Senin, 15 Maret 2010

Pendekar Gadungan

Nafasku tiba-tiba sesak. Mataku terbelalak mengumpulkan kekuatan menghalau serangan yang secara mendadak menyerbu dari segala penjuru : belakang, depan, dan dua sisi samping. Lima pemuda tanggung ini seperti hilang akal. Dengan dengus menderus, mereka tanpa ampun bernafsu ingin menerkamku. Tangannya dimaju-mundurkan. Telapaknya tegak lurus diarahkan tepat ke dadaku. Kakinya serempak maju selangkah-selangkah. Mata tajam itu menghunus tepat ke mukaku.

Aku waspada dengan segala kemungkinan. Ekor mataku bergerak cepat ke kiri-ke kanan, agar tak kecolongan. Sesekali aku geser kuda-kuda ke samping. Dari belakang, bisa saja musuhku itu memberikan hajaran mendadak. Waktuku makin sempit. Tidak banyak lagi kesempatan untuk mempertahankan diri. Lengah sedikit, tubuhku bisa-bisa remuk dihajar pemuda tanggung itu.

Aku memejam. Tenaga, ku kumpulkan sebisa-bisanya. Kakiku membentuk kuda-kuda kokoh. Nafas, aku tarik dalam-dalam hingga terpusat di dada. Dua tanganku membentang, kemudian ditelungkupkan di atas kepala, sebelum kemudian kutarik sejajar puting susuku. Huaaaaaaah.........!!! Suaraku menggelegar bersamaan dengan hentakan kaki kiriku dan dorongan dua telapak ke arah depan, juga samping. Aku juga memutar ke arah belakang.

Gubraggggggk....Bragggg!!! satu-satu musuhku lantak ke bumi. Ada satu-dua yang mencoba bangkit. Ku hentak lagi. Ia terhuyung-huyung, sebelum akhirnya tergeletak. Mereka kehabisan nafas.....

***

Aku mendapatkan ilmu itu secara tidak sengaja. Karena kebetulan saja aku dan lima kawan IntanSatuku dulu aktif di mesjid. Adalah pembina remaja mesjid yang mengajak kami menuntut ilmu bela diri bergaya gaib seperti itu. Dulu, ketika kami masih anak-anak dan bersekolah SD, kami pernah juga belajar bela diri Tapak Suci, tapi tidak pernah tuh diajari seperti itu. Aneh, sekaligus menantang. Tawaran untuk bergabung pun kami amini.

Keanehan perguruan silat ini sebenarnya sudah muncul sejak awal. Ketika kami dibaiat, sang Guru mengisi ilmu ke dalam tubuh kami. Tubuhku ketika itu bergeletar hebat. Tanganku seperti kesetrum. Yang menakjubkan, tanganku bisa bergerak-gerak sendiri. Batang leherku seumpama mainan Yogya, bergodek-godek sulit dihentikan.

Itu belum seberapa, beberapa kawanku yang mendapatkan giliran sebelumnya bahkan bertingkah seperti maung. Mengaum, berguling, mirip betul macan yang sedang birahi. Kami terkekeh mencermati kelakuannya.

Nah, ini yang membuat kami rada ragu. Di tiap-tiap akhir baiat, kami diminta untuk menyetorkan sejumlah uang. Masing-masing orang berbeda rupiah.

Aku ketika itu dikenakan Rp 150-ribuan. Gilaaaa!!! uang sebanyak itu dari mana. Untuk bayar uang semesteran saja sudah empot-empotan. Kawanku yang lainnya juga mengeluhkan hal yang sama. Yang membuatku geli, darimana sang Guru mendapatkan jumlah itu. Katanya,ia mendapatkan telepati dari 'atasannya'. Hmmm,....aku masih sulit menerima. Baik secara definitif maupun kuantitatif.

Kami juga diberikan keringanan. Uang baiat bisa dicicil. Hahhh?? seperti bayar kredit panci keliling aja, ya. Bedanya, ini bisa dibayar kapan saja. Tetap saja aku sulit menyanggupi. Tapi kami tak terlalu serius menanggapinya. Latihan sih jalan terus. Dan, syukurnya, karena sering aktif di mesjid, lantai dua yang sering kosong, bisa dijadikan arena pertempuran. Hanya sekali-dua kalau tak salah kami mengikuti pertemuan masal sesama saudara seperguruan. Itupun tak sampai berjumpa dengan sang Guru Besar.

Hingga kami hengkang, rasanya tak satupun dari kami yang memenuhi janji untuk membayar uang muka itu. Itu barangkali yang membuat ilmu ini tersendat ditransfer meski sering dilatih. Tapi aku heran meski tubuhku seperti tidak ada kesaktian mengapa kawan-kawanku terpelanting sampai beruling-guling kalau aku hentaak???

Baik, aku akui saja di sini. Ketika posisiku sebagai penyerang, sejatinya aku tak merasa ada penghalang, tepat ketika kawanku sebagai objek menghentak-hentakan kaki atau teriak-teriak. Kalau mau, aku bisa saja terus maju dan memukul kawanku yang sedang kesumat dengan mudah. Tapi tindakan ini tentu tidak etis toh??

Tapi demi solidaritas, aku ikut berguling-guling. Dan, akting itu aku lakoni selama kami latihan. Ada dua alasan. Aku berupaya empati terhadap kawanku yang tentu ingin sekali terlihat sakti. Kedua, aku juga ingin dong dianggap sakti. Kalau aku tidak berguling-guling, jangan-jangan mereka juga enggan pula berguling-guling kalau aku serang.

Aku tak ingat, mengapa kami akhirnya benar-benar berhenti dari perguruan itu. Bosan bersandiwarakah? atau memang instink kami saja yang tak bisa menerima hal-hal tak masuk diakal seperti itu. Apa mereka punya alasan lain? tanya saja langsung...

Bojong Kulur: 15:03:2010

Tidak ada komentar: