Rabu, 28 April 2010

Hal Sepele Juga Bisa Menarik

Ulasan Film " Cop Out"



Kalau anda kangen gaya kocak Bruce Willis dalam serial TV “Moonlighting” mungkin saatnya menyaksikan film terbarunya, “Cop Out”. Willis yang memerankan detektif Jimmy Monroe dipaksa melucu setelah sebelumnya dijargonkan sebagai super jagoan -setidaknya dalam “Die Hard”- beberapa tahun silam.

Dipasangkan dengan Tracy Morgan, sesungguhnya Willis nampak tenggelam. Entah, apa yang diinginkan sang sutradara, Kevin Smith, yang meminta Morgan terlihat begitu berlebihan. Willis ibarat pelakon Cahyono di Jayakarta Grup, yang hanya memberi umpan-umpan kelucuan pada mitranya di film tersebut, Paul Hodges.

Sebagai aktor serba-bisa, peran Willis memang tetap enak ditonton. Sayang, alur cerita yang disajikan duet Robb Cullen dan Mark Cullen begitu ringan, bahkan terlalu sederhana. Mungkin karena film ini memang ber-genre laga, kriminal yang setengah humor. Terlebih saat Jennifer Euston, si penentu peran, memasangkan Seann William Scott sebagai Dave, yang tampil jorok di "American Pie".

Dave inilah biang keonaran. Ketika Jimmy Monroe ingin menjual kartu baseball kesayangannya, Dave mencurinya, tepat ketika transaksi akan dilakukan di sebuah toko. Satu set kartu legendaries “Andy Pafko” itu bukan barang murah, karena nilainya saja bisa mencapai 83 ribu dolar AS. Bukan tanpa alasan Monroe menjual kartu pemberian ayahnya itu. Polisi veteran NYPD ini ingin membuktikan pada mantan istrinya, ia mampu membiayai kebutuhan pernikahan anaknya senilai 43 ribu dolar.

Perburuan Dave pun dimulai. Beberapa kejadian kocak pun dimunculkan. Hodges sering berlakon tidak pada tempatnya, sehingga film ini terasa janggal dan mengganggu. Namun, inilah hebatnya Hollywood, persoalan sepele pun bisa dibuat film asyik. Ketegangan hadir saat Dave mengaku bahwa kartu baseball itu dijual ke gembong narkoba New York, Poh Boy (Guillermo Diaz).

Persoalan makin rumit, karena adik kesayangan Poh Boy, Juan (Cory Fernandez), tewas saat kejar-kejaran dengan Monroe dan Hodges di dalam pemakaman. Beruntung film ini masih menampilkan wanita cantik Anna de la Reguera, yang memukau saat memerankan Gabriela, si pembawa flash drive yang menyimpan begitu banyak transaksi Poh Boy.

Ujung film ini tentu saja bisa anda tebak. Poh Boy tewas, dan Gabriela yang terandera bisa selamat. Serta pernihakan anak Monroe tetap bisa berlangsung.

Cuma, ini yang di luar dugaan : kartu baseball yang menjadi inti cerita justru hancur, terkena serangan mereka sendiri, saat menyarangkan peluru di dada kiri Poh Boy. Sebuah satire yang mengejutkan! []

Gelora: 27:04:2010

Rabu, 21 April 2010

Kejujuran Setengah Hati

Ulasan Film "Green Zone

Apa jadinya jika sebuah berita hanya mengandalkan pada satu sumber, tanpa cek ulang. Padahal, isu yang diangkat begitu sensitif. Lebih merepotkan lagi, laporan ini dimuat dalam satu surat kabar terkemuka : Wall Street Journal.

Irak yang berkecamuk di awal tahun 2003 begitu menyudutkan Amerika Serikat (AS). Isu Pemerintahan Saddam Hussein soal Weapons of Mass Destruction (WMD) atau senjata pemusnah massal benar-benar harus bisa dibuktikan. Hanya alasan itulah AS mampu menjustifikasi agresinya.  Film Green Zone (Universal) sungguh sebuah karya yang ingin mereposisi wajah AS secara tanggung. Ingin berusaha jujur, tapi di akhir cerita tetap dibiarkan menggantung. Atau jangan-jangan secara diam-diam memang tidak ingin disalahkan.

Untuk tugas maha berat itulah maka, AS mengirim Kepala Perwira Tinggi Roy Miller (Matt Damon) . Dalam keterbatasan waktu yang dimiliki Miller harus bekerja cepat.

Dokumen proyek WMD Saddam didapat Lawrie Dyne, sang reporter, rupanya dari sumber kedua, seorang petinggi di Washington. Sumber utamanya adalah seseorang yang disamarkan : “Magellan”. Ia seorang Irak. Berangkat dari sumber itulah, laporan itu muncul. Miller yang frustasi karena selalu gagal menemukan senjata pemusnah massal itu mulai curiga ada sesuatu yang janggal. Ia bahkan tegas mengatakan laporan inteligen tidak bisa dipercaya.

Lawrie sendiri sebenarnya sudah mencoba mencari data tambahan ke berbagai sumber, tetapi selalu dihalangi oleh pejabat di Pentagon. Jelas, tujuannya adalah untuk membuat isu itu berkembang seperti yang diyakini saat ini.

Paul Greengrass, sang sutradara, sengaja menciptakan konflik internal di dalam misi ini. Persis seperti ketika ia menggarap film “Bourne Supremacy” dan ”The Bourne Ultimatum”. Entah mengapa Matt Damon selalu ditokohkan sebagai orang yang kerap berseberangan dengan sebuah misi, dan selalu soal inteligen.

Film berdurasi 1 jam 45 menit ini memang penuh ketegangan. Layaknya film perang, banyak sekali  gambar bergoyang karena menggunakan teknik hand-held. Tentu maksudnya agar anda seolah berada dalam kancah konflik ketika menontonnya. Yang menarik, film ini juga soal perang inteligen.

Bagaimana kemudian, Miller ternyata juga didukung secara diam-diam oleh kepala CIA Bagdad Martin Brown (Brendan Gleeson). Ambisi Miller untuk mengungkap kebohongan laporan soal WMD awalnya berjalan mulus, berkat bantuan Freddy (Khalid Abdalla), seorang warga Irak.

Sayangnya, gerakan mereka terendus. Miller harus berkejaran dengan pasukan lain mengejar sumber penting laporan palsu itu : Mohammed Al Rawi. Tak jelas alasan apa yang membuat Al Rawi  harus membuat laporan bohong dan disebarkan ke inteligen AS. Mungkin lawan politik Saddam? Yang pasti ia menyesali keputusannya. Dan terang-terangan ingin memerangi pasukan AS.

Kisah ini memang lumayan menarik. Mungkin karena diinspirasi dari sebuah buku karya Rajiv Chandrasekran berjudul ‘Imperial Life in the Emerald City: Inside Iraq’s Green Zone’. Namun, akhir film yang dibuat di Maroko, Inggris dan Spanyol ini sungguh tidak enak.

Memang, Miller dengan begitu emosi bisa menyebarkan laporan inteligennya pada media, termasuk Wall Street Journal. Cuma ini yang membuat Lawrie benar-benar terpukul. Kredibilitasnya sebagai reporter dipertaruhkan. Miller  terang-terangan membantah laporan investigasi Lawrie. Tajuk laporan Miller : “Falsification of MWD Intel, The Truth About “Magellan”.

Apakah laporan Miller lantas dipercaya? Belum tentu. Sumber kunci kebohongan : Mohammed “Magellan” Al Rawi ditembak Freddy, yang kecewa negaranya “dijual”. []

Bojong Kulur: 22:04:2010

Selasa, 20 April 2010

Mencari Aku

Kami memanggilnya Ivan. Sepanjang sekolah, aku selalu menghindari anak ini. Sebenarnya ia tak pantas disebut anak. Usianya memang tidak aku tahu persis. Dari badannya yang besar, betisnya yang talas, dan telapak kakinya yang piring, aku menduga ia sepantaran anak SMP kelas 3.

Ia gila atau kami yang gila. Tiap melewatinya kami bergidik sendiri. Wajahnya besi. Minus ekspesi. Matanya tajam menyayat. Dahinya meneliti setiap yang lewat. Bukan saja kami, anjing juga dipelototinya. Ivan memang ganjil. Usai menyimak lingkungan, tiba-tiba tawanya bisa begitu meledak. Terkekeh-kekeh sendiri. Udelnya yang bodong sampai-sampai tersembul, karena tersibak kaos longgarnya.

Keganjilan Ivan sudah lama. Sebelum pindah ke tempat tinggalku sekarang, setahuku ia sudah ada. Ia orang kaya. Rumahnya gedong, bertingkat dua setengah. Bapaknya seorang pejabat di sebuah BUMN. Ibunya sekretaris di perusahaan minyak asing. Jadi jelas, bukan karena uang Ivan tidak sekolah. Ivan tidak gila. Hanya kami  saja yang dianggapnya gila.

Suatu kali, Ivan berlaku sopan. Wajah besinya tak tampak. Senyumnya mengembang. Bahkan menegur kami yang sudah ketakutan.  Kami jalan melipir hingga ke tepi kali. Ia justru makin gencar mendekat. Kami terbirit. Ia ikut lari. Ia menoleh ke belakang. Dikiranya kami dikejar orang gila. Ia ikut-ikutan lari.

“Mana orang gilanya?” ia berteriak.
“Cepetan ia ngejar terus!” aku tak kalah berteriak.

Ivan makin mempercepat ayunan kakinya.

“Mana orang gilanya?” lagi-lagi Ivan menoleh ke belakang.

Kami diselamatkan gerbang sekolah. Penjaga sekolah cepat-cepat menutup pintu pagar dan menghardik Ivan dengan keras.

“Husss, sana pergi!”
“Pak, katanya ada orang gila. Aku takut. Mo masuk..” Ivan melolong iba.
“Ya kamu orang gilanya!”

Tawa kami spontan berderai. Tapi tidak lama. Wajah besi Ivan tiba-tiba keluar. Aku tahu, ia bukan Ivan yang tadi. Kakinya seperti tertancap.  Dua tangannya kokoh mencengkram pagar besi. Dagunya sembilan puluh derajat dengan leher. Matanya seperti mau keluar.

“Sudaaaah, sana pergi..” suara Mang Doel pelan.

Ivan tak beranjak. Bahkan makin tegas. Melihat gelagat ini, Mang Doel, yang sudah lima belas tahun menjaga sekolah SD kami paham. Ia meninggalkan Ivan sendirian, karena memang kebetulan lonceng masuk sudah berdentang. Meladeninya hanya membuang energi. Ia sepanjang hari bisa berpatung seperti itu. Kalau tidak dibujuk oleh Iyam, pengasuhnya, ia tidak akan bergerak.

Kejadian ini bukan pertama. Sebelumnya juga begitu. Ia merasa waras sendiri. Dan memang, ketika kewarasannya timbul, tidak ada hal aneh yang ditunjukkan. Hanya kami saja yang gila. Ketakutan sendiri oleh kegilaannya. Meski prilakunya tidak biasa, ia tidak pernah melukai. Justru kami yang sering melukainya.

Terkadang, kami sering meledeknya. “Ivan gilaa..aa…Ivan gilaaa..aa…Ivan gilaa..aa….”
Ia tetap tenang. Ketenangannya membuat kami tidak puas. Sesekali kami lempari ia dengan kerikil. Ivan sama sekali tidak membalas. Ayam yang sedang kawin justru lebih menarik perhatiannya. Entahlah mungkin ia membayangkan si jantan adalah dirinya. Aku tidak berlebihan, sebagai anak laki-laki yang mungkin sudah balikh ia juga tertarik pada perempuan.

Ivan gemar betul mengejar-ngejar anak perempuan, dibandingkan kami yang melemparinya dengan krikil. Ia candu dengan suara-suara mereka. Ketakutan dan teriakan anak-anak perempuan itu makin membangkitkan gairahnya untuk makin gencar mengejar.

Kalian jangan salah duga, ia tidak memiliki kelainan seksual. Begitu anak-anak itu benar-benar ketakutan Ivan berhenti. Langkahnya surut kalau ia mendapati teman perempuan kami sudah meringkuk ketakutan. Cuma sampai disitu. Tidak lebih. Ivan sekedar mencari sensasi dari ketakutan.

***

Siang ini, aku pulang lebih lama. Ada beberapa les yang harus aku ikuti. Anak kelas enam SD memang begitu. Beberapa les yang kuikuti sebenarnya membosankan. Matematika yang bukan kesukaanku terpaksa harus dijejalkan-jejalkan ke dalam otak. Ini bukan wajib, tapi guru tidak bertanggung-jawab kalau nanti tidak dapat SMP negeri. Lho?!

Kebetulan tiga temanku yang biasa searah tidak dapat ikut les. Ada yang sakit. Menjemput Budenya di terminal Pulo Gadung dan satu temanku tidak jelas. Ia sih masuk, hanya saja, usai pelajaran terakhir izin ke kamar mandi, lantas menghilang.

Aku menyusuri jalan yang tidak biasa. Lebih dekat memang, hanya saja jalan ini agak sepi. Kalau dengan teman-temanku lebih memutar. Meski begitu aku lebih suka karena bisa bergurau sepanjang jalan.
Aku menyusuri jalan yang tidak biasa. Lebih dekat memang, hanya saja jalan ini agak sepi. Kalau dengan teman-temanku lebih memutar. Meski begitu aku lebih suka karena bisa bergurau  sepanjang jalan. Dengan perlahan aku melawati gili-gili jalan yang berundak, sisa penggalian yang becek.

Dari belakang, aku mendengar langkah orang. Terdengar rusuh sekali. Dari caranya berjalan, aku tahu orang ini pasti sedang tidak stabil. Seperti kekurangan waktu, ia menerabas  pundakku dengan keras, sampai-sampai aku nyaris tersungkur.

Sosok bongsor itu menoleh kebelakang. Baru beberapa langkah melewatiku ia berbalik. Ia mencermatiku dengan teliti. Wajah besinya lagi-lagi dimunculkan. Ia seperti hendak menerkamku. Aku mengigil. Lututku bergerak-gerak sendiri. Gigi-gigi atas-bawahku mengunci satu dengan lainnya.  Hanya bibirku saja yang sulit dihentikan. Bergeletar, mengeluarkan suara yang tak kupahami sendiri.

Ia menghampiriku dengan tegap. Langkahnya yakin. Dalam jarak satu langkah, ia tiba-tiba berhenti.
“Aku Ivan,” tegasnya sambil menyodorkan tangannya yang penuh kapalen.
“A-aku Ahsani,” aku menyambut tangannya yang tiba-tiba terasa dingin.

Aku sendiri sulit menebak rasa batinku saat itu. Mengapa ia bisa begitu ramah. Atau jangan-jangan ini hanya strategi agar ia bisa mendekat dan, kemudian memperdayaiku. Aku harus pergi, batinku makin kencang.

Namun, Ivan menghalangiku. Tubuhnya yang besar menutupi  jarak pandang lurusku. Aku tengok ke belakang, tak seorangpun lewat. Ivan masih tegar dihadapanku. Ia begitu menikmati ketakutanku. Tidak ada senyum. Cuma tatapan kosong merunduk ke mukaku.

Tiba-tiba ia menarik tanganku. Cekatan sekali, hingga aku sulit berkelit. Tangannya yang lebar melingkari tulang pergelangannku yang mungil. Diajaknya aku ke sebuah tanah lapang, yang ditumbuhi begitu banyak ilalang dan pohon liar. Ivan mengajakku duduk.

***

Kejadian siang itu sulit aku hapus. Besoknya aku seperti orang linglung. Aku kali ini berangkat sendiri. Lebih pagi, karena ada seseorang yang ingin kutemui. Ia sudah menunggu di tempat siang kemarin kami berbincang.

Pagi itu aku kembali diajaknya duduk-duduk. Berbincang yang tak tentu arah. Aku menikmati betul suasan seperti itu. Apalagi Ivan, ia memiliki teman sejati sekarang. Teman untuk bisa mencurahkan keluh kesahnya. Teman yang bisa diajak untuk melihat realita : bahwa dunia disekelilingnya sudah gila.

“Bukan…bukan aku yang gila…tapi mereka,” tegas Ivan berulang-ulang.

Aku mengamini saja perkataannya. Itu yang membuatnya tentram. Aku juga begitu. Aku merasa berada di dunia yang sama sekali berbeda. Kami kian akrab. Bukan cuma itu, kami makin menyatu satu dengan lainnya.

Ujian akhir tinggal dua pekan lagi. Teman-teman makin giat belajar. Tapi, aku makin tidak peduli. Aku lebih memilih bolos dan bermain dengan teman baruku. Aku juga tidak lagi peduli apa yang dinasehati guru. Orang tuaku juga menyerah. Dokterpun didatangkan  ke rumahku. Padahal, aku merasa tubuhku baik-baik saja. Aku tidak gila. Pikiranku juga sehat.

Aku lari kencang meninggalkan lantai dua, kamarku. Ibu dan ayahku ikut mengejar. Aku makin kencang. Satpam rumahku juga ikut mengejar. Tapi karena tak ingin ambil risiko yang mengancam-ancamnya, aku dibiarkan pergi. Aku terus berlari, mencari Ivan, ke lapangan tempat kami biasa berbincang.

Hingga berkeliling tiga kali, aku tidak juga menemui Ivan. Hanya Iyam saya yang tiba-tiba muncul dari semak. Melihatnya hatiku luluh. Aku tak tahu mengapa dekat dengannya begitu damai. Ibuku tak sehangat ini kalau memeluk.

“Bi,…aku ingin dekat sama bibi terus,” aku memeluk Iyam begitu erat.
“Iya..iya. Tapi kamu harus pulang. Mereka menunggu.”
“Gak mau. Aku mau ketemu Ivan dulu,” suaraku mengeras.

Bi Iyam hanya tersenyum mendengar keinginanku. Ia tak memaksa, tapi ia memberikan solusi.
“Ya sudah nanti Bibi yang cari, kamu pulang dulu ya…”

Entah mengapa aku turuti kemauannya.

Di rumah aku sudah disambut beberapa orang. Ia membujuk-bujukku. Aku tetap berkukuh ingin menemui Ivan. Cuma ia yang bisa mengerti kondisiku. Dokter itu kembali tersenyum, persis seperti senyum Bi Iyam. Hanya ayah dan ibuku saja yang masih memasang muka tegang. Khawatir sekali kelihatannya.

Aku dibaringkan di kamaku lantai dua. Badanku tiba-tiba lelah, berkunang-kunang. Aku mendengar suara Ivan, juga mereka. Aku bangkit. Samar-sama aku mendengar perkataan mereka.

“Anak Bapak memang belum stabil. Kelihatannya butuh perawatan serius. Kalau perlu dibawa ke Rumah Sakit,” terang dokter muda itu.
“Tapi ia masih bisa sekolah,” ayahku membela.
“Iya tapi tetap belum stabil. Kadang-kadang muncul. Ini berbahaya, juga,”  Dokter itu coba meyakinkan.
“Saya tidak mau, anak saya masuk SLB,” ayahku meninggi, “Aku juga tidak mau sampai ketahuan anak saya gagal mental.”
“Pak, Muhammad Ivan Ahsani itu butuh perawatan serius,” dokter itu mulai mengeras.

Kalimat terakhir ini seperti gledek siang hari yang menerabas ubun-ubun kepala. Aku, Ivan??? Bukan…bukan, mereka pasti salah. Aku Ahsani.Ivan itu sinting, gila…A-aku waras, masih bisa sekolah…mereka pasti salah.

Aku berontak. Teriak sekencang-kencangnya. Akan kubuktikan kalau Ivan itu ada. Dan, dia bukan aku. Ya, bukan aku. Ivan gila, aku waras. Aku berontak, tapi tubuh kecilku tak mampu menahan semua serbuan tangan-tangan itu. Aku menyerah.

***

Hanya Iyam yang sesekali menemuiku di sebuah kamar sempit dan bau ini. Teman-temanku yang lainnya sibuk berteriak-teriak. Menangis. Terbahak-bahak. Ayahku telah lama meninggalkanku, bersama ibuku yang sudah pergi besama laki-laki lain, begitu tahu kebohongan absolut tentang diriku. Iyam adalah ibu sejatiku. Ia yang merawatku, juga melahirkanku.

Ivan, akan tetap kucari. Hanya si sinting itu yang membuatku bisa  dibui seperti orang gila….[]

Bojong Kulur: 20:04:2010

Minggu, 18 April 2010

Kisah Robot dan Anak Miskin

Fiksimini-3:

1. Robot


Ku ajak kau mendengar, melihat, supaya kamu bisa belajar  merasa.  Tapi  tetap tak bisa. Ah, aku lupa kamu cuma robot: gerakmu pasti sesuai perintah.


2.Gerobak


Bocah  itu berkeluh, "Bu, aku tak mau ditaruh digerobak!"
"Maaf Nak, Ibu tak sanggup sewa ambulance sampai ke makammu"

3.Cahaya Iman


Lesatan itu cuma bisa ditangkap oleh mata. Ya, mata hati, bukan kasatmata. Ia sebuah keimanan.


Gelora: 18:04:2010

Rabu, 14 April 2010

Antara Cinta dan Ideologi

Sinopsis dan Tinjauan Film "Form Paris With Love"





Jika anda pemuja cinta, bersiaplah kecewa. Ternyata, cinta bukan segalanya. Tak percaya? coba saja tengok adegan di penghujung film “From Paris With Love”. Dengan bengis agen CIA James Reese (Jonathan Rhys Meyers) menembak pujaan hatinya, Caroline (Kasia Smutniak), tepat di tengah kening. Demi misi penyelamatan, ia harus melakukan itu. Lantas dimana kekuatan cinta?

Reese memang tidak ada pilihan untuk menembak mati kekasihnya, yang tak lain teroris Pakistan yang sengaja disusupkan pada sebuah acara resmi kenegaraan Africa Summit di Paris. Juga tidak ada cinta sejati, kecuali ideologi. Caroline adalah sebuah misi. Di sekujurnya dilingkari bom yang siap membinasakan para delegasi.

Teroris paham betul, kelemahan pria salah satunya ada pada kemolekan perempuan. Caroline yang sejatinya tak sungguh mencintai staf Dubes AS untuk Prancis Bannington itu, memberinya sebuah cincin tunangan, yang juga berfungsi sebagai sebuah sinyal. Kebutaan cinta membuat segala gerak Reese mudah terpantau. Sikap melankolis seperti ini memang berbahaya untuk seorang agen rahasia.

Itulah barangkali alasan CIA mengirim Charlie Wax (John Travolta). Pria gempal, berkepala plontos ini disosokkan Pierre Morel, sang sutradara, sebagai pria kejam, tegas, slengean, juga humoris. Wax, memang mirip pemoles cat kendaraan. Ia dengan gampang ‘membersihkan’ siapa saja yang membahayakan misi.

Termasuk teman wanita Caroline, Nicole, yang secara kebetulan menerima telepon nyasar. Di saat mereka berempat bersiap makan malam, dengan tanpa belas kasih Nicole ditembak di pelipis kiri oleh Wax, hanya gara-gara ia menyebut kata ‘Rose’ : sebuah kata sandi teroris yang dipahami Wax. Film ini memang jauh dari judulnya. Mungkin ingin menyamarkan kesan kejam yang sungguh diumbar dalam film berdurasi 1,5 jam itu.

Aksi yang dipertontonkan memang asyik untuk dilihat, terutama bagi penggemar film kekerasan. Juga kalau anda senang film yang memamerkan gadget, atau detektif mungkin sayang untuk melewatkan film ini. Masalah utama film ini adalah, di salah satu adegannya mengapa harus dipampang besar-besar tulisan Allah dalam aksara Arab, pada sebuah dinding markas teroris yang disambangi Wax dan Reese.

Rasanya itu tak perlu, karena seolah ingin mengidentikan aksi teror adalah sebuah perintah agama. Sungguh menyakitkan!!!

Anehnya lagi, bagaimana bisa Caroline mampu menembus barikade pengawasan super ketat, padahal ia membawa begitu banyak bom mematikan meski tubuhnya dibalut jubah kuning hingga menutup kepala. Apa karena ID yang dicurinya dari Reese.Terlalu konyol kalau begitu…

Yang pasti, produk-produk film garapan Hollywood memang sebuah propaganda. Misi dibalut sebuah cerita. Penonton dituntut kritis dalam menyaksikan sebuah film. Jangan terlena oleh kehebatan aksi dan animasinya yang jujur diakui memang enak untuk ditonton. []

Bojong Kulur: 08:04:10

Doa Dua Wanita Tentang Air

fiksimini-2 :

1.Menggugat Tuhan

“Tuhan, mana doa yang kuberikan dulu?”/”Ku-simpan dalam kotak”/”kok??”/”Ku-butuh kesungguhanmu!”

2.Dua Wanita

Gincu merah di bibirnya bersih setelah semalaman dikulum istrinya di sebuah malam yang gulita

3.Air

Tepat. Ketika setetes air itu diambil, dunia berubah menjadi kering.

Bojong Kulur: 14:04:2010

Senin, 12 April 2010

Surat Teroris untuk Petani

fiksimini-1 :

1.prangko

Maaf sayang, aku tak sempat kirimimu surat. Aku lupa, prangko terakhirku telah tertempel di pojok kanan surat istriku

2. teroris

Ketika kepalanya terpisah karena serangannya sendiri, teroris itu berucap, “wajahku akan segera terkenal.”

3. nasib petani

Dulu, sungai mengalir deras, melewati sawah dan kebun. Kini sawah dan kebun bergerak, menghampiri petani, yang bertepian di sisi sungai sambil menatap dinding-dinding beton. []

Bojong Kulur: 13:04:2010

Nikmat 10 Senti

Aku setahun ini berjuang keras mengendalikan gula darahku. Aku ingat betul, sepulangku dari tugas liputan ke Filipina dan Vietnam, kepalaku seperti mau pecah. Biasanya, hanya dengan diistirahatkan sebentar atau minim Panadol, rasa sakitnya hilang. Tapi ini, sudah dua hari cenut-cenutnya sulit sekali diusir.

Tukang pijat langganan juga telah dipanggil. Aku mengira masuk angin, karena sebelumnya memang cukup kelelahan setelah hajatan adik iparku yang menikah. Tapi di hari ketiga dan keempat, kepala seperti meledak. Badan melayang-layang. Kaki seperti tak menjejak di lantai. Aku makin limbung.

Istriku terlihat gelisah. Aku dimintanya berulang-ulang agar ke dokter. Untuk kesekian kalinya aku menolak. Di hari kelima, kondisi masih tidak berubah. Meski sempat hilang sebentar, tapi pusingnya tidak benar-benar pergi. Di hari ke tujuh sejak pelanconganku ke luar negeri, kliyenganku kembali muncul. Aku memutuskan ke dokter…

Aku divonis terkena diabetes. Gula darahku ketika itu 345 !!! Aku lunglai. Tak percaya. Orientasiku tiba-tiba hilang berubah menjadi ketakutan. Bagaimana bisa, di umurku yang baru 35 tahun, sudah terkena penyakit menyeramkan seperti itu? Ya, Allah berilah aku kekutan untuk menghadapinya….

***

Benar kata orang, silaturrahmi bisa memudahkan urusan. Aku ingat betul, sebulan sebelum aku divonis diabetes, aku secara kebetulan bertemu teman lama di sebuah acara. Kami berbincang-bincang, bertukar alamat rumah, e-mail dan telepon. Ia seorang dokter, spesialis diabetes. Dan kebetulan juga, rumahnya dekat-dekat saja.

Ketika hasil darahku keluar, aku langsung mengontaknya.. Sore itu juga aku konsultasi.

Dia begitu rinci menerangkan penyakitku. Mulai dari penyebab hingga menjaga dan pencegahannya. Salah satu penyebab gula darahku melonjak selain karena faktor keturunan juga akibat gaya hidup yang ngawur.

Makanku ‘jorok’ dan sembarangan, dan ini yang fatal : tidak pernah berolahraga. Ku ingat-ingat, terakhir aku rutin berolahraga sejak SMA, itupun seminggu sekali. Selama kuliah, hampir tidak pernah. Hanya sesekali saja berenang bersama kawan-kawan. Ini sulit dikatakan olahraga karena lebih banyak bermain airnya.

Ukuran makanku memang sering tak ditakar. Kalau perut belum terasa penuh, mulut sulit dihentikan. Jenis yang ku makan juga menakutkan. Sop kambing, atau tongseng. Aku juga penggemar masakan padang. Kuah berkilat-kilatnya selalu saja menggodaku. Sampai lupa perut, tak terasa sudah dua piring.

Kalau kebetulan dapat tugas liputan di hotel lebih parah lagi. Minuman soft drink dingin membuat tenggorokan makin madat untuk minta terus digerojok. Aneka makanan yang manis-manis sudah tak terhitung berapa saja aku hajar. Belum lagi makanan besarnya, yang lagi-lagi banyak lemaknya. Komplit sudah timbunan lemah dalam tubuhku.

Puncak krisisnya terjadi ketika aku berada di Vietnam. Di sana kami selalu disajikan makanan laut yang tinggi kolesterol: kerang, kepiting, cumi, dan tak lupa mie. Padahal, mie memiliki kandungan karboditrat tinggi. Konon, semangkuk mie setara dengan dua piring nasi. Aku penggila semua makanan itu. Maka, tanpa ampun apa yang disajikan aku embat. Syukurnya, di negeri orang, badanku baik-baik saja meski aktivitas begitu padat, sehingga menyita waktu istirahatku.

Bukan tidak ada yang mengingatkanku tentang kebiasaan buruk ini. Tapi semuanya aku anggap angin lalu. Libido makanku sulit dihentikan. Kian hari, beratku bertambah. Akibat absen olahraga sekian tahun, lemak jahatku makin bengis. Tanpa belas kasih menjajah pankreasku. Glukosa yang mestinya diurai, terus tertimbun. Insulinku yang bertugas ‘menarik’-nya dari darah kian sulit mengenalinya karena ditutupi lemak yang berlipat-lipat. Maka, gulaku itu beredar luas dalam darahku.

Kalian tahu, lemak-lemak itulah biang mengapa gulaku sulit dikontrol. Teman dokterku itu bilang, selama lemak itu menutupi glukosa maka insulin sulit bekerja. Insulin dan glukosa seperti pasangan setia. Satu unsur insulin hanya bisa mengenali satu glukosa. Kalau ia tertutup lemak, insulit sulit merangkulnyal. Insulin tidak mengenal poligami. Ia tidak mungkin menggaet dua glokosa sekaligus. Jadi, satu-satunya jalan hanya dua : mengatur pola makan, yang artinya mengurangi potensi lemak jahat. Serta, olahraga agar lemak-lemak itu hancur. Dan dua insan ini bisa saling bertemu…

***

Selama enam bulan aku berjuang di dua wilayah itu. Syukurnya, dalam tiga bulan pertama dosisku bisa dikurangi. Tes darah HbA1C-ku 5,6 persen, jauh di bawah ketika pertama aku dapati di kisaran 13,4 persen. Angka ini sebenarnya mengkhawtirkan, karena batas maksimal yang kutahu hanya 12 persen. Pada level ini, segala penyakit mudah mampir. Kalian pasti paham, kalau diabetes adalah pintu masuk bagi penyakit berbahaya seperti kebutaan, amputasi, jantung, darah tinggi, dan sebagainya.

Aku tak ingin dikalahkan oleh penyakit. Dalam perjalan setahun ini aku berusaha keras mengurangi makanan-makanan ‘enak’. Semua ada takarannya. Nasi, ku timbang. Lauk juga kutimbang. Bahan-bahan pun aku beli selektif seperti gula, santan, gula jawa, minyak kedelai, kentang, garam, madu, selai, juga susu. Semuanya aku pilih yang khusus bagi penderita diabetes. Dan, ini yang penting : alhamdulillah, aku diberi kesehatan untuk olahraga minimal setengah jam tiap hari, atau berenang yang merupakan olahraga kesukaanku paling tidak seminggu sekali.

Alhamdulillah, gulaku bisa terkendali. Obat sudah aku tinggalkan enam bulan lalu. Terapiku,ya ,…cuma selektif makanan dan olah-raga teratur. Namun, akhir-akhir ini beratku kembali naik ke 79 kg, dari sebelumnya 74 kg, pencapaian yang cukup lumayan dibandingkan ketika sebelum sakit pada 86 kg.

Dua minggu ini, aku mulai melanggar aturanku sendiri. Aku terlena dengan kenikmatan yang cuma sepuluh senti, dari mulut hingga tenggorokan. Padahal, akibat sepuluh senti itulah awal mula penyakit ini datang.

Kalian, apakah masih menganggap kenikmatan sepuluh senti itu segalanya? Kalau masih, sayangilah kesehatan anda. Mulailah berfikir ulang. Kenikmatan makanan mungkin bukan cuma di lidah hingga tenggorokan, tapi di otak. Ciptakanlah sensasi makanan enak bukan hanya dari rongga sepuluh senti tapi dari khayalan dan fikiran. Bisa? []

Gelora: 07:04:2010

nggak lupa

bagaimanapun masa lalu adalah kenyataan
kenyataan yang mustahil berlalu
berlalu tanpa sebab yang jelas
jelas suatu ketidakmungkinan

tapi apakah akan terus begitu
terus dihantui perasaan khawatir
perasaan takut dicintai
takut dikhianati lagi

namun semua adalah kewajaran
semua adalah romantika hidup
adalah mungkin baginya untuk tertutup
mungkin sesaat atau tak tahu entah kapan

akankah ku sanggup menghapus kenggaklupaan masa lalunya
akankah ku mampu menyakinkannya bahwa aku bukanlah masa lalu dari kenggaklupaannya
tapi yang jelas aku nggak lupa sama seseorang yang ku inginkan

[suatu ketika usai aku meyakinkannya di tahun 1997]

aah..

waktu aku bilang kamu cantik
kamu bilang ah, becanda
waktu aku bilang kamu manis
kamu bilang ah, bisa aja
waktu aku bilang kamu baik
kamu bilang ah, ‘be’ aja dong
tapi, waktu kamu tahu aku sayang kamu
kamu nggak bilang apa-apa

mungkin saat itu aku beropini
ah, barangkali ia masih bingung
mungkin saat itu aku berkhayal
ah, seandainya ia suka aku
mungkin saat itu aku mikir
ah, nggak bakalan ia suka aku
atau mungkin saat itu aku bilang
aduuh, bingung sekaleeee…

suatu hari dan bulan di tahun 1993
kupersembahkan pada pacarku di 1997-an

Minggu, 04 April 2010

Senin yang Tak Terulang

Senin ini, mestinya jadwal Vito les piano Yamaha. Nyaris sembilan bulan anakku itu mengikuti kursus pioano di CitraGrand Cibubur. Pertama kali kami memasukkannya ke sana, bertumpuk harapan  muncul deras di kepala.  Kami ingin Vito kelak  bisa seperti para komposer muda yang sudah piawai mengaransemen lagu. Kalau tidak bisa juga tak apa-apa. Tapi mudah-mudahan bisa menyeimbangkan jiwa : antara pelajaran akademik yang membebani, juga musik.

Kami selalu membayangkan ia anak yang tidak saja pandai, taat beragama, namun piawai pula bermain musik. Kami, ingin sekali dimainkan musik, di saat kami letih seharian bekerja. Ingin sekali ia mengiringi kami bernyanyi meski suara ini pas-pas-an.

Namun, impian itu sementara kami tunda. Vito dengan segala keyakinannya minta berhenti kursus. Aku menduga  ia trauma karena dua kali kursus aku antar dengan motor. Dalam dua kali perjalanan pertamanya itu, kami diguyur hujan deras. Terakhir, bahkan sampai motor kami mogok persis di tengah genangan, yang merendam separuh motor thunder silver kami.

Kami coba konsultasi ke kakak gurunya. Ia dibujuk untuk tetap kursus. Berhasil. Tapi, cuma berjalan satu pertemuan. Selanjutnya ia enggan berangkat. Segala upaya kami kerahkan. Mulai dijanjikan untuk tidak lagi naik motor, ia tetap menolak. Kami juga pernah membelikan, juga menjanjikan untuk jajan makanan kesukaannya asal tetap kurus. Sukses sekali, berikutnya upaya ini tak lagi berhasil.

Kami tanya sungguh-sungguh. Kami juga terus terang kalau berharap ia bisa handal di depan piano. Ia hanya berujar, “Aku sih, sebenarnya nggak mau, tapi kalau bunda-ayah maksa gimana lagi.”
Ia menganggap, bujuk rayu kami berikut trik di dalamnya  sebagai ‘paksaan’.

“Lho, ayah sama bunda gak maksa kok,” aku menegaskan.
“Kalu kamu gak mau lagi juga gak papa. Cuma kan sayang udah bayar mahal-mahal,” istriku menimpali.
“Aku bosen, ah. Gak mau lagi,”

Ya sudah. Karena ia secara eksplisit mengatakan itu, kami tidak bisa memaksa. Kami sepakat untuk tidak sekehendak  terhadap sesatu yang tidak diinginkannya. Kami sadar hal itu pasti tidak mengenakkan, meski sungguh nilainya nyaris sempurnya untuk ujian terakhirnya pada Desember 2009 lalu.

Dulu, waktu kursus Kumon juga begitu. Berjalan tiga bulan, ia minta berhenti. Kami juga tidak memaksa. Sekali lagi kami akui sedih karena keputusannya itu. Mengapa harus berhenti di saat nilai-nilai yang dicapainya begitu memuaskan? memaksanya apakah langkah tepat? untuk saat ini kami anggap itu bukan hal penting, jadi tidak perlu dipaksa-paksa.

Tapi, jujur aku begitu sedih saat memutuskan Vito untuk berhenti kursus piano. Aku tahu betul perkembangannya mengikuti setiap pelajaran dari kakak gurunya. Aku, meski satu-satunya ayah di ruangan itu, coba bertebal muka di antara orang-tua teman-teman Vito yang semuanya ibu-ibu.

Aku, berusaha keras  menepiskan rasa malu saat awal-awal menemaninya satu jam di dalam kelas. Jujur bukan perkara mudah. Tapi, aku bangga bisa menemaninya. Ia begitu lincah, komunikatif, juga cepat menyerap pelajaran. Dan ini yang selalu aku suka : tak pernah malu-malu untuk berpendapat atau bertanya. Celotehnya membuat suasana kelas begitu meriah. Teman-temannya selalu menghampiri meja kami, mencuri-curi waktu di tengah pelajaran.

Kakak gurunya sungguh menyayangkan keputusan kami. Ia mengakui, Vito anak yang cerdas. Bukan, aku bukan sedang narsis karena ia anakku. Pada pertemuan Senin, dua minggu lalu, aku masih melihat ia ceria. Sayangnya, di ujung pertemuan mendadak hilang semangat. Ia diminta memainkan satu lagu dengan dua tangan Ia terlihat salah-salah. Malas menekan tuts. Tentu saja aku marah. Ia tetap saja tak bergemik. Wajahnya kuyu, barangkali ngantuk.Mungkin karena dicecar dengan ocehanku. Ia membalas,” Yah, aku tuh bisa. Tapi aku bener-bener bosen tauk.”

“Kalau kamu bisa buktiin, donk,” cegatku.

Ia ternyata terpancing tantanganku. Badanya ditegapkan. Kepala naik-turun memadankan tangan dan not-not yang terpampang di depan. Kakinya yang semula berpangku, diturunkan menjuntai ke bawah kursi. Aku cermati anakku ini.

Sungguh, ia bisa memainkan lagu itu. Aku tak bohong.

“Hebat!!! kamu bisa. Tapi di depan Kak Rieke kok gak bisa,”
“Aku kan udah bilang….aku males…bosen!”

Satu lagi kejutan yang dipertontonkan padaku. Aku akhinya memang dihadapkan satu kenyataan bahwa anakku itu memang sedang jenuh dan sering jenuh terhadap sesuatu. Kecerdasannya dikalahkan oleh rasa bosannya yang memang sulit dilawan. Kami masih berharap ia bisa meneruskan keinginannya, entah apa. Kami belum tahu…[]

Gelora: 04:04:2010