Selasa, 16 Maret 2010

Melepas Gurita Rokok


Ada enam bocah bercelana seragam pendek biru bergerombol di sudut anak tangga, lantai enam mal Pondok Gede. Sebulan lalu, secara kebetulan saya menjumpainya. Di antaranya terselip satu bocah perempuan, berambut pirang. Entahlah itu karena cat rambut, tapi saya melihatnya lebih karena pengaruh cahaya matahari.
Di tangan mereka terselip batang putih yang tersulut di ujungnya. Mereka terkekeh-kekeh, berguyon yang mungkin hanya mereka sendiri yang mengerti. Dari mulutnya serempak, kadang bergantian mengepulkan asap putih ke tangah arena yang melingkar. Nikotin berbahaya itu terpusat dan siap dihirup lagi oleh mereka sendiri, setelah sebelumnya, nikotin itu menerabas masuk ke paru-paru mereka.

Saya bersama istri sempat bergeleng-geleng mencermati apa yang terjadi. Bagaimana bisa, mereka begitu leluasa menikmati racun dengan santainya. Apalagi tempat kumpul mereka itu berada di lahan parkir tertutup yang pengap oleh kepul asap kendaraan. Tubuh mereka secara tanpa disadari mengundang maut, meski secara perlahan.

Ini bukan kali pertama saya menemukan hal-hal menakutkan seperti itu. Di pinggir jalan, jembatan-jembatan juga perempatan saya kerap melihat bocah-bocah jalanan begitu antusias menghirup dalam-dalam tembakau berbalut kertas putih itu. Mereka bebas bergerak menikmati hangatnya rokok bersama sekawanan yang lainnya. Tak ada larangan, regulasi atau apapun yang memebatasi bocah-bocah itu menyentuh berulang-ulang racun yang sungguh menakutkan.

Tak salah kalau ada yang menyebut penikmat rokok di kalangan anak-anak terus meningkat, bahkan mencapai angka 400 persen. Sebuah angka yang fantastis bukan. Dan rasanya jika diakitkan dengan pengalaman saya dilapangan, prediksi itu bukan isapan jempol. Yang serius harus diperhatikan sebenarnya, bagaimana mengatasi kecanduan rokok di kalangan anak-anak?

Fatwa haram rokok menjadi polemik. Ada yang kontra dan juga pro. Tapi selalu berhenti sampai di situ. Industri rokok terus saja digenjot. Regulasi untuk melindungi kesehatan masyarakat terlihat sangat minim. Alih-alih ingin menyehatkan rakyat Indonesia, kita sendiri saja sudah tersandera oleh raksasa-raksasa perusahaan rokok lewat setoran cukainya yang bisa mencapai Rp  42 trilyun. Belum lagi berbagai dukungan dana lewat event olah-raga, yang sangat membutuhkan dana besar di tengah keterbatasan kocek pemerintah.

Coba simak data ini. Bagaimana kita bisa melawan industri rokok kalau kapitalisasinya saja begitu besar. Kita jelas telah tersandera oleh gurita bisnis rokok yang telah menerobos begitu jauh dalam perekonomian Indonesia. PT HM Sampoerna yang merajai pangsa pasar per 17 maret ini sudah mengkapitalisasi hingga Rp Rp 59,17 triliun.

Sedangkan Gudang Garam yang berada di bawahnya, seperti dinyatakan oleh Bursa Efek Indonesia telah mencapai Rp 52,14 triliun. Meski begitu perusahaan ini masih cukup mendominasi pasar dalam negeri. Bagaimana dengan  PT Bentoel Internasional Investama? Nilai kapitalisasinya juga cukup moncer di angka  Rp 2,89 triliun.

Nilai itu tentu saja berkaitan erat dengan produksi rokok yang menjadi produk inti. Satu perusahaan rokok, sebut saja Gudang Garam bisa lho memproduksi hingga 70 miliar batang. Bagaimana dengan perusahaan lainnya? silahkan saja hitung sendiri. Yang saya fikirkan berapa trilun batang rokok saja yang sudah di jejali ke mulut-mulut rakyat Indonesia, dan berapa ratus juta orang diantaranya harus dipaksa menghirup racun yang tidak di hisap.

Pemerintah memang mustahil untuk memangkas produksi rokok secara mendadak karena itu pasti akan mengguncangkan perekonomian. Paling-paling yang dilakukan hanya menaikkan cukai rokok yang mulai april 2010 ini dinaikkan lagi. Sehingga target setoran cukai yang telah dinaikkan dari Rp 54 triliun menjadi Rp 57 triliun bisa tercapai. Pemerintah juga kelihatannya tenang-tenang saja soal fatwa haram rokok dan tetap optimis target cukai tercapai.

Banyak yang menilai cukai dari rokok di Indonesia termasuk yang terendah di dunia, yakni 37 persen. Padahal, mestinya bisa ditingkatkan terus paling tidak ke titik 57 persen. Barangkali harapannya kas negara menggelembung, sekaligus konsumsi rokok menurun karena harganya yang melonjak.

Pertanyaannya, apakah efektif unotuk mengekang konsumsi rokok yang setahunnya bisa mencapai Rp 100 triyun itu. Lebih menyedihkan lagi, masyarakat kita lebih gemar membelanjakan uang untuk rokok ketimbang untuk berobat. Maka, saya setuju jika Jamkesmas tidak berlaku bagi masyarakat kurang mampu yang  perokok . Kebijakan ini mungkin terlihat kejam, tetapi akan efektif memberikan pelajaran buat mereka, betapa kesehatan itu mahal.

Kalau saya sih, alhamdulillah bukan perokok. Tapi lingkungan saya, teman saya kebanyakan perokok. Bagaimana donk?!! []

Bojong Kulur: 17:03:2010

Tidak ada komentar: