life in the Emerald City: Inside Iraq’s Green Zone’. Namun, akhir film yang dibuat di Maroko, Inggris dan Spanyol ini sungguh tidak enak.

Memang, Miller dengan begitu emosi bisa menyebarkan laporan inteligennya pada media, termasuk Wall Street Journal. Cuma ini yang membuat Lawrie benar-benar terpukul. Kredibilitasnya sebagai reporter dipertaruhkan. Miller  terang-terangan membantah laporan investigasi Lawrie. Tajuk laporan Miller : “Falsification of MWD Intel, The Truth About “Magellan”.

Apakah laporan Miller lantas dipercaya? Belum tentu. Sumber kunci kebohongan : Mohammed “Magellan” Al Rawi ditembak Freddy, yang kecewa negaranya “dijual”. []

Bojong Kulur: 22:04:2010

Selasa, 20 April 2010

Mencari Aku

Kami memanggilnya Ivan. Sepanjang sekolah, aku selalu menghindari anak ini. Sebenarnya ia tak pantas disebut anak. Usianya memang tidak aku tahu persis. Dari badannya yang besar, betisnya yang talas, dan telapak kakinya yang piring, aku menduga ia sepantaran anak SMP kelas 3.

Ia gila atau kami yang gila. Tiap melewatinya kami bergidik sendiri. Wajahnya besi. Minus ekspesi. Matanya tajam menyayat. Dahinya meneliti setiap yang lewat. Bukan saja kami, anjing juga dipelototinya. Ivan memang ganjil. Usai menyimak lingkungan, tiba-tiba tawanya bisa begitu meledak. Terkekeh-kekeh sendiri. Udelnya yang bodong sampai-sampai tersembul, karena tersibak kaos longgarnya.

Keganjilan Ivan sudah lama. Sebelum pindah ke tempat tinggalku sekarang, setahuku ia sudah ada. Ia orang kaya. Rumahnya gedong, bertingkat dua setengah. Bapaknya seorang pejabat di sebuah BUMN. Ibunya sekretaris di perusahaan minyak asing. Jadi jelas, bukan karena uang Ivan tidak sekolah. Ivan tidak gila. Hanya kami  saja yang dianggapnya gila.

Suatu kali, Ivan berlaku sopan. Wajah besinya tak tampak. Senyumnya mengembang. Bahkan menegur kami yang sudah ketakutan.  Kami jalan melipir hingga ke tepi kali. Ia justru makin gencar mendekat. Kami terbirit. Ia ikut lari. Ia menoleh ke belakang. Dikiranya kami dikejar orang gila. Ia ikut-ikutan lari.

“Mana orang gilanya?” ia berteriak.
“Cepetan ia ngejar terus!” aku tak kalah berteriak.

Ivan makin mempercepat ayunan kakinya.

“Mana orang gilanya?” lagi-lagi Ivan menoleh ke belakang.

Kami diselamatkan gerbang sekolah. Penjaga sekolah cepat-cepat menutup pintu pagar dan menghardik Ivan dengan keras.

“Husss, sana pergi!”
“Pak, katanya ada orang gila. Aku takut. Mo masuk..” Ivan melolong iba.
“Ya kamu orang gilanya!”

Tawa kami spontan berderai. Tapi tidak lama. Wajah besi Ivan tiba-tiba keluar. Aku tahu, ia bukan Ivan yang tadi. Kakinya seperti tertancap.  Dua tangannya kokoh mencengkram pagar besi. Dagunya sembilan puluh derajat dengan leher. Matanya seperti mau keluar.

“Sudaaaah, sana pergi..” suara Mang Doel pelan.

Ivan tak beranjak. Bahkan makin tegas. Melihat gelagat ini, Mang Doel, yang sudah lima belas tahun menjaga sekolah SD kami paham. Ia meninggalkan Ivan sendirian, karena memang kebetulan lonceng masuk sudah berdentang. Meladeninya hanya membuang energi. Ia sepanjang hari bisa berpatung seperti itu. Kalau tidak dibujuk oleh Iyam, pengasuhnya, ia tidak akan bergerak.

Kejadian ini bukan pertama. Sebelumnya juga begitu. Ia merasa waras sendiri. Dan memang, ketika kewarasannya timbul, tidak ada hal aneh yang ditunjukkan. Hanya kami saja yang gila. Ketakutan sendiri oleh kegilaannya. Meski prilakunya tidak biasa, ia tidak pernah melukai. Justru kami yang sering melukainya.

Terkadang, kami sering meledeknya. “Ivan gilaa..aa…Ivan gilaaa..aa…Ivan gilaa..aa….”
Ia tetap tenang. Ketenangannya membuat kami tidak puas. Sesekali kami lempari ia dengan kerikil. Ivan sama sekali tidak membalas. Ayam yang sedang kawin justru lebih menarik perhatiannya. Entahlah mungkin ia membayangkan si jantan adalah dirinya. Aku tidak berlebihan, sebagai anak laki-laki yang mungkin sudah balikh ia juga tertarik pada perempuan.

Ivan gemar betul mengejar-ngejar anak perempuan, dibandingkan kami yang melemparinya dengan krikil. Ia candu dengan suara-suara mereka. Ketakutan dan teriakan anak-anak perempuan itu makin membangkitkan gairahnya untuk makin gencar mengejar.

Kalian jangan salah duga, ia tidak memiliki kelainan seksual. Begitu anak-anak itu benar-benar ketakutan Ivan berhenti. Langkahnya surut kalau ia mendapati teman perempuan kami sudah meringkuk ketakutan. Cuma sampai disitu. Tidak lebih. Ivan sekedar mencari sensasi dari ketakutan.

***

Siang ini, aku pulang lebih lama. Ada beberapa les yang harus aku ikuti. Anak kelas enam SD memang begitu. Beberapa les yang kuikuti sebenarnya membosankan. Matematika yang bukan kesukaanku terpaksa harus dijejalkan-jejalkan ke dalam otak. Ini bukan wajib, tapi guru tidak bertanggung-jawab kalau nanti tidak dapat SMP negeri. Lho?!

Kebetulan tiga temanku yang biasa searah tidak dapat ikut les. Ada yang sakit. Menjemput Budenya di terminal Pulo Gadung dan satu temanku tidak jelas. Ia sih masuk, hanya saja, usai pelajaran terakhir izin ke kamar mandi, lantas menghilang.

Aku menyusuri jalan yang tidak biasa. Lebih dekat memang, hanya saja jalan ini agak sepi. Kalau dengan teman-temanku lebih memutar. Meski begitu aku lebih suka karena bisa bergurau sepanjang jalan.
Aku menyusuri jalan yang tidak biasa. Lebih dekat memang, hanya saja jalan ini agak sepi. Kalau dengan teman-temanku lebih memutar. Meski begitu aku lebih suka karena bisa bergurau  sepanjang jalan. Dengan perlahan aku melawati gili-gili jalan yang berundak, sisa penggalian yang becek.

Dari belakang, aku mendengar langkah orang. Terdengar rusuh sekali. Dari caranya berjalan, aku tahu orang ini pasti sedang tidak stabil. Seperti kekurangan waktu, ia menerabas  pundakku dengan keras, sampai-sampai aku nyaris tersungkur.

Sosok bongsor itu menoleh kebelakang. Baru beberapa langkah melewatiku ia berbalik. Ia mencermatiku dengan teliti. Wajah besinya lagi-lagi dimunculkan. Ia seperti hendak menerkamku. Aku mengigil. Lututku bergerak-gerak sendiri. Gigi-gigi atas-bawahku mengunci satu dengan lainnya.  Hanya bibirku saja yang sulit dihentikan. Bergeletar, mengeluarkan suara yang tak kupahami sendiri.

Ia menghampiriku dengan tegap. Langkahnya yakin. Dalam jarak satu langkah, ia tiba-tiba berhenti.
“Aku Ivan,” tegasnya sambil menyodorkan tangannya yang penuh kapalen.
“A-aku Ahsani,” aku menyambut tangannya yang tiba-tiba terasa dingin.

Aku sendiri sulit menebak rasa batinku saat itu. Mengapa ia bisa begitu ramah. Atau jangan-jangan ini hanya strategi agar ia bisa mendekat dan, kemudian memperdayaiku. Aku harus pergi, batinku makin kencang.

Namun, Ivan menghalangiku. Tubuhnya yang besar menutupi  jarak pandang lurusku. Aku tengok ke belakang, tak seorangpun lewat. Ivan masih tegar dihadapanku. Ia begitu menikmati ketakutanku. Tidak ada senyum. Cuma tatapan kosong merunduk ke mukaku.

Tiba-tiba ia menarik tanganku. Cekatan sekali, hingga aku sulit berkelit. Tangannya yang lebar melingkari tulang pergelangannku yang mungil. Diajaknya aku ke sebuah tanah lapang, yang ditumbuhi begitu banyak ilalang dan pohon liar. Ivan mengajakku duduk.

***

Kejadian siang itu sulit aku hapus. Besoknya aku seperti orang linglung. Aku kali ini berangkat sendiri. Lebih pagi, karena ada seseorang yang ingin kutemui. Ia sudah menunggu di tempat siang kemarin kami berbincang.

Pagi itu aku kembali diajaknya duduk-duduk. Berbincang yang tak tentu arah. Aku menikmati betul suasan seperti itu. Apalagi Ivan, ia memiliki teman sejati sekarang. Teman untuk bisa mencurahkan keluh kesahnya. Teman yang bisa diajak untuk melihat realita : bahwa dunia disekelilingnya sudah gila.

“Bukan…bukan aku yang gila…tapi mereka,” tegas Ivan berulang-ulang.

Aku mengamini saja perkataannya. Itu yang membuatnya tentram. Aku juga begitu. Aku merasa berada di dunia yang sama sekali berbeda. Kami kian akrab. Bukan cuma itu, kami makin menyatu satu dengan lainnya.

Ujian akhir tinggal dua pekan lagi. Teman-teman makin giat belajar. Tapi, aku makin tidak peduli. Aku lebih memilih bolos dan bermain dengan teman baruku. Aku juga tidak lagi peduli apa yang dinasehati guru. Orang tuaku juga menyerah. Dokterpun didatangkan  ke rumahku. Padahal, aku merasa tubuhku baik-baik saja. Aku tidak gila. Pikiranku juga sehat.

Aku lari kencang meninggalkan lantai dua, kamarku. Ibu dan ayahku ikut mengejar. Aku makin kencang. Satpam rumahku juga ikut mengejar. Tapi karena tak ingin ambil risiko yang mengancam-ancamnya, aku dibiarkan pergi. Aku terus berlari, mencari Ivan, ke lapangan tempat kami biasa berbincang.

Hingga berkeliling tiga kali, aku tidak juga menemui Ivan. Hanya Iyam saya yang tiba-tiba muncul dari semak. Melihatnya hatiku luluh. Aku tak tahu mengapa dekat dengannya begitu damai. Ibuku tak sehangat ini kalau memeluk.

“Bi,…aku ingin dekat sama bibi terus,” aku memeluk Iyam begitu erat.
“Iya..iya. Tapi kamu harus pulang. Mereka menunggu.”
“Gak mau. Aku mau ketemu Ivan dulu,” suaraku mengeras.

Bi Iyam hanya tersenyum mendengar keinginanku. Ia tak memaksa, tapi ia memberikan solusi.
“Ya sudah nanti Bibi yang cari, kamu pulang dulu ya…”

Entah mengapa aku turuti kemauannya.

Di rumah aku sudah disambut beberapa orang. Ia membujuk-bujukku. Aku tetap berkukuh ingin menemui Ivan. Cuma ia yang bisa mengerti kondisiku. Dokter itu kembali tersenyum, persis seperti senyum Bi Iyam. Hanya ayah dan ibuku saja yang masih memasang muka tegang. Khawatir sekali kelihatannya.

Aku dibaringkan di kamaku lantai dua. Badanku tiba-tiba lelah, berkunang-kunang. Aku mendengar suara Ivan, juga mereka. Aku bangkit. Samar-sama aku mendengar perkataan mereka.

“Anak Bapak memang belum stabil. Kelihatannya butuh perawatan serius. Kalau perlu dibawa ke Rumah Sakit,” terang dokter muda itu.
“Tapi ia masih bisa sekolah,” ayahku membela.
“Iya tapi tetap belum stabil. Kadang-kadang muncul. Ini berbahaya, juga,”  Dokter itu coba meyakinkan.
“Saya tidak mau, anak saya masuk SLB,” ayahku meninggi, “Aku juga tidak mau sampai ketahuan anak saya gagal mental.”
“Pak, Muhammad Ivan Ahsani itu butuh perawatan serius,” dokter itu mulai mengeras.

Kalimat terakhir ini seperti gledek siang hari yang menerabas ubun-ubun kepala. Aku, Ivan??? Bukan…bukan, mereka pasti salah. Aku Ahsani.Ivan itu sinting, gila…A-aku waras, masih bisa sekolah…mereka pasti salah.

Aku berontak. Teriak sekencang-kencangnya. Akan kubuktikan kalau Ivan itu ada. Dan, dia bukan aku. Ya, bukan aku. Ivan gila, aku waras. Aku berontak, tapi tubuh kecilku tak mampu menahan semua serbuan tangan-tangan itu. Aku menyerah.

***

Hanya Iyam yang sesekali menemuiku di sebuah kamar sempit dan bau ini. Teman-temanku yang lainnya sibuk berteriak-teriak. Menangis. Terbahak-bahak. Ayahku telah lama meninggalkanku, bersama ibuku yang sudah pergi besama laki-laki lain, begitu tahu kebohongan absolut tentang diriku. Iyam adalah ibu sejatiku. Ia yang merawatku, juga melahirkanku.

Ivan, akan tetap kucari. Hanya si sinting itu yang membuatku bisa  dibui seperti orang gila….[]

Bojong Kulur: 20:04:2010

Minggu, 18 April 2010

Kisah Robot dan Anak Miskin

Fiksimini-3:

1. Robot


Ku ajak kau mendengar, melihat, supaya kamu bisa belajar  merasa.  Tapi  tetap tak bisa. Ah, aku lupa kamu cuma robot: gerakmu pasti sesuai perintah.


2.Gerobak


Bocah  itu berkeluh, "Bu, aku tak mau ditaruh digerobak!"
"Maaf Nak, Ibu tak sanggup sewa ambulance sampai ke makammu"

3.Cahaya Iman


Lesatan itu cuma bisa ditangkap oleh mata. Ya, mata hati, bukan kasatmata. Ia sebuah keimanan.


Gelora: 18:04:2010

Rabu, 14 April 2010

Antara Cinta dan Ideologi

Sinopsis dan Tinjauan Film "Form Paris With Love"





Jika anda pemuja cinta, bersiaplah kecewa. Ternyata, cinta bukan segalanya. Tak percaya? coba saja tengok adegan di penghujung film “From Paris With Love”. Dengan bengis agen CIA James Reese (Jonathan Rhys Meyers) menembak pujaan hatinya, Caroline (Kasia Smutniak), tepat di tengah kening. Demi misi penyelamatan, ia harus melakukan itu. Lantas dimana kekuatan cinta?

Reese memang tidak ada pilihan untuk menembak mati kekasihnya, yang tak lain teroris Pakistan yang sengaja disusupkan pada sebuah acara resmi kenegaraan Africa Summit di Paris. Juga tidak ada cinta sejati, kecuali ideologi. Caroline adalah sebuah misi. Di sekujurnya dilingkari bom yang siap membinasakan para delegasi.

Teroris paham betul, kelemahan pria salah satunya ada pada kemolekan perempuan. Caroline yang sejatinya tak sungguh mencintai staf Dubes AS untuk Prancis Bannington itu, memberinya sebuah cincin tunangan, yang juga berfungsi sebagai sebuah sinyal. Kebutaan cinta membuat segala gerak Reese mudah terpantau. Sikap melankolis seperti ini memang berbahaya untuk seorang agen rahasia.

Itulah barangkali alasan CIA mengirim Charlie Wax (John Travolta). Pria gempal, berkepala plontos ini disosokkan Pierre Morel, sang sutradara, sebagai pria kejam, tegas, slengean, juga humoris. Wax, memang mirip pemoles cat kendaraan. Ia dengan gampang ‘membersihkan’ siapa saja yang membahayakan misi.

Termasuk teman wanita Caroline, Nicole, yang secara kebetulan menerima telepon nyasar. Di saat mereka berempat bersiap makan malam, dengan tanpa belas kasih Nicole ditembak di pelipis kiri oleh Wax, hanya gara-gara ia menyebut kata ‘Rose’ : sebuah kata sandi teroris yang dipahami Wax. Film ini memang jauh dari judulnya. Mungkin ingin menyamarkan kesan kejam yang sungguh diumbar dalam film berdurasi 1,5 jam itu.

Aksi yang dipertontonkan memang asyik untuk dilihat, terutama bagi penggemar film kekerasan. Juga kalau anda senang film yang memamerkan gadget, atau detektif mungkin sayang untuk melewatkan film ini. Masalah utama film ini adalah, di salah satu adegannya mengapa harus dipampang besar-besar tulisan Allah dalam aksara Arab, pada sebuah dinding markas teroris yang disambangi Wax dan Reese.

Rasanya itu tak perlu, karena seolah ingin mengidentikan aksi teror adalah sebuah perintah agama. Sungguh menyakitkan!!!

Anehnya lagi, bagaimana bisa Caroline mampu menembus barikade pengawasan super ketat, padahal ia membawa begitu banyak bom mematikan meski tubuhnya dibalut jubah kuning hingga menutup kepala. Apa karena ID yang dicurinya dari Reese.Terlalu konyol kalau begitu…

Yang pasti, produk-produk film garapan Hollywood memang sebuah propaganda. Misi dibalut sebuah cerita. Penonton dituntut kritis dalam menyaksikan sebuah film. Jangan terlena oleh kehebatan aksi dan animasinya yang jujur diakui memang enak untuk ditonton. []

Bojong Kulur: 08:04:10

Doa Dua Wanita Tentang Air

fiksimini-2 :

1.Menggugat Tuhan

“Tuhan, mana doa yang kuberikan dulu?”/”Ku-simpan dalam kotak”/”kok??”/”Ku-butuh kesungguhanmu!”

2.Dua Wanita

Gincu merah di bibirnya bersih setelah semalaman dikulum istrinya di sebuah malam yang gulita

3.Air

Tepat. Ketika setetes air itu diambil, dunia berubah menjadi kering.

Bojong Kulur: 14:04:2010

Senin, 12 April 2010

Surat Teroris untuk Petani

fiksimini-1 :

1.prangko

Maaf sayang, aku tak sempat kirimimu surat. Aku lupa, prangko terakhirku telah tertempel di pojok kanan surat istriku

2. teroris

Ketika kepalanya terpisah karena serangannya sendiri, teroris itu berucap, “wajahku akan segera terkenal.”

3. nasib petani

Dulu, sungai mengalir deras, melewati sawah dan kebun. Kini sawah dan kebun bergerak, menghampiri petani, yang bertepian di sisi sungai sambil menatap dinding-dinding beton. []

Bojong Kulur: 13:04:2010

Nikmat 10 Senti

Aku setahun ini berjuang keras mengendalikan gula darahku. Aku ingat betul, sepulangku dari tugas liputan ke Filipina dan Vietnam, kepalaku seperti mau pecah. Biasanya, hanya dengan diistirahatkan sebentar atau minim Panadol, rasa sakitnya hilang. Tapi ini, sudah dua hari cenut-cenutnya sulit sekali diusir.

Tukang pijat langganan juga telah dipanggil. Aku mengira masuk angin, karena sebelumnya memang cukup kelelahan setelah hajatan adik iparku yang menikah. Tapi di hari ketiga dan keempat, kepala seperti meledak. Badan melayang-layang. Kaki seperti tak menjejak di lantai. Aku makin limbung.

Istriku terlihat gelisah. Aku dimintanya berulang-ulang agar ke dokter. Untuk kesekian kalinya aku menolak. Di hari kelima, kondisi masih tidak berubah. Meski sempat hilang sebentar, tapi pusingnya tidak benar-benar pergi. Di hari ke tujuh sejak pelanconganku ke luar negeri, kliyenganku kembali muncul. Aku memutuskan ke dokter…

Aku divonis terkena diabetes. Gula darahku ketika itu 345 !!! Aku lunglai. Tak percaya. Orientasiku tiba-tiba hilang berubah menjadi ketakutan. Bagaimana bisa, di umurku yang baru 35 tahun, sudah terkena penyakit menyeramkan seperti itu? Ya, Allah berilah aku kekutan untuk menghadapinya….

***

Benar kata orang, silaturrahmi bisa memudahkan urusan. Aku ingat betul, sebulan sebelum aku divonis diabetes, aku secara kebetulan bertemu teman lama di sebuah acara. Kami berbincang-bincang, bertukar alamat rumah, e-mail dan telepon. Ia seorang dokter, spesialis diabetes. Dan kebetulan juga, rumahnya dekat-dekat saja.

Ketika hasil darahku keluar, aku langsung mengontaknya.. Sore itu juga aku konsultasi.

Dia begitu rinci menerangkan penyakitku. Mulai dari penyebab hingga menjaga dan pencegahannya. Salah satu penyebab gula darahku melonjak selain karena faktor keturunan juga akibat gaya hidup yang ngawur.

Makanku ‘jorok’ dan sembarangan, dan ini yang fatal : tidak pernah berolahraga. Ku ingat-ingat, terakhir aku rutin berolahraga sejak SMA, itupun seminggu sekali. Selama kuliah, hampir tidak pernah. Hanya sesekali saja berenang bersama kawan-kawan. Ini sulit dikatakan olahraga karena lebih banyak bermain airnya.

Ukuran makanku memang sering tak ditakar. Kalau perut belum terasa penuh, mulut sulit dihentikan. Jenis yang ku makan juga menakutkan. Sop kambing, atau tongseng. Aku juga penggemar masakan padang. Kuah berkilat-kilatnya selalu saja menggodaku. Sampai lupa perut, tak terasa sudah dua piring.

Kalau kebetulan dapat tugas liputan di hotel lebih parah lagi. Minuman soft drink dingin membuat tenggorokan makin madat untuk minta terus digerojok. Aneka makanan yang manis-manis sudah tak terhitung berapa saja aku hajar. Belum lagi makanan besarnya, yang lagi-lagi banyak lemaknya. Komplit sudah timbunan lemah dalam tubuhku.

Puncak krisisnya terjadi ketika aku berada di Vietnam. Di sana kami selalu disajikan makanan laut yang tinggi kolesterol: kerang, kepiting, cumi, dan tak lupa mie. Padahal, mie memiliki kandungan karboditrat tinggi. Konon, semangkuk mie setara dengan dua piring nasi. Aku penggila semua makanan itu. Maka, tanpa ampun apa yang disajikan aku embat. Syukurnya, di negeri orang, badanku baik-baik saja meski aktivitas begitu padat, sehingga menyita waktu istirahatku.

Bukan tidak ada yang mengingatkanku tentang kebiasaan buruk ini. Tapi semuanya aku anggap angin lalu. Libido makanku sulit dihentikan. Kian hari, beratku bertambah. Akibat absen olahraga sekian tahun, lemak jahatku makin bengis. Tanpa belas kasih menjajah pankreasku. Glukosa yang mestinya diurai, terus tertimbun. Insulinku yang bertugas ‘menarik’-nya dari darah kian sulit mengenalinya karena ditutupi lemak yang berlipat-lipat. Maka, gulaku itu beredar luas dalam darahku.

Kalian tahu, lemak-lemak itulah biang mengapa gulaku sulit dikontrol. Teman dokterku itu bilang, selama lemak itu menutupi glukosa maka insulin sulit bekerja. Insulin dan glukosa seperti pasangan setia. Satu unsur insulin hanya bisa mengenali satu glukosa. Kalau ia tertutup lemak, insulit sulit merangkulnyal. Insulin tidak mengenal poligami. Ia tidak mungkin menggaet dua glokosa sekaligus. Jadi, satu-satunya jalan hanya dua : mengatur pola makan, yang artinya mengurangi potensi lemak jahat. Serta, olahraga agar lemak-lemak itu hancur. Dan dua insan ini bisa saling bertemu…

***

Selama enam bulan aku berjuang di dua wilayah itu. Syukurnya, dalam tiga bulan pertama dosisku bisa dikurangi. Tes darah HbA1C-ku 5,6 persen, jauh di bawah ketika pertama aku dapati di kisaran 13,4 persen. Angka ini sebenarnya mengkhawtirkan, karena batas maksimal yang kutahu hanya 12 persen. Pada level ini, segala penyakit mudah mampir. Kalian pasti paham, kalau diabetes adalah pintu masuk bagi penyakit berbahaya seperti kebutaan, amputasi, jantung, darah tinggi, dan sebagainya.

Aku tak ingin dikalahkan oleh penyakit. Dalam perjalan setahun ini aku berusaha keras mengurangi makanan-makanan ‘enak’. Semua ada takarannya. Nasi, ku timbang. Lauk juga kutimbang. Bahan-bahan pun aku beli selektif seperti gula, santan, gula jawa, minyak kedelai, kentang, garam, madu, selai, juga susu. Semuanya aku pilih yang khusus bagi penderita diabetes. Dan, ini yang penting : alhamdulillah, aku diberi kesehatan untuk olahraga minimal setengah jam tiap hari, atau berenang yang merupakan olahraga kesukaanku paling tidak seminggu sekali.

Alhamdulillah, gulaku bisa terkendali. Obat sudah aku tinggalkan enam bulan lalu. Terapiku,ya ,…cuma selektif makanan dan olah-raga teratur. Namun, akhir-akhir ini beratku kembali naik ke 79 kg, dari sebelumnya 74 kg, pencapaian yang cukup lumayan dibandingkan ketika sebelum sakit pada 86 kg.

Dua minggu ini, aku mulai melanggar aturanku sendiri. Aku terlena dengan kenikmatan yang cuma sepuluh senti, dari mulut hingga tenggorokan. Padahal, akibat sepuluh senti itulah awal mula penyakit ini datang.

Kalian, apakah masih menganggap kenikmatan sepuluh senti itu segalanya? Kalau masih, sayangilah kesehatan anda. Mulailah berfikir ulang. Kenikmatan makanan mungkin bukan cuma di lidah hingga tenggorokan, tapi di otak. Ciptakanlah sensasi makanan enak bukan hanya dari rongga sepuluh senti tapi dari khayalan dan fikiran. Bisa? []

Gelora: 07:04:2010

nggak lupa

bagaimanapun masa lalu adalah kenyataan
kenyataan yang mustahil berlalu
berlalu tanpa sebab yang jelas
jelas suatu ketidakmungkinan

tapi apakah akan terus begitu
terus dihantui perasaan khawatir
perasaan takut dicintai
takut dikhianati lagi

namun semua adalah kewajaran
semua adalah romantika hidup
adalah mungkin baginya untuk tertutup
mungkin sesaat atau tak tahu entah kapan

akankah ku sanggup menghapus kenggaklupaan masa lalunya
akankah ku mampu menyakinkannya bahwa aku bukanlah masa lalu dari kenggaklupaannya
tapi yang jelas aku nggak lupa sama seseorang yang ku inginkan

[suatu ketika usai aku meyakinkannya di tahun 1997]

aah..

waktu aku bilang kamu cantik
kamu bilang ah, becanda
waktu aku bilang kamu manis
kamu bilang ah, bisa aja
waktu aku bilang kamu baik
kamu bilang ah, ‘be’ aja dong
tapi, waktu kamu tahu aku sayang kamu
kamu nggak bilang apa-apa

mungkin saat itu aku beropini
ah, barangkali ia masih bingung
mungkin saat itu aku berkhayal
ah, seandainya ia suka aku
mungkin saat itu aku mikir
ah, nggak bakalan ia suka aku
atau mungkin saat itu aku bilang
aduuh, bingung sekaleeee…

suatu hari dan bulan di tahun 1993
kupersembahkan pada pacarku di 1997-an

Minggu, 04 April 2010

Senin yang Tak Terulang

Senin ini, mestinya jadwal Vito les piano Yamaha. Nyaris sembilan bulan anakku itu mengikuti kursus pioano di CitraGrand Cibubur. Pertama kali kami memasukkannya ke sana, bertumpuk harapan  muncul deras di kepala.  Kami ingin Vito kelak  bisa seperti para komposer muda yang sudah piawai mengaransemen lagu. Kalau tidak bisa juga tak apa-apa. Tapi mudah-mudahan bisa menyeimbangkan jiwa : antara pelajaran akademik yang membebani, juga musik.

Kami selalu membayangkan ia anak yang tidak saja pandai, taat beragama, namun piawai pula bermain musik. Kami, ingin sekali dimainkan musik, di saat kami letih seharian bekerja. Ingin sekali ia mengiringi kami bernyanyi meski suara ini pas-pas-an.

Namun, impian itu sementara kami tunda. Vito dengan segala keyakinannya minta berhenti kursus. Aku menduga  ia trauma karena dua kali kursus aku antar dengan motor. Dalam dua kali perjalanan pertamanya itu, kami diguyur hujan deras. Terakhir, bahkan sampai motor kami mogok persis di tengah genangan, yang merendam separuh motor thunder silver kami.

Kami coba konsultasi ke kakak gurunya. Ia dibujuk untuk tetap kursus. Berhasil. Tapi, cuma berjalan satu pertemuan. Selanjutnya ia enggan berangkat. Segala upaya kami kerahkan. Mulai dijanjikan untuk tidak lagi naik motor, ia tetap menolak. Kami juga pernah membelikan, juga menjanjikan untuk jajan makanan kesukaannya asal tetap kurus. Sukses sekali, berikutnya upaya ini tak lagi berhasil.

Kami tanya sungguh-sungguh. Kami juga terus terang kalau berharap ia bisa handal di depan piano. Ia hanya berujar, “Aku sih, sebenarnya nggak mau, tapi kalau bunda-ayah maksa gimana lagi.”
Ia menganggap, bujuk rayu kami berikut trik di dalamnya  sebagai ‘paksaan’.

“Lho, ayah sama bunda gak maksa kok,” aku menegaskan.
“Kalu kamu gak mau lagi juga gak papa. Cuma kan sayang udah bayar mahal-mahal,” istriku menimpali.
“Aku bosen, ah. Gak mau lagi,”

Ya sudah. Karena ia secara eksplisit mengatakan itu, kami tidak bisa memaksa. Kami sepakat untuk tidak sekehendak  terhadap sesatu yang tidak diinginkannya. Kami sadar hal itu pasti tidak mengenakkan, meski sungguh nilainya nyaris sempurnya untuk ujian terakhirnya pada Desember 2009 lalu.

Dulu, waktu kursus Kumon juga begitu. Berjalan tiga bulan, ia minta berhenti. Kami juga tidak memaksa. Sekali lagi kami akui sedih karena keputusannya itu. Mengapa harus berhenti di saat nilai-nilai yang dicapainya begitu memuaskan? memaksanya apakah langkah tepat? untuk saat ini kami anggap itu bukan hal penting, jadi tidak perlu dipaksa-paksa.

Tapi, jujur aku begitu sedih saat memutuskan Vito untuk berhenti kursus piano. Aku tahu betul perkembangannya mengikuti setiap pelajaran dari kakak gurunya. Aku, meski satu-satunya ayah di ruangan itu, coba bertebal muka di antara orang-tua teman-teman Vito yang semuanya ibu-ibu.

Aku, berusaha keras  menepiskan rasa malu saat awal-awal menemaninya satu jam di dalam kelas. Jujur bukan perkara mudah. Tapi, aku bangga bisa menemaninya. Ia begitu lincah, komunikatif, juga cepat menyerap pelajaran. Dan ini yang selalu aku suka : tak pernah malu-malu untuk berpendapat atau bertanya. Celotehnya membuat suasana kelas begitu meriah. Teman-temannya selalu menghampiri meja kami, mencuri-curi waktu di tengah pelajaran.

Kakak gurunya sungguh menyayangkan keputusan kami. Ia mengakui, Vito anak yang cerdas. Bukan, aku bukan sedang narsis karena ia anakku. Pada pertemuan Senin, dua minggu lalu, aku masih melihat ia ceria. Sayangnya, di ujung pertemuan mendadak hilang semangat. Ia diminta memainkan satu lagu dengan dua tangan Ia terlihat salah-salah. Malas menekan tuts. Tentu saja aku marah. Ia tetap saja tak bergemik. Wajahnya kuyu, barangkali ngantuk.Mungkin karena dicecar dengan ocehanku. Ia membalas,” Yah, aku tuh bisa. Tapi aku bener-bener bosen tauk.”

“Kalau kamu bisa buktiin, donk,” cegatku.

Ia ternyata terpancing tantanganku. Badanya ditegapkan. Kepala naik-turun memadankan tangan dan not-not yang terpampang di depan. Kakinya yang semula berpangku, diturunkan menjuntai ke bawah kursi. Aku cermati anakku ini.

Sungguh, ia bisa memainkan lagu itu. Aku tak bohong.

“Hebat!!! kamu bisa. Tapi di depan Kak Rieke kok gak bisa,”
“Aku kan udah bilang….aku males…bosen!”

Satu lagi kejutan yang dipertontonkan padaku. Aku akhinya memang dihadapkan satu kenyataan bahwa anakku itu memang sedang jenuh dan sering jenuh terhadap sesuatu. Kecerdasannya dikalahkan oleh rasa bosannya yang memang sulit dilawan. Kami masih berharap ia bisa meneruskan keinginannya, entah apa. Kami belum tahu…[]

Gelora: 04:04:2010

Rabu, 17 Maret 2010

Jangan Jadi 'Bolot'

Gejala penurunan pendengaran merupakan proses alamiah yang terjadi seiring dengan pertambahan usia. Namun sesungguhnya proses itu dapat diperlambat asalkan kita mampu melindungi telinga kita sejak dini. Berikut beberapa tips untuk memperlambat gejala penurunan pendengaran :

Kurangi volume perangkat audio
Jangan biasakan menyetel perangkat audio anda dengan volume terlalu besar. Siapkan penyumbat telinga untuk mengantisipasi adanya suara audio yang terlalu keras, yang tak mungkin anda kurangi volumenya.

Berhenti Merokok
Merokok menyebabkan berkurangnya aliran darah ke telinga dan pada akhirnya akan mengganggu proses penyembuhan alami pada pembuluh-pembuluh darah lembut yang terjadi setelah anda mendengar suara terlalu keras.

Bersihkan telinga secara rutin
Bersihkan telinga anda secara rutin. Gunakan kapas/cotton bud dengan penuh kehati-hatian.

Kurangi asupan kafein
Seperti Halnya nikotin, kafein juga dapat menghambat aliran darah ke telinga. Minumlah kopi atau teh maksimal 240 cc sehari.

Olahraga
Olahraga apapun dapat merangsang peredaran darah, menurunkan tekanan darah dan membantu telinga anda tetap dalam kondisi fit.

[sumber: harian bisnis jakarta]   

Selasa, 16 Maret 2010

Melepas Gurita Rokok


Ada enam bocah bercelana seragam pendek biru bergerombol di sudut anak tangga, lantai enam mal Pondok Gede. Sebulan lalu, secara kebetulan saya menjumpainya. Di antaranya terselip satu bocah perempuan, berambut pirang. Entahlah itu karena cat rambut, tapi saya melihatnya lebih karena pengaruh cahaya matahari.
Di tangan mereka terselip batang putih yang tersulut di ujungnya. Mereka terkekeh-kekeh, berguyon yang mungkin hanya mereka sendiri yang mengerti. Dari mulutnya serempak, kadang bergantian mengepulkan asap putih ke tangah arena yang melingkar. Nikotin berbahaya itu terpusat dan siap dihirup lagi oleh mereka sendiri, setelah sebelumnya, nikotin itu menerabas masuk ke paru-paru mereka.

Saya bersama istri sempat bergeleng-geleng mencermati apa yang terjadi. Bagaimana bisa, mereka begitu leluasa menikmati racun dengan santainya. Apalagi tempat kumpul mereka itu berada di lahan parkir tertutup yang pengap oleh kepul asap kendaraan. Tubuh mereka secara tanpa disadari mengundang maut, meski secara perlahan.

Ini bukan kali pertama saya menemukan hal-hal menakutkan seperti itu. Di pinggir jalan, jembatan-jembatan juga perempatan saya kerap melihat bocah-bocah jalanan begitu antusias menghirup dalam-dalam tembakau berbalut kertas putih itu. Mereka bebas bergerak menikmati hangatnya rokok bersama sekawanan yang lainnya. Tak ada larangan, regulasi atau apapun yang memebatasi bocah-bocah itu menyentuh berulang-ulang racun yang sungguh menakutkan.

Tak salah kalau ada yang menyebut penikmat rokok di kalangan anak-anak terus meningkat, bahkan mencapai angka 400 persen. Sebuah angka yang fantastis bukan. Dan rasanya jika diakitkan dengan pengalaman saya dilapangan, prediksi itu bukan isapan jempol. Yang serius harus diperhatikan sebenarnya, bagaimana mengatasi kecanduan rokok di kalangan anak-anak?

Fatwa haram rokok menjadi polemik. Ada yang kontra dan juga pro. Tapi selalu berhenti sampai di situ. Industri rokok terus saja digenjot. Regulasi untuk melindungi kesehatan masyarakat terlihat sangat minim. Alih-alih ingin menyehatkan rakyat Indonesia, kita sendiri saja sudah tersandera oleh raksasa-raksasa perusahaan rokok lewat setoran cukainya yang bisa mencapai Rp  42 trilyun. Belum lagi berbagai dukungan dana lewat event olah-raga, yang sangat membutuhkan dana besar di tengah keterbatasan kocek pemerintah.

Coba simak data ini. Bagaimana kita bisa melawan industri rokok kalau kapitalisasinya saja begitu besar. Kita jelas telah tersandera oleh gurita bisnis rokok yang telah menerobos begitu jauh dalam perekonomian Indonesia. PT HM Sampoerna yang merajai pangsa pasar per 17 maret ini sudah mengkapitalisasi hingga Rp Rp 59,17 triliun.

Sedangkan Gudang Garam yang berada di bawahnya, seperti dinyatakan oleh Bursa Efek Indonesia telah mencapai Rp 52,14 triliun. Meski begitu perusahaan ini masih cukup mendominasi pasar dalam negeri. Bagaimana dengan  PT Bentoel Internasional Investama? Nilai kapitalisasinya juga cukup moncer di angka  Rp 2,89 triliun.

Nilai itu tentu saja berkaitan erat dengan produksi rokok yang menjadi produk inti. Satu perusahaan rokok, sebut saja Gudang Garam bisa lho memproduksi hingga 70 miliar batang. Bagaimana dengan perusahaan lainnya? silahkan saja hitung sendiri. Yang saya fikirkan berapa trilun batang rokok saja yang sudah di jejali ke mulut-mulut rakyat Indonesia, dan berapa ratus juta orang diantaranya harus dipaksa menghirup racun yang tidak di hisap.

Pemerintah memang mustahil untuk memangkas produksi rokok secara mendadak karena itu pasti akan mengguncangkan perekonomian. Paling-paling yang dilakukan hanya menaikkan cukai rokok yang mulai april 2010 ini dinaikkan lagi. Sehingga target setoran cukai yang telah dinaikkan dari Rp 54 triliun menjadi Rp 57 triliun bisa tercapai. Pemerintah juga kelihatannya tenang-tenang saja soal fatwa haram rokok dan tetap optimis target cukai tercapai.

Banyak yang menilai cukai dari rokok di Indonesia termasuk yang terendah di dunia, yakni 37 persen. Padahal, mestinya bisa ditingkatkan terus paling tidak ke titik 57 persen. Barangkali harapannya kas negara menggelembung, sekaligus konsumsi rokok menurun karena harganya yang melonjak.

Pertanyaannya, apakah efektif unotuk mengekang konsumsi rokok yang setahunnya bisa mencapai Rp 100 triyun itu. Lebih menyedihkan lagi, masyarakat kita lebih gemar membelanjakan uang untuk rokok ketimbang untuk berobat. Maka, saya setuju jika Jamkesmas tidak berlaku bagi masyarakat kurang mampu yang  perokok . Kebijakan ini mungkin terlihat kejam, tetapi akan efektif memberikan pelajaran buat mereka, betapa kesehatan itu mahal.

Kalau saya sih, alhamdulillah bukan perokok. Tapi lingkungan saya, teman saya kebanyakan perokok. Bagaimana donk?!! []

Bojong Kulur: 17:03:2010

Supaya Sofa Enak Diduduki

Saat ini, sofa merupakan salah satu alat kelengkapan dalam interior rumah. Memiliki sofa bahkan serng dianggap bagian dari gaya hidup keluarga moderen. Keberadaan sofa diyakini mampu meningkatkan keindahan ruang tempat sofa. Berikut beberapa tips yang dapat anda gunakan sebelum membeli dan merawat sofa :



Model

Pastikan sofa yang anda beli modelnya tidak ketinggalan jaman dan sesuai dengan arsitektur rumah anda. Jika rumah anda berarsitektur tropis jangan memilih sofa yang modelnya minimalis. Sesuaikan pula ukuran sofa dengan luas ruangan tempat sofa itu akan diletakkan.

Kualitas

Pilihlah sofa berkualitas baik, namun dengan harga yang terjangkau. Jika memungkinkan pilihlah sofa yang dibuat dengan bahan kulit asli. Perhatikan pula kualitas karet pegas dan busanya.

Warna

Pemilihan warna sangat bergantung pada selera. Jika anda menyukai kesan bersih, pilihlah warna terang dengan risiko sofa mudah terlihat kotor. Sebaliknya, jika anda memilih warna gelap, sofa anda takkan terlihat eye-catching. Jalan tengahnya, pilihlah warna netra seperti coklat atau gading.

Penempatan

Jangan letakkan sofa di bawah sumber cahaya langsung karena akan membuat warnanya cepat kusam dan kulit pelapisnya cepat retak.

Perawatan

Jika sofa terbuat dari kulit, oleskan pelembab kulit setidaknya tiga bulan sekali. Bila sofa kulit terkena noda, segera bersihkan dengan menggunakan spons yang lembut yang telah dibasahi dengan sedikit air.

[sumber: harian bisnis jakarta]

Ada Apa dengan Fatwa

Tiap kali fatwa keluar, selalu saja menimbulkan pro-kontra. Mestinya kan tidak begitu. Herannya, mengapa tiap ada fatwa kita dibuat sibuk. Fatwa jelas tidak mengikat bagi semua orang. Jangankan dengan yang non-muslim, bagi yang muslim saja juga tidak kok. Fatwa hanyalah pendapat sebagian ulama, yang tentu saja akan berbeda dengan ulama lainnya.

Jadi, kalau ada fatwa haram atau apapun itu, hukum akan mengikat bagi yang menyakininya saja. Fatwa juga bukan sesuatu yang bisa dipaksa-paksakan pada seluruh kaum, termasuk bagi umat muslim secara keseluruhan.Namanya juga pendapat.

Sebut saja fatwa haram merokok yang diwacanakan Muhamadiyah. Bagi orang-orang Muhamadiyah tentu saja haram jika nekat merokok, jika kelak fatwa haram itu dikeluarkan.

So, bagi yang tidak meyakini fatwa itu apakah lantas pantas kita hakimi berdosa? Kalu iya, hebat betul kita. Hak membebani dosa atau menganjar pahala itu mutlak milik Allah SWT. Apa pantas manusia mengambil alih hak Allah?

Jadi, sebaiknya kita tidak usah selalu ribut jika sebuah fatwa keluar. Kita sambut saja sebagai perbedaan. Toh, fatwa yang sering dikeluarkan itu juga baik-baik saja. Walaupun kita akui sebuah fatwa juga bisa menimbulkan dampak bagi sebagian yang lainnya.

Soal larangan merokok? Memang diakui akan menggerus penerimaan cukai negara yang tahun ini dipatok Rp 57,29 triliun. Meski hingga 10 Maret 2010 cukai yang sudah dikumpulkan mencapai Rp 12,75 triliun atau 22,26 persen, kalau fatwa ini bergulir, memang bisa-bisa mengancam penerimaan negara.

Tapi apakah kita harus panik? rasanya tidak perlu. Toh, fatwa itu tidak mengikat bagi banyak orang. Masih ada penikmat rokok lainnya yang bisa menghidupi pabrik-pabrik rokok itu. Begini, kalau memang ingin menyehatkan rakyat Indonesia, sekalian saja buat aturan yang ketat.

Regulasi harus dibuat pemerintah, karena hanya lewat cara itu peredaran rokok bisa dibatasi. Saya sama sekali bukan orang yang anti-fatwa. Sebagai orang yang anti-rokok saya menyambut baik pengharaman rokok itu, tetapi tidak lantas membabi-buta.

Perlu ada solusi tepat mengatasinya. Bukan cuma pemerintah saja yang ketetaran. Para penggiat olah-raga juga teriak. Selama ini berbagai kegiatan nyaris 100 persen biayai industri rokok. Industri lainnya, masih mikir-mikir. Lantas petani tembakau, kemana mereka harus menyalurkan hasil panennya? Para pekerja di industri rokok, apakah ada yang sudah siap menampung?

Menurut saya, antara fatwa dan industri rokok berikut yang menyertainya tidak perlu dipertentangkan. Biarkan saja fatwa keluar dan diikuti oleh umat yang meyakini. Justru kuncinya ada di pemerntintah, seriuskah ingin mengikis produksi-produksi rokok itu?

Satu lagi, kabar yang menyebutkan bahwa fatwa yang dikeluarkan itu beraroma fulus memang patut pula sayangkan. Jika benar, sungguh dzolim kita. Mempermainkan umat lewat kekuasaan agama : ulama. Namun, bagi saya selama fatwa itu membawa kebaikan sah-sah saja. Kecuali kalau sebaliknya. Kita pantas untuk mengutuk, rasanya.

Yang justru menyedihkan, pemerintah justru menghapuskan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk minuman beralkohol mulai 1 April ini.

Dengan pajak saja sudah marak, apalagi jika minuman memabukkan ini dibebaskan dari biaya. Sulit membayangkan bagaimana minuman-minuman itu nantinya bergerilya dengan liar di cafe-cafe, bar, diskotik, warung remang-remang dan lapak-lapak.

Bukan tidak mungkin pula cairan haram-jadah tersebut mampir secara sembunyi-sembunyi di balik tembok pagar sekolah. Ini mestinya yang harus menjadi keprihatinan kita. Meski pemeritah berdalih kebijakan itu untuk membabat penyelundupan, yang kian nekat saja.

Kalau yang ini tidak membutuhkan fatwa, toh!! []

Gelora: 16:03:2010

Senin, 15 Maret 2010

Pendekar Gadungan

Nafasku tiba-tiba sesak. Mataku terbelalak mengumpulkan kekuatan menghalau serangan yang secara mendadak menyerbu dari segala penjuru : belakang, depan, dan dua sisi samping. Lima pemuda tanggung ini seperti hilang akal. Dengan dengus menderus, mereka tanpa ampun bernafsu ingin menerkamku. Tangannya dimaju-mundurkan. Telapaknya tegak lurus diarahkan tepat ke dadaku. Kakinya serempak maju selangkah-selangkah. Mata tajam itu menghunus tepat ke mukaku.

Aku waspada dengan segala kemungkinan. Ekor mataku bergerak cepat ke kiri-ke kanan, agar tak kecolongan. Sesekali aku geser kuda-kuda ke samping. Dari belakang, bisa saja musuhku itu memberikan hajaran mendadak. Waktuku makin sempit. Tidak banyak lagi kesempatan untuk mempertahankan diri. Lengah sedikit, tubuhku bisa-bisa remuk dihajar pemuda tanggung itu.

Aku memejam. Tenaga, ku kumpulkan sebisa-bisanya. Kakiku membentuk kuda-kuda kokoh. Nafas, aku tarik dalam-dalam hingga terpusat di dada. Dua tanganku membentang, kemudian ditelungkupkan di atas kepala, sebelum kemudian kutarik sejajar puting susuku. Huaaaaaaah.........!!! Suaraku menggelegar bersamaan dengan hentakan kaki kiriku dan dorongan dua telapak ke arah depan, juga samping. Aku juga memutar ke arah belakang.

Gubraggggggk....Bragggg!!! satu-satu musuhku lantak ke bumi. Ada satu-dua yang mencoba bangkit. Ku hentak lagi. Ia terhuyung-huyung, sebelum akhirnya tergeletak. Mereka kehabisan nafas.....

***

Aku mendapatkan ilmu itu secara tidak sengaja. Karena kebetulan saja aku dan lima kawan IntanSatuku dulu aktif di mesjid. Adalah pembina remaja mesjid yang mengajak kami menuntut ilmu bela diri bergaya gaib seperti itu. Dulu, ketika kami masih anak-anak dan bersekolah SD, kami pernah juga belajar bela diri Tapak Suci, tapi tidak pernah tuh diajari seperti itu. Aneh, sekaligus menantang. Tawaran untuk bergabung pun kami amini.

Keanehan perguruan silat ini sebenarnya sudah muncul sejak awal. Ketika kami dibaiat, sang Guru mengisi ilmu ke dalam tubuh kami. Tubuhku ketika itu bergeletar hebat. Tanganku seperti kesetrum. Yang menakjubkan, tanganku bisa bergerak-gerak sendiri. Batang leherku seumpama mainan Yogya, bergodek-godek sulit dihentikan.

Itu belum seberapa, beberapa kawanku yang mendapatkan giliran sebelumnya bahkan bertingkah seperti maung. Mengaum, berguling, mirip betul macan yang sedang birahi. Kami terkekeh mencermati kelakuannya.

Nah, ini yang membuat kami rada ragu. Di tiap-tiap akhir baiat, kami diminta untuk menyetorkan sejumlah uang. Masing-masing orang berbeda rupiah.

Aku ketika itu dikenakan Rp 150-ribuan. Gilaaaa!!! uang sebanyak itu dari mana. Untuk bayar uang semesteran saja sudah empot-empotan. Kawanku yang lainnya juga mengeluhkan hal yang sama. Yang membuatku geli, darimana sang Guru mendapatkan jumlah itu. Katanya,ia mendapatkan telepati dari 'atasannya'. Hmmm,....aku masih sulit menerima. Baik secara definitif maupun kuantitatif.

Kami juga diberikan keringanan. Uang baiat bisa dicicil. Hahhh?? seperti bayar kredit panci keliling aja, ya. Bedanya, ini bisa dibayar kapan saja. Tetap saja aku sulit menyanggupi. Tapi kami tak terlalu serius menanggapinya. Latihan sih jalan terus. Dan, syukurnya, karena sering aktif di mesjid, lantai dua yang sering kosong, bisa dijadikan arena pertempuran. Hanya sekali-dua kalau tak salah kami mengikuti pertemuan masal sesama saudara seperguruan. Itupun tak sampai berjumpa dengan sang Guru Besar.

Hingga kami hengkang, rasanya tak satupun dari kami yang memenuhi janji untuk membayar uang muka itu. Itu barangkali yang membuat ilmu ini tersendat ditransfer meski sering dilatih. Tapi aku heran meski tubuhku seperti tidak ada kesaktian mengapa kawan-kawanku terpelanting sampai beruling-guling kalau aku hentaak???

Baik, aku akui saja di sini. Ketika posisiku sebagai penyerang, sejatinya aku tak merasa ada penghalang, tepat ketika kawanku sebagai objek menghentak-hentakan kaki atau teriak-teriak. Kalau mau, aku bisa saja terus maju dan memukul kawanku yang sedang kesumat dengan mudah. Tapi tindakan ini tentu tidak etis toh??

Tapi demi solidaritas, aku ikut berguling-guling. Dan, akting itu aku lakoni selama kami latihan. Ada dua alasan. Aku berupaya empati terhadap kawanku yang tentu ingin sekali terlihat sakti. Kedua, aku juga ingin dong dianggap sakti. Kalau aku tidak berguling-guling, jangan-jangan mereka juga enggan pula berguling-guling kalau aku serang.

Aku tak ingat, mengapa kami akhirnya benar-benar berhenti dari perguruan itu. Bosan bersandiwarakah? atau memang instink kami saja yang tak bisa menerima hal-hal tak masuk diakal seperti itu. Apa mereka punya alasan lain? tanya saja langsung...

Bojong Kulur: 15:03:2010