Selasa, 16 Maret 2010

Ada Apa dengan Fatwa

Tiap kali fatwa keluar, selalu saja menimbulkan pro-kontra. Mestinya kan tidak begitu. Herannya, mengapa tiap ada fatwa kita dibuat sibuk. Fatwa jelas tidak mengikat bagi semua orang. Jangankan dengan yang non-muslim, bagi yang muslim saja juga tidak kok. Fatwa hanyalah pendapat sebagian ulama, yang tentu saja akan berbeda dengan ulama lainnya.

Jadi, kalau ada fatwa haram atau apapun itu, hukum akan mengikat bagi yang menyakininya saja. Fatwa juga bukan sesuatu yang bisa dipaksa-paksakan pada seluruh kaum, termasuk bagi umat muslim secara keseluruhan.Namanya juga pendapat.

Sebut saja fatwa haram merokok yang diwacanakan Muhamadiyah. Bagi orang-orang Muhamadiyah tentu saja haram jika nekat merokok, jika kelak fatwa haram itu dikeluarkan.

So, bagi yang tidak meyakini fatwa itu apakah lantas pantas kita hakimi berdosa? Kalu iya, hebat betul kita. Hak membebani dosa atau menganjar pahala itu mutlak milik Allah SWT. Apa pantas manusia mengambil alih hak Allah?

Jadi, sebaiknya kita tidak usah selalu ribut jika sebuah fatwa keluar. Kita sambut saja sebagai perbedaan. Toh, fatwa yang sering dikeluarkan itu juga baik-baik saja. Walaupun kita akui sebuah fatwa juga bisa menimbulkan dampak bagi sebagian yang lainnya.

Soal larangan merokok? Memang diakui akan menggerus penerimaan cukai negara yang tahun ini dipatok Rp 57,29 triliun. Meski hingga 10 Maret 2010 cukai yang sudah dikumpulkan mencapai Rp 12,75 triliun atau 22,26 persen, kalau fatwa ini bergulir, memang bisa-bisa mengancam penerimaan negara.

Tapi apakah kita harus panik? rasanya tidak perlu. Toh, fatwa itu tidak mengikat bagi banyak orang. Masih ada penikmat rokok lainnya yang bisa menghidupi pabrik-pabrik rokok itu. Begini, kalau memang ingin menyehatkan rakyat Indonesia, sekalian saja buat aturan yang ketat.

Regulasi harus dibuat pemerintah, karena hanya lewat cara itu peredaran rokok bisa dibatasi. Saya sama sekali bukan orang yang anti-fatwa. Sebagai orang yang anti-rokok saya menyambut baik pengharaman rokok itu, tetapi tidak lantas membabi-buta.

Perlu ada solusi tepat mengatasinya. Bukan cuma pemerintah saja yang ketetaran. Para penggiat olah-raga juga teriak. Selama ini berbagai kegiatan nyaris 100 persen biayai industri rokok. Industri lainnya, masih mikir-mikir. Lantas petani tembakau, kemana mereka harus menyalurkan hasil panennya? Para pekerja di industri rokok, apakah ada yang sudah siap menampung?

Menurut saya, antara fatwa dan industri rokok berikut yang menyertainya tidak perlu dipertentangkan. Biarkan saja fatwa keluar dan diikuti oleh umat yang meyakini. Justru kuncinya ada di pemerntintah, seriuskah ingin mengikis produksi-produksi rokok itu?

Satu lagi, kabar yang menyebutkan bahwa fatwa yang dikeluarkan itu beraroma fulus memang patut pula sayangkan. Jika benar, sungguh dzolim kita. Mempermainkan umat lewat kekuasaan agama : ulama. Namun, bagi saya selama fatwa itu membawa kebaikan sah-sah saja. Kecuali kalau sebaliknya. Kita pantas untuk mengutuk, rasanya.

Yang justru menyedihkan, pemerintah justru menghapuskan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk minuman beralkohol mulai 1 April ini.

Dengan pajak saja sudah marak, apalagi jika minuman memabukkan ini dibebaskan dari biaya. Sulit membayangkan bagaimana minuman-minuman itu nantinya bergerilya dengan liar di cafe-cafe, bar, diskotik, warung remang-remang dan lapak-lapak.

Bukan tidak mungkin pula cairan haram-jadah tersebut mampir secara sembunyi-sembunyi di balik tembok pagar sekolah. Ini mestinya yang harus menjadi keprihatinan kita. Meski pemeritah berdalih kebijakan itu untuk membabat penyelundupan, yang kian nekat saja.

Kalau yang ini tidak membutuhkan fatwa, toh!! []

Gelora: 16:03:2010

Tidak ada komentar: