Selasa, 09 Maret 2010

Java Jazz Kampungan!!!

Perhelatan besar tak selamanya menyajikan kepuasan. Sebut saja acara tahunan Java Jazz Festival Internasional yang digelar 5,6,7 Maret lalu. Memang, panitia berhasil mendatangkan super artis dari dalam dan luar negeri. Jagad kemayoran dibuat goyang oleh gemerlap dan degupan musik jazz dari balik-balik panggung.

Para pengunjung dipaksa untuk mengikuti selera musik jazz atau yang dijazz-jazz-kan. Entah apakah ribuan penonton yang memadati Kemayoran Ekspo itu mengerti apa yang akan mereka tonton. Saya curiga mereka hanya terbawa arus, atau ikut-ikutan agar bisa dibilang berkelas. Maka, harga Rp 240 ribu terasa ringan. Saya juga tidak habis mengerti dari mana para ABG yang ikut meramaikan pentas akbar jazz itu mendapatkan uang. Barangkali bagi sebagian orang uang ratusan ribu sangatlah berarti, mungkin tidak bagi mereka yang doyan keramaian. Bahkan, bisa jadi harga itu terlalu ringan!

Pantia memang pintar menjaring penonton. Dipasanglah artis pop, macam Glen Fredly juga Andre Hehanusa. Dari luar negeri ada Baby Face. Orang dibuat histeria untuk sesuatu yang, barangkali setahun sekali didapati. Saya coba memasuki histeria itu, tetapi gagal, dan justru kecewa berat.

Panitia sama sekali tidak profesional, kampungan dan sangat-sangat menyebalkan. Saya coba antri untuk masuk ke hall A2 dimana Glen akan pentas. Sejak jam 21.30 saya sudah berjejal di muka pintu, yang sebenarnya masih cukup jauh. Ratusan orang sudah mengular di belakang. Tetapi hingga pukul 22.00, Sabtu malam itu, tepat dimana Glen akan menyanyi pintu tidak juga dibuka. Saya paham, orang-orang ini kesal, tetapi mungkin jaga gengsi. Mereka semua bungkam. Seperti terhiponitis orang-orang ini. Sampai 35 menit mengantri tidak ada kejelasan, kok, masih saja diam.

Saya yang berada jauh dibelakang dari penjaga pintu terpaksa teriak, minta informasi. Hanya informasi, bukan memaksa, meski sebenarnya pantas juga kalau saya menuntut itu. Sekali lagi, saya tidak menuntut untuk masuk, saya hanya butuh kejelasan. Titik.

Kalau memang di dalam sudah sesak, saya akan memilih pertunjukan lain. Saya ini bukan penggila Glen. Saya hanya ingin saja menonton artis hitam itu menyanyi. Bodohnya, ratusan orang yang mengantri diam saja. Ketika saya teriak dengan lantang, beberapa orang coba mengikuti. Tapi hanya sebentar. Protes mereka berbeda : mereka menginginkan masuk karena sudah banyar cukup mahal. Tapi saya tidak, saya hanya menuntut kejelasan. Itu saja!

Tapi panitia Java Jazz yang ada di depan pintu itu seperti orang tolol dan dungu. Ia hanya memberi isyarat dengan tangan disilang-silang. Mungkin maksudnya penonton tidak dapat masuk lagi. Tapi, mestinya ada penjelasan mengapa mereka tidak bisa masuk. Benar-benar panitia dungu…

Saya akhirnya memutuskan tidak jadi nonton Glen. Saya sungguh tidak menyesali keputusan itu, karena setengah jam kemudian, saat akan pulang saya masih melihat antrian setia mengular. Saya hanya mengira-ira, pantia-panitia dungu itu masih saja tidak memberikan informasi jelas. Kalau sudah tentu mereka sudah bubar, atau kalau dibuka lagi mestinya antrian bergerak.

Penonton tidak mendapatkan hak semestinya. Informasi jadwal saja harus dibeli sepaket dengan sebuah majalah musik seharga Rp 20 ribu. Konyol betul. Pengunjung hanya membutuhkan jadwal, tidak majalahnya. Tapi mereka dipaksa dengan kondisi. Beberapa orang terpaksa membeli dan sebagian lagi memfotonya di dinding-dingin yang menempel terbatas di booth informasi. Saya kecewa berat!!! []

Gelora: 09:03:2010

Tidak ada komentar: