Jumat, 29 Januari 2010

Dua Syarat Terlarang

Jangan jadi orang kere, karena itu pasti tidak enak. Agama saja menganjurkan begitu. Jadilah orang kaya, tapi bukan dengan cara berdagang pasti akan lama. Agama memang telah menjanjikan, 90 persen pintu rezeki ada di ladang jual-beli. Tapi ada catatannya : harus jujur dan pekerja keras. Kalau anda tidak memiliki dua syarat itu jadilah pejabat. Kok?!

Untuk menjadi pejabat, mungkin dua syarat itu justru harus dijauhkan. Kalau tidak, bisa-bisa anda malah gagal dan tersingkir. Bersilat lidah itu perlu. Kalau pejabat mengatakan sesuatu percayalah ada beribu maksud dibaliknya. Bohongkah? tidak juga. Hanya saja mereka tidak mengatakan yang sebenarnya. Berbeda lho! Penjelasan akan diputar 180 derajat dari sudut pandangnya. Kita akan garuk-garuk kepala mencerna jika tidak dibekali ilmu iman.

Kita tidak usah memaksa pejabat untuk berkata atau berbuat jujur, percuma. Pakem kerja mereka memang begitu. Makin ditekan, makin liat saja lidahnya. Bisa-bisa fakta justru dijumpalitkan. Makin bingung kita. Ini soal pilihan hidup, kalau anda memang senang berliku-liku rasanya cocoklah jadi pejabat.

Kerja keras itu juga milik kaum buruh dan kuli. Yang dibutuhkan untuk menjadi pejabat itu cuma lidah. Iya lidah...lewat lidah orang bisa menjilat-jilat pantat atasan berharap mendapat posisi yang cocok. Tapi saya ingatkan tidak usah berlebihan. Jilatan-jilatan yang lembut justru yang diperlukan. Tidak memancing perhatian, tapi agar efektif harus rutin. Kesan setia akan muncul sendirinya. Kalau sudah begitu, tunggulah keajaiban. Tak lama lagi anda akan jadi pejabat.

Nah, kalau sudah di posisi penting, anda tinggal duduk di belakang meja. Tugas mengurus keperluan rakyat biarlah diserahkan pada staf. Toh, mereka-mereka itu juga seperti anda, senang menjlat-jilat. Kalau kerja anda tidak beres, jangan khawatir. Seburuk apapun anda, tidak akan dicopot dari jabatan. Kecuali nanti, ketika anda sudah lengser.

Ini pun anda tidak perlu panik. Ada banyak orang yang mau disuruh untuk menyelesaikan kasus anda, jika akhirnya terseret ke muka hukum. Hasil korupsi yang anda lakukan tentu lebih dari cukup untuk mengarahkan agar hukum memihak anda, bukan?

Apalagi, gaji anda tahun ini dinaikkan sampai 20 persen. Juga ada remunerasi yang jumlahnya membuat kantong anda makin gemuk. Genjot saja kinerja bawahan, maka remunerasi  anda pun akan terkatrol. Dimanapun pemimpin akan terkena citranya jika rapor baik. Kalau jeblok, tinggal carikan saja kambing hitam. Anda duduk manis saja. Menikmati gaji bersih karena tidak harus mengeluarkan dana untuk bayar telepon, listrik, air karena sudah dibayari negara.

Kewibaan anda sebagai pejabat juga dijaga betul oleh negara. Mobilmu saja berharga Rp 1,3 milyar. Beberapa fasilitas seperti komputer disediakan sampai Rp 21 juta. Sssst,...tapi jangan bilang-bilang kalau harga komputer itu tiga kali lipat dari pasaran. Selebihnya bisa masuk kantong lumayankan buat tambahan jajan anak-anak.

Kalau nanti kebetulan anda bertugas di tempat yang mengurusi kelautan lebih nikmat lagi. Anda bisa berlayar gratis dengan sebuah kapal pesiar Lagoon 500. Kemewahan kamar hotel terapung ini jangan diragukan. Harganya saja bisa Rp 14,4 milyar. Jangan gelisah jika ketahuan. Karena sejak awal memang diperuntukkan sebagai kapal pengawas. Hebatkan!! Jadi tenang-tenang jasa menikmati semilir air laut.

Kalau anda lebih beruntung lagi, karena bisa menjilati seluruh pantat orang Indonesia, dan meyakinkan mereka, kantor yang sudah megah itu akan direnov dengan biaya Rp 22,5 milyar. Tentu anda akan makin gagah dan berwibawa jika keluar dari kantor yang sekaligus sebagai simbol negara itu. Jika plesir ke luar negeri tak lama lagi akan ada pesawat baru. Uang mukanya saja Rp 200 milyar.  Itu pasti nyaman dan aman. Tapi sabar, pesawat itu baru bisa anda pakai paling cepat  tahun depan.

Soal memenuhi janji pada rakyat sih belakangan. Pintar-pintar aja anda berkilah. Toh, banyak orang di negeri ini yang siap membela ada. Menjadi tameng siap mati, asal hajat mereka terpenuhi.  Anda tidak usah repot-repot menjawab tuntutan rakyat. Enakkah?!

Lho, kalau nanti Tuhan murak bagaimana? ya, tanggung sendiri. Yang jelas laknatnya di akhirat akan mendera anda begitu keji.  Jadi, terserah saja. []
Bojong Kulur : 29:01:2010

Kamis, 28 Januari 2010

Rasionalitas versus Mistik

Sinopsis dan Tinjauan Film "Sherlock Holmes"

Kegemparan menimpa masyarakat London. Mayat yang baru dikubur tiga hari sebelumnya, hilang secara misterius di sebuah kompleks pemakaman. Jasad memang ada tapi bukan milik Lord Blackwood, melainkan manusia cebol bergigi ompong. Dr John  Watson yang menyatakan kematian terpidana gantung itu terperangah. Reputasinya sebagai dokter dipertaruhkan. "Bagaimana saya bisa percaya pada seorang dokter yang untuk membedakan orang mati dan hidup saja tidak bisa," teriak Sherlock Holmes pada sejawat kerjanya.

Ancaman Blackwood pada Holmes sesaat sebelum ia dieksekusi di tiang gantungan terbukti. Bahkan, pemuja setan itu mengingatkan Holmes akan pembunuhan berantai berikutnya.  Rakyat dibuat panik luar biasa karena ilmu hitam bakal menguasai jagad Inggris. Pembunuhan lima wanita  sesembahan oleh Blackwood, yang mengantarnya pada kematian palsu itu, menjadi kasus misterius yang harus diungkap Holmes.

Petualangan pun dimulai. Film Sherlock Holmes garapan Guy Ritchie berdurasi 134 menit, sejatinya bukan film pertama yang pernah dibuat. Karya klasik 1800-an itu tetap aktual sampai kapanpun. Apalagi, ketika dunia makin rasional dan menepikan hal-hal berbau mistik. Holmes yang diperankan begitu memukai oleh Robert Downey,Jr tampil jenaka, nyentrik dan penuh kejutan. Lompatan-lompatan cerita yang dibuat oleh Arthur Conan Doyle, pembuat detektif fiktif itu, mulanya membingungkan. Di ujung cerita ada rajutan logika yang mematahkan asumsi awam.

Ketika banyak orang panik dan mempercayai tahayul, Holmes dengan penuh keyakinan menyelidiki dan mengumpulkan satu persatu bukti tipu daya Blackwood (Mark Strong). Holmes misalnya, membeberkan bagaimana hukuman gantung yang dijalani Blackwood tak lebih sebatas aksi panggung. Lehernya tidak benar-benar dijerat, tapi dikaitkan dengan ikat pinggang yang tersembunyi di perut. Untuk mengelabui Watson-terlalu tampan diperankan oleh Jude Law-Blackwood menggunakan ramuan yang memanupulasi denyut nadi.

Cerita yang dilihat dari sudut pandang Watson begitu ditel dan  tajam. Pengambilan gambar jarak dekat dan lambat,  mengingatkan  kita pada acara "Warp" di Discovery Channel. Muka, perut, dan kaki musuh yang  saat dihantam Holmes begitu kentara : meletot-letot serupa kain kena kibasan angin topan. Tapi, bagi penggila novel Sherlock sosok Holmes mungkin jauh dari bayangan.

Di sini,  Ritchie menonjolkan Holmes bukan sekedar otak tapi juga otot.  Sosok serius yang tiba-tiba humoris, meski cocok disandingkan dengan Watson yang sering dicemooh Holmes. Barangkali ini tak lepas dari si penulis naskahnya yang sering menggarap film-film kocak, duet Michael Robert Johnson and Anthony Peckham.

Artistik setting tahun 1881 dimana Holmes hidup, juga nyaris sempurna.  Lihatlah apartemen dan perabotan dimana Holmes mendiami  apartemen di Baker Street 221B. Juga bagaimana London Bridge baru setengah jadi, tempat dimana Blackwood kelak benar-benar tergantung terlihat begitu asli. Apalagi, dipoles dengan latar musik yang ciamik ditangan Hans Zimmer

Sepak terjang Holmes si jenius yang diciptakan Arthur memang sayang untuk dilewatkan. Terutama bagi penyuka film detektif yang sumpek oleh teka-teki. Kita memang diajak untuk berkerut kening ketika menikmati Sherlock Holmes, walau di ujungnya ada penjelasan ilmiah yang bisa diterima akal. Termasuk bagaimana trik Blackwood menghilang dan menakut-nakuti lewat suara keras. Ia hanya mengandalkan kepulan asap dan sedikit teknologi pengeras suara.

Holmes memiliki kelebihan bisa menebak calon klien hanya dengan mengamati penampilan. Kejelian dan ketelitian ini diadobsi Arthur dari sosok nyata Oliver Wendell Holmes. Di jamannya ilmu forensik masih baru, dan dikembangkan oleh gurunya dari Universitas Edinburg, Joseph Bell. Kepawainnya merangkai kejadian membuat "detektif  konsultan" ini begitu masyhur dalam menangani berbagai kasus yang sulit dipecahkan aparat hukum, utamanya yang bermarkas di Scotland Yard. Ia melakukannya dengan pendekatan ilmiah dan logika. Keligatan tubuh detektif yang tak pernah lepas dari topi dan pipa cangklongnya, mungkin juga diambil dari nama atlet kriket yang begitu dikagumi Conan Doyle : Sherlcok.

Maka, ketika Blackwood ingin membinasakan beberapa manusia di sebuah ruang majelis untuk mengukuhkan dirinya sebagai Tuhan, Holmes dan Watson mencari-cari alat pembunuh masal itu yang tak lain adalah gas sianida mematikan yang dipicu oleh sebuah alat pemicu di ruang bawah tanah.

Misi memang berhasil, tapi sayangnya perangkat radio-aktif  itu lantas dilarikan oleh wanita pujaannya sendiri, Irene Adler (Rachel McAdams), yang diumpan Profesor Moriarty, sosok misterius musuh abadi Holmes. Alat super mahal ini akhirnya  memang bisa diselamatkan. Tapi, penghianatan tetap sulit dimaafkan meski Holmes sesungguhnya masih tertarik pada gadis Scotlandia yang pernah memperdayainya itu. []

Bojong Kulur : 28:01:2010

Senin, 25 Januari 2010

Menjajah "Surga"

Sebuah Tinjauan film “Avatar”
Manusia memang rakus. Kalau perlu, “surga” pun dijajah.  Di saat bumi membutuhkan begitu banyak mineral, mungkin juga tempat tinggal, maka planet lain disasar untuk  dijadikan objek penelitian untuk kemudian diduduki. Adalah Pandora, planet sempurna yang menyerupai bumi. Di sana tersimpan unobtanium bernilai menggiurkan. Sekepalan kecil unobtanium bisa dijual hingga 20 juta dolar AS !!

Pandora memiliki kekayaan sehebat bumi. Hutan lebat dengan batang besar-besar, berotot akar yang lingkarnya saja sepelukan orang dewasa. Tak berbeda dengan di bumi, pohon-pohon di Pandora juga berwana hijau. Kelebihan pohon-pohon di Pandora, akar mereka saling koneksi memancarkan sinyal transduksi yang memungkinkan adanya komunikasi. Seperti syaraf otak pada manusia, pohon-pohon itu bisa menyimpan dan menyerap informasi.

Beberapa jenis agak unik. Terdapat pohon serupa putri malu yang jika disentuh langsung menciut sebesar jamur. Bedanya, pohon berduri merah ini mirip trombon besar yang mulutnya melingkar-lingkar. Ada juga jenis tanaman yang  memancarkan warna biru di daunnya. Rambut-rambut pohon menjuntai memamerkan cahaya putih benderang. Rumput-rumput yang jika diinjak memendarkan warna. Air sungai juga mengalir jernih, biru bergelombang.

Beberapa binatang juga unik. Ubur-ubur berterbangan di udara memantulkan cahaya di sekujur tentakelnya. Terdapat pula tokek yang merayap di pohon dan tiba-tiba memutar terbang mirip gasing, lagi-lagi mengeluarkan sinar menyilaukan jika disentuh. Semua tumbuhan begitu hidup di malam hari, seperti ada neon di dalamnya. Itulah surga rekaan James Cameron. Untuk menyempurnakan imaji tentang surga, pulau-pulau tidak memijak di tanah dan terhubung dengan laut, tapi menggantung di langit-langit : lengkap dengan air terjun, awan dan pelangi.

Seperti planet lainnya, manusia tidak bisa berhirup di udara bebas tanpa bantuan masker beroksigen. Tapi anehnya, semua kehidupan di Pandora sama seperti di bumi.  Termasuk suku yang mendiami planet itu, Na’Vi. Entah dengan zat apa mereka bisa hidup.Yang sangat membedakan, mereka bertubuh raksasa, bermata mirip macan, memiliki buntut, kulitnya biru agak bersisik, dan mukanya yang dipenuhi merling-merling yang memantul jika terkena sinar.

Untuk keperluan penelitian dikirimlah Jake Sully (Sam Worthington), mantan marinir yang cacat kaki akibat perang. Jake tidak dikirim seperti wujud aslinya. Melalui program Avatar yang dikembangkan, memungkinkan Jake mengendalikan tubuh Avatar yang terhubung melalui jaringan syaraf otak di dalam sebuah kapsul. Tidak mudah  bagi Jake diterima oleh suku Na’Vi meski ia telah diyakinkan oleh Neytiri (Zoey Zaldana), perempuan dari suku Na’vi yang secara kebetulan menolongnya ketika tersesat sehabis dikejar binatang mirip badak bercula jaman purba. Dan terengah-engah menumpas serigala hitam bercaling stalagtit berkaki enam.

Niat baik selalu tak bisa disembunyikan dari hati. Ketika sebuah tanda dari Eywa-roh suci kepercayaan suku Na’vi- dipertontonkan,  Jake akhirnya diterima dan mulai beradaptasi. Hingga ia bisa menguasai sejumlah alat, cara bertempur, lihai berburu rusa bermulut mekar. Menungang kuda berkaki enam dan akhirnya bisa menaklukkan seekor Ikran, burung terbang bermuka bengis, bertaring dan hanya bisa dikendalikan oleh seorang Na’vi yang terpilih. Mereka terhubung lewat rambut panjang para Na’vi yang menyatu dengan Tsahaylu, serupa buntut panjang yang menjuntai di tengkuknya. Jake pun diangkat menjadi bagian klan Omaticaya.

Misi berubah. Sejumlah peneliti yang dipimpin kepala program Avatar, Grace Augustine (Sigourney Weaver- si wanitayang identik dengan “Alien”), menentang penyerbuan demi kandungan unobtanium ditangkap. Rumah pohon yang begitu besar, tempat berlindungnya suku Na’vi pun dirobohkan. Jake tak lagi dipercaya dan diusir, terutama oleh kekasihnya Neytiri. Ia coba meyakinkan tetapi gagal   karena  tetap dianggap sebagai mahluk asing dari langit yang berkhianat. Membocorkan segala rahasia suku Na’vi.

Jake sudah terlanjur cinta Pandora beserta kehidupan di dalamnya. Tumbuh-tumbuhannya, binatang-binatangnya dan tentu saja Neytiri. Sepanjang mata memandang, usai penyerbuan, ia melihat Pandora seperti neraka. Hutan ludes terbakar, binatang lari terbirit-birit persis seperti hutan bumi yang dibabat dan dibakar demi sebuah nafsu materi. Puluhan Na’vi mati tertimpa pohon dan terbakar. Termasuk ayah Neytiri. Jake beserta temannya berikrar ingin menghentikan syahwat serakah manusia bumi, terlebih setelah Grace tewas dimoncong senapan para tentara rakus.

Ia pun menaklukkan Turok Makto, burung pemangsa super raksasa. Kibasan mahluk berwarna merah itu mungkin tujuh lipat besarnya dari Ikran, yang hanya bisa dikendalikan oleh orang yang memang dipilih, dan hanya lima dari suku Na’vi yang pernah menungganginya. Dengan mengendarai Turok ia memimpin peperangan dengan makhluk langit, yang tak lain para tentara begundal dengan senjata moderen dan robot-robot selincah manusia yang berhasrat tinggi menghancurkan Pohon Harapan, tempat keramat suku Na’vi.

Akhir cerita berbiaya 400 juta dolar AS ini mudah ditebak. Quaritch, kepala tentara yang berambisi menguasai Pandora bisa dihabisi. Kebaikan selalu menang, sangat sederhana. Tapi di tangan Cameron semua terasa lain. Kecangihan dan imaji bisa diwujudkan begitu nyata, terlebih jika menikmatinya melalui teknologi 3D. Masyarakat dunia pun kini gandrung dengan “Avatar”. Terbukti, sejauh ini keuntungan film yang telah diendapkan Cameron selama 10 tahun itu telah meraup nyaris 1,3 milyar dolar AS, mendekati film Cameron  sebelumnya, “Titanic” yang menanggok untung 1,8 milyar dolar AS.

Film-film Cameron selalu ada pesan tersirat yang bisa dipetik. Ia ingin menyampaikan bahwa alam perlu dijaga dan ketamakan hanya akan menghancurkan alam. Suku-suku primitf  bisa musnah dan habitat binatang-binatang porak, hancur ditebas tangan-tangan kemaruk. Jake memutuskan ingin bergabung dengan suku Na’vi dan menetap. Mahluk langit pun dikembalikan ke bumi. Tempat dimana ketamakan dan kehancuran dipelihara. []

Bojong Kulur : 25:01:2010

Minggu, 24 Januari 2010

Operasi Dubur Jaya

Serombongan anak berbaju lusuh terbirit ke arah halte, menyesak masuk ke balik semak yang tak terlalu lebat. Di tangannya tergenggam kayu kecil berpaku tiga yang bertumpuk krup bekas tutup minuman. Beberapa ada yang mengantongi botol Aqua berisi beras. Ada yang bersusah memikul boks kotak bersenar kolor hitam . Yang berlenggang justru tersuruk-suruk, sulit mengharmoniskan rasa takut dan kecepatan kakinya.

Bocah-bocah itu menyembunyikan  jijiknya terhadap beberapa aparat gabungan yang akan memeriksa mereka. Bukan untuk ditangkap, melainkan diperiksa duburnya. Isu pemeriksaan dubur itu memang santer terdengar belakangan ini. Operasi berbau kurang sedap itu hinggap ke anak jalanan seantero Jakarta. Seperti operasi-operasi lainnya yang sering digelar Polda Metro untuk mengamankan situasi, kali ini operasi itu juga bertujuan sama : mengamankan dubur anak-anak agar tidak dinodai.

Coba anda bayangkan, jika orang macam Babeh yang sudah menyodomi puluhan anak itu dibiarkan, berapa banyak generasi ini yang hilang masa depannya. Dubur memang bukan kategori jenis kelamin. Meski begitu, ia tetap harus dilindungi dan posisinya juga sepenting  alat kelamin pada wanita. Yang kalau diperkosa menimbulkan trauma.  Dubur memang tidak memiliki selaput dara, tapi bukan berarti bisa sembarang dipakai.

Traumatik pemerkosaan dubur yang dilakukan  Baiquni,48, alias Babeh terhadap anak-anak itu bisa membekas dalam. Beberapa kasus sering terungkap, pelaku sodomi umumnya adalah korban juga. Ketika kecil ia sering diperlukan hal serupa, ketika besar seolah ingin membalaskan dendam. Entah, apakah sodomi yang mereka lakukan ketika dewasa di dasarkan oleh syahwat atau sekedar dendam. Rantai ini memang harus segera diputus. Jika tidak, maka generasi muda kita hanya akan dipenuhi oleh orang-orang yang doyan dubur. Mengerikan bukan?

Bukan itu saja, kalau dubur ayam yang dikonsumsi sih, masih enak. Meski berkolesterol tinggi, justru itu yang dicari. Tapi, kalau model Babeh yang mencari-cari dubur anak jalanan bukan cuma dinikmati hidup-hidup tetapi dalam keadaan mati, seperti kita menikmati dubur ayam. Bedanya disop dan tidak. Yang satu dinikmati lewat indra pengecap yang lainnya dicicipi lewat indar “perangsang”.

Kesadisan Babeh yang sejauh pengakuannya “baru” membunuh tujuh bocah memang mengerikan. Kalau dibiarkan, tentu nasib anak-anak berikut duburnya tentu menjadi dipertaruhkan. Sangat boleh jadi, Babeh bukanlah satu-satunya penikmat dubur  bocah jalanan. Masih banyakyang sedang mengincar dubur-dubur bocah yang sungguh harus dilindungi itu.

Yang dibutuhkan tentu saja bukan sekedar mendata para korban prilaku seks menyimpang itu, tetapi bagaimana melindungi mereka secara utuh, bukan saja duburnya. Tetapi kualitas hidupnya. Pendidikannya. Dan tentu masa depannya. Bukankah anak-anak terlantar menjadi kewajiban negara untuk menggasuhnya. “Operasi Dubur Jaya”, mungkin hanya langkah panik. Semoga bukan benar-benar memeriksa tunggir anak-anak kurang beruntung itu. []

Gelora: 24:01: 2010

Kamis, 21 Januari 2010

abaikan saja aku, apa peduliku

tergeragap aku mengejar
lusuh buku jariku, memancar keluh
tapi kau bergeming pun tidak
: kokoh meligas sendiri, tanpaku

lihat, coba lihat mimikku
sebentar kelam, esok pasi
kau, terus saja mencongklang
apa pernah kau menoleh?
TIDAK…
ku ulang, pernah kau menoleh?
TIDAK…

aku mendua dalam bayangan
seperti poni mainan
: cepat tapi tertancap

Gelora : 21:01:2010

Pulangnya Sang Penolong

Ketika cerita sebelumnya baru saja selesai, sebuah SMS berdit-dit dari ponsel Nokia saya. Tapi saya diamkan dan meneruskan aktivitas tidur siang. Paling-paling penawaran kredit yang makin banyak saja akhir-akhir ini. Selang dua menit SMS datang lagi, saya tetap bergeming. Saya paling tidak rela, waktu tidur terganggu untuk urusan gak penting seperti itu. Dua ponsel yang tergeletak di samping saya, langsung saya silent. Tidur pun bisa lebih tenang hingga satu setangah jam ke depan.

Begitu terjaga dan bersiap mandi ke kantor, saya tilik SMS. Panggilan tak berjawab sampai hampir sepuluh. Saya buka ternyata dari mas-mas dan mbak-mbak saya. Saya mendadak gelisah, karena pasti ada sesuatu maha penting. SMS pun bertumpuk tiga. Saya buka isinya : Innalillahi Wa Inailaihi Rojiun, telah berpulang Mas Muchyi hari ini. Dikebumikan besok. Mhn disebarluaskan informasi ini ke sdr dan kerabat dekat kita. Siapa yg mau hadir besok? SMS itu hanya beberapa menit dari meninggalnya yang tercatat pada pukul 14.30 tanggal 19 Januari 2010.

Saya putuskan untuk menghadiri dan memberikan penghormatan terhadap orang yang sudah begitu berjasa pada kerluarga kami. Ia adalah wali ketika saya menikah 13 September 2003. Mas-mas saya juga diwakilkan olehnya ketika pernikahan mereka dulu. Dari delapan anak, hanya mas keenam saya yang berhalangan ikut karena bertugas di Lampung. Mas yang dari Denpasar "terpaksa" mempercepat kunjungannya ke Jakarta, dari  semestinya Kamis.
 
Berangkat dengan dua mobil, kami tiba di rumah duka pukul 01.15 dini hari, Rabu. Dihadapan jasadnya kami tak kuasa menahan tangis. Air mata ini sulit terbendung, tumpah membasahi pipi. Kami tersedak-sedak berusaha menguasai tangis agar bisa dikendalikan. Memori ini sontak berputar dari kelopak mata yang menutup. Sebuah layar di pelupuk memberikan kenangan tentang jasa-jasa yang pernah diberikannya pada keluarga kami.

Ia, yang telah mengangkat kehidupan ekonomi keluarga kami. Tiga dari kami, berhasil diterima di Posgiro berkat kebaikan hati dan ketulusannya. Meski sukses, ia tak pernah melupakan kerabat. Begitu banyak orang yang telah ditolong. Bukan dengan memberikan ikan, tapi kail agar kami bisa berjuang dan menghargai sebuah usaha. Pilihannya membantu sama sekali tanpa pamrih. Hampir semua orang yang ditolongnya adalah yang memang berhak untuk itu : mengalami kesulitan absolut seperti yang keluarga kami alami.

Tapi berkat tangan ikhlasnya, ia telah membuka jalan bagi keluarga kami untuk lebih baik. Saat ini, alhamdulillah semua anak-anak lelaki dari Musimin berhasil menuntaskan kuliah dan menikah. Dua anak perempuan lainnya bisa berdikari sendiri. Tentu ini berkat sumbangsihnya meski tidak langsung, melainkan lewat tangan-tangan mas dan mbak saya yang telah dibantunya.

Di sudut hati, kami berdoa semoga ia bisa tersenyum karena amalan-amalan yang telah menemaninya di barzah. Di fana, ia tetap memiliki tempat dalam relung terdalam kami. Selamat jalan Sang Penolong ..[]

Jakarta, 21 Januari 2010

Rabu, 20 Januari 2010

Sepupu Tua

Perasaan ini berangkat dengan begitu gelisah. SMS kakak keempat saya mengabarkan, mas sepupu saya saat ini tergolek kritis di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Kami diminta menjenguk, khawatir umurnya tak sampai ketika keluarga Jakarta belum melihat kondisi terakhir.

Karena kesibukan-sebuah alasan klasik- Jumat lalu kami sempatkan berangkat ke Bandung. Ia termasuk orang sukses di lingkungan keluarga besar dari garis bapak. Bapaknya adalah kakak tertua dari bapak saya. Puncak kesuksesannya ketika ia dipercaya menjadi Direktur Operasional Pos dan Giro. Sebelumnya, berbagai jabatan penting di Posgiro pernah dipegangnya.

Ia sangat sederhana, taat ibadah dan peduli dengan keluarga, termasuk pada Pak’le-nya yang tak lain adalah bapak saya. Umur kami sangat jauh dibandingkan dengan mas saya itu. Saat ini ia sudah menginjak 76 tahun. Dengan bapak saya juga terpaut sedikit. Barangkali ketika mbah putri saya hamil berbarengan dengan istri Pak’de tertua saya itu. Makanya, mas saya di Bandung jarang memanggil Le’ pada bapak saya. Mungkin rikuh. Ia sering menjeluknya Pak Musimin.

Bapak terbilang kurang beruntung. Dengan delapan anak, kerja bapak serabutan. Ibu pernah cerita, ketika ia mengandung saya, bapak sedang tidak bekerja. Posisi terakhirnya adalah pegawai di PPTI, sebuah LSM yang mengurusi penyakit tuberkolusa di Indonesia. Dengan gaji sangat minim, bapak dipaksa menyekolahkan delapan anak, dan menyuapi sembilan mulut yang makannya sulit diukur.

Rumah kami begitu sederhana. Lantai masih dipelur berwarna abu-abu . Bahkan, beberapa dinding menggunakan gedek. Kamar pun cuma tiga. Terlalu sumpek dan sempit untuk enam bocah laki-laki yang doyan berlarian. Kondisi ini berjalan cukup lama. Karena tak mampu membangun kamar lagi, bapak memasang kamar darurat di loteng. Kami harus berjibaku dengan kucing dan sesekali tikus yang berseliweran di sudut dipan dari papan bekas.

Dalam tekanan kesederhanaan seperti itu, memaksa mbak perempuan saya bekerja agar ada tongkat estafet berganti . Ibu memang bekerja di pasar, tapi jelas belum memberikan andil apa-apa bagi keperluan pendidikan yang ketika itu sudah mahal. Nah, berkat lobi bapak dan ibu pada mas sepupu saya itu, akhirnya mbak saya berhasil diterima di Posgiro. Mungkin mas sepupu saya  tidak tega juga melihat Le’-nya hidup dalam kekurangan.

Dari sana, kehidupan kami berjalan agak membaik. Beberapa keperluan sekolah tujuh adiknya bisa dibiayai sebagian oleh mbak saya. Mas kedua saya bisa kuliah di APP. Begitu juga dengan mas ketiga yang kuliah di UMS. Tapi biaya dua adiknya yang kuliah terlalu berat untuk ditanggung sendirian. Bapak pun kemudian meminta bantuan lagi pada mas sepupu saya. Kali ini, bapaka dan ibu tidak meminta mas keempat saya bekerja, tetapi agar bisa diterima di diklat Pos. Sama seperti dua mas saya sebelumnya : bisa merasakan gengsinya sebagai mahasiswa.

Beruntung, mas saya bisa diterima dengan nilai cukup memuaskan. Dan, kelak, ia bisa dibanggakan. Prestasinya di kantor terbilang cermerlang, bahkan dibandingkan dengan anak mas sepupu saya sendiri  yang juga bekerja di Posgiro. Karena di asrama, bapak dan ibu tidak lagi memikirkan biaya kuliah. Malah, ia mendapatkan uang saku.

Rupanya tekanan hidup belum juga reda. Meski bebas ongkos kuliah, tapi mbak kelima saya juga harus mendapatkan pekerjaan, karena baru saja lulus SMA. Entah mengapa, bapak-ibu lebih mementingkan anaknya yang laki-laki untuk kuliah. Mungkin karena akan memikul tanggung-jawab terhadap keluarganya nanti.

Lagi-lagi, bapak dan ibu meminta agar mbak saya yang baru lulus SMA itu bisa dibantu. Beruntung, karena kecerdasan dan keuletannya, ia bisa masuk sebagai pegawai tanpa bantuan berarti. Tiga laki-laki lainnya akhirnya bisa kuliah dengan biaya estafet dari mbak-mbak dan mas-mas saya itu. Tentu tak lepas dari peran mas sepupu saya di Bandung itu.

***

Iba saya tak tertahankan ketika mendapati mas sepupu saya yang semula gagah, selalu rapi dan bicara tegas, tiba-tiba menyerah di pembaringan. Wajahnya tirus. Matanya dalam. Tulang pipinya maju hampir-hampir mengalahkan batang hidungnya yang tegak lurus dengan bibirnya yang mengering. Kerut-kerut sekujur tubuhnya melatari  urat-urat hitam yang menyembul saling-silang di tangan, leher, dahi dan kening.

Ia memang masih sadar, meski penyakitnya sudah begitu kronis. Organ-organ penting seperti paru, ginjal dan jantung bekerja di bawah seharusnya. Matanya kosong menatap arah tak jelas. Bukan terhadap tamu tapi  pada langit-langit seolah menatap “masa depan”.

Giginya mengintip dari celah bibir yang retak-retak  ketika menginginkan sesuatu. Jari-jari itu bergerak naik turun di atas bantal yang menopang, menandadakan sebuah hasrat. Gumaman yang keluar dari tenggorokannya yang kerempeng begitu  terbata hingga sulit dimengerti. Bahasa verbal harus berbentuk pertanyaan. Ia akan menggeleng lemah jika tidak, dan mengangguk pelan jika ya.

Tiba-tiba saja air mengalir dari sudut mata saya. Batang leher ini mengeras menahan suara sendat. Sesenggukan saya batasi sampai di dada yang mendadak penuh. Saya sungguh tak tega melihat kondisinya yang begitu kepayahan menahan sakit. Hebatnya,  ia tetap mengenali saya dan mbak-mbak dan mas saya yang diperkenalkan dengan berbisik.

Yang lebih mengagetkan, ia menunjuk-nunjuk saya meminta mendekat hanya untuk menanyakan apakah saya membawa kendaraan sendiri. Saya sampai kini heran mengapa begitu dikenalnya. Padahal, sebagai anak bontot frekuensi pertemuannya sangat minim. Jauh dibandingkan dengan mas dan mbak-mbak saya. Saya juga tidak mengerti mengapa rasa sayang terhadapnya begitu menggebu, justru di saat ia terbaring di kesendiriannya.

Hingg lewat Magrib kami masih di sana. Anaknya meminta kami bertahan karena sebuah kabar yang menyentak. Dokter memperkirakan hanya sampai malam, kakak sepupu saya bisa bertahan. Maka, seluruh anaknya dipanggili, tanpa kecuali. Tekanan darahnya secara mendadak drop ke angka 80/60. Oksigen yang sejak awal menemaninya bernafas sulit diajak masuk ke paru-paru. Infus yang tertancap di pergelangan kirinya seperti digrojok. Hanya dalam setengah jam sudah empat botol ludes. Matanya menutup separuh dengan bola mata yang memutih. Keadaan begitu genting.

Ponakan  yang umurnya jauh di atas saya, sulit membendung tangis. Dua gepok tisu yang saya beli sebelumnya, salah satunya sudah tinggal separuh, habis untuk menyeka air kesedihan. Saya pun larut di dalamnya. Untaian doa dan lantunan ayat-ayat berkumandang dari dalam kamar  yang sesak. Para kerabat, semua tertunduk sambil mengangkat tangan sebatas perut. Ada juga sampai di atas dada. Begitu syahdu. Tegang. Terlebih ketika sang Ustad mendekat, membisikkan kalimat syahadat.

Kami pun  bersiap-siap dengan segala kemungkinan. Setidaknya begitulah sikap kami semua, merujuk pada informasi yang diberikan dokter bahwa mas sepupu saya  sulit bertahan hingga pagi.

Manusia memang makhluk kecil dengan ilmu yang secuil. Semua prediksi dokter terbantahkan. Dalam hitungan menit tiba-tiba tekanan darah mas sepupu saya  melonjak naik ke posisi normal. Kami tentu senang bercampur kaget. Ia bisa tersenyum dan mengenali satu-satu orang yang mengerumuninya di tepian tempat tidur. Kami semua lega meski rasa kekhawatiran ini tetap saja sulit dihapuskan.

Kami serombongan dari Jakarta pun pamit. Kami menciumi pipi dan tangannya. Ia mengangguk. Air mata merembes dari sudut kiri matanya. Ia bahagia masih bisa dijenguk. Hingga cerita ini dibuat, alhamdulillah mas sepupu tua kami masih bisa bertahan. Tegar dan bersemangat  seperti pernah saya mengenalnya dulu. []

Bojong Kulur, 19 Januari 2010

Rabu, 13 Januari 2010

10.1.10

Dengan langkah ringan, pagi ini pukul 09.50 kami keluar dari ruang yang letaknya persis di antara dua lift. Juga, tepat lurus di antara jalan evakuasi yang landai. Sejak Minggu, 10 Januari 2010 pukul 11.01, istri saya tercatat sebagai "tamu" di ruang Amanah kamar 1B.

Secara faktual, kami baru memasuki kamar berkelas I itu pukul 14.30, setelah sebelumnya mampir dulu di ruang observasi seharga Rp 115.000. Ini ruang persinggahan yang tak jelas peruntukannya, setidaknya bagi istri saya. Di ruang sudut lorong tempat kebidanan itu, istri saya sama sekali tidak diberikan apa-apa. Hanya ditensi tekanan darahnya saja. Serta makana siang. Dokter anastesi yang katanya akan dihadirkan ternyata cuma dikabari lewat telpon. Praktis uang Rp 115 .000 itu menjadi mubadzir. Pertanyaannya, mengapa istri saya tidak ditempatkan saja dari awal ke ruangannya. Ini katanya standar bagi pasien yang akan menjalani operasi. Tapi, waktu pelaksanaan operasi masih pukul 19.30.

Kami datang pagi ke RS Haji itupun atas saran perawat karena dokter anastesi jam 12.00 sudah tidak ada. Padahal, dokter hanya menyarankan kami datang pukul 17.00. Betul saja, lewat jam 13.30 saya tanyakan mengapa tidak ada dokter anastesi yang berkunjung? Begitu entengnya, si perawat mengatakan sudah dilapori lewat telepon. Yang membuat gemes, kalau begitu mengapa kami harus berangkat pagi-pagi!!!

Kami pun tak protes dan tetap tenang. Berfikir positif. Sekuat mungkin menahan amarah, apalagi istri akan menjalani operasi syrodkart. Jenis operasi yang tanpa harus membelah perut meski organ yang dijahit adalah rahim agar bayi kami yang berumur 13 minggu tidak cepat-cepat keluar. Ketenangan batin dalam menjalani operasi 10 menit-perkiraan  dokter-dapat berjalan lancar.

Benar kata orang, mengendalikan diri teramat berat. Apalagi kami kemudian dihadapkan kenyataan bahwa benang operasi Marsilem 05/I yang mestinya disediakan pihak rumah sakit tidak tersedia. Dengan ringannya perawat bilang, "Pak, benangnya tidak ada."

"Lho, kemarin perawat di sini bilang ada," saya mempertegas.
"Kita cek lagi tadi ternyata tidak ada," ia membela.

Kami pun disodori secarik resep yang kemarin juga sudah diberikan dokter. Dokter sudah menduga benang khusus ini jarang di stok di ruang operasi, makanya saya diberikan resep sebagai jaga-jaga.

"Kalau kasih informasi yang bener, Sus. Mestinya saya bisa cari kemarin," nada saya mulai mengeras.
"Maaf, Pak."

Ya, sudah... karena ia meminta maaf, saya urung berdebat lebih lanjut. Toh juga tak menyelesaikan masalah. Istri saya harus mendapatkan benang operasi yang dibutuhkan. Saya tanya di apotik bawah ternyata juga tidak ada. Untuk menghemat waktu kami mencari lewat internet dan menghubungi apotik-apotik besar di Jakarta lewat telepon. Juga rumah sakit umum dan bersalin.

Beberapa apotik 24 jam yang biasanya lengkap juga tidak ada, seperti di Apotik Titi Murni dan juga Apotik Rini. Apotik K 24 yang berjaringan sama saja. Bagian farmasi di rumah sakit Hermina, Harapan Bunda, RS Cipto, juga Medistra mengaku tidak ada stok. Ibu mertua juga mencarikan tapi menjelang jam 14.00 mengabari hal yang sama. Kami mulai panik. Kami heran, mengapa mencari benang dibebankan ke pasien? Kalau memang tidak ada toh bisa diinformasikan dari awal.

Tapi, untungnya pihak RS segera mengabari bahwa benang dimaksud baru bisa datang menjelang Magrib. Kami diminta tidak usah mencari dan tenang. Kami tidak langsung percaya dan tetap menawarkan untuk "membantu" mencari meski semestinya itu bagian dari kewajiban rumah sakit yang seharusnya memiliki koneksi lebih luas ketimbang pasien.

Benang ini terbilang istimewa karena ia tidak melebur menjadi daging seperti umumnya benang-benang operasi biasa. Mengapa? karena suatu saat, ketika si bayi keluar benang ini bisa dilepas lagi. Wujudnya sama seketika benang ini disulam di tubuh. Yang membuat benang ini jarang ditemui karena umur pakainya yang terbatas. Harganya pun Rp 600.000. Apotik tidak ada yang berani stok karena kalau tidak terpakai sulit dikembalikan.

Istri akhinya dipindahkan juga ke kamar seharga Rp 357.000 itu. Jam 18.00 istri saya mulai gelisah, kok jam segitu belum dipanggil untuk persiapan operasi. Saya tanyakan ke susternya, katanya persiapan khusus tidak ada, kecuali puasa enam jam, sejak jam 12 tadi. Tapi, jam 19.05 belum juga dipanggil. Saya segera menayakan apakah sesuai operasi sesuai jadwal? ditegaskan bahwa dokter dalam perjalanan dan pada waktunya dipanggil.

Selang lima menit, suster ruangan membawa kursi dorong, dan mengajak ke ruang pra-operasi. Tak ada persiapan apapun di sana. Petugas medik operasi sempat keheranan mengapa tidak ada infus yang tertancap di tangan kiri istri saya. Dokter yang datang pukul 19.20 juga sempat bertanya mengapa infus tidak diberikan sejak di ruangan. Kelihatannya memang tidak ada koordinasi. Perdebatan kecil terjadi di antara mereka sendiri. Saya memilih diam, berkonsentrasi menjaga ketengan istri saya.

Jam 20.10 operasi seharga RRp 3,45 juta itu alhamduillah berjalan lancar. Dan 20 menit kemudian bisa dipindahkan dari ruang  pemulihan. Kami lega. Selama tiga hari di RS semua juga berjalan baik, untuk istri saya maupun bayinya. Rencana pulang tertunda hingga satu jam, karena konfirmasi bagian kasir soal invoice senilai Rp 6,4 juta dari asuransi Global begitu lambat. Kami sudah berulangkali memintanya agar dipercepat karena Vito rewel setelah tiga hari ini mengeluh sakit perut, meski Senin-nya sudah ke dokter Ismail.

Kami pulang dengan kelelahan karena saya juga kurang tidur. Istri masih bedrest sampai tanggal 27 Januari nanti, dan Vito badannya masih panas. Tapi kami lega bisa melewati ini semua dengan lancar. Alhamduillah yang Allah. Engkau berikan semua kemudahan....[]

Jakarta, 13 Januari 2010

Senin, 11 Januari 2010

Apa Enaknya Jadi Koruptor? Enaklah...

Saya selalu membayangkan sebagai seorang koruptor. Tapi tidak ingin "mengampak" uang rakyatnya China karena sanksi di sana berat : sampai dihukum mati. Apalagi di Amerika, karena sistemnya yang canggih, sehingga  orang bodoh seperti saya yang bisanya cuma menjilat-jilat sehingga begitu terhormat menjadi penjahat berkerah akan mudah terjerat.


Saya juga tidak ingin ah, merampok anggaran negara punya Singapura yang mesti banyak melindungi
koruptor-koruptor dari sini, tapi kalau ada warganya yang mencoleng maka tak ada ampun.

Saya sama sekali tak berfikir untuk berbuat jahat di Jepang. Gila, di sana orang harus rela bunuh diri jika terbukti menyelingkuhi rakyat. Hidup ini enak, mana rela saya mati demi rakyat yang mestinya mengabdi pada saya. Lagi pula, saya mencuri uang mereka bukan untuk mati, tapi untuk hidup. Jepang,...noway.

Saya juga yakin kalau  bermain-main dengan hasil pajak orang-orang Itali, akan bernasib seperti PM Italia Silvio Berlusconi yang "hanya" gara-gara melacur, dipukuli orang. Nasib koruptor mungkin bisa tragis seperti para mavioso-maviosonya.  Bisa-bisa dibunuh di pinggir jalan.  Padahal, bahaya bermain perempuan tidak ada apa-apanya dibandingkan mencuri uang rakyat.

Rasanya Indonesia adalah tempat paling cocok untuk mengeruk keuntungan dari tipu-tipu uang rakyat. Di sini, hukum masih mungkin dijungkir-balikan. Mafia hukum toh bisa membantu. Kasus bisa dibelok-belokkan agar tuduhan berbalik arah, kalau ada orang yang coba-coba menyudutkan saya. Pasang saja pasal "Pencemaran Nama Baik".

Oknum penegak hukum di sini sudah tak lagi tegak. Bukan terhadap korps mereka mengabdi, tapi pada saya, tentu saja bukan diri saya tapi uang saya. Uang adalah energi terbesar yang pernah diciptakan manusia. Ia bahkan bisa menggerakkan hati nurani yang begitu tersembunyi. Begitu besarnya energi uang, sampai-sampai seluruh negara ini bisa digoyang.

Meski bertenaga besar, cara bekerja uang begitu lembut. Keluarga tidak akan tahu, apalagi masyarakat. Tuhan saja bisa "dibohongi". Lihatlah berapa banyak sumpah di pengadilan itu dikumandangkan. Berapa banyak kitab suci diusung-usung di atas kepala. Tapi, usai itu ya maksiat lagi. Uang, memang energi luar biasa. Lembut sekaligus perkasa.

Saya sama sekali tidak pernah khawatir jika toh harus dijadikan terdakwa. Para saksi bisa diatur. Pasal-pasal tuduhan akan saya pilih sesuai keinginan, tentu yang meringankan. Apa bisa? bisalah, wong saya punya uang kok. Saya ini pendendam, jadi yang melaporkan saya akan saya jebloskan juga. Gimana caranya? kan sudah saya bilang saya ini koruptor, uang bukan masalah.

Satu-satunya musuh saya cuma media. Kalau bukan karena mereka, mungkin saya bisa hidup berlimang korupsi dengan nyaman. Agar hasil  curian tidak menguap, saya akan turunkan ilmu dan harta saya pada anak-anak turunan saya kelak. Tidak malu? alaaah, apa masih ada budaya malu di sini. Semua orang terlalu sibuk dengan diri sendiri. Lagi pula orang hanya bisa dihargai kalau kaya. Jangan pernah bermimpi orang akan membungkuk kalau kita masih kere.

Media, lagi-lagi media. Lewat beritanya mereka membentuk opini yang menyudutkan saya. Bagaimana menyingkirkan mereka? beberapa saya akui bisa disumpal dengan amplop, tapi itu minoritas. Kalau kasus sudah terlalu besar begini, tidak akan mempan. Kekuatan masyarakat sipil sudah makin membesar. Dorongan masyarakat ditambah pemberitaan media seperti ini saya akan sulit berkutik.

Para oknum akan juga sulit bergerak. Sial, mengapa harus ada media dan kekuatan masyarakat sih??

Tenang, tenang....saya harus tenang. Kalau saya akhirnya dipenjara, saya toh masih bisa mengendalikan bisnis dari dalam. Saya percaya tidak semua mental para penegak hukum itu baik. Pasti ada saja oknum yang masih silau uang saya. Kalau saya dipenjara, saya bisa membangun kamar sekelas hotel bintang lima. Ber-AC pasti. Ruang penerima tamu, meja kerja, tempat rapat, ruang santai yang ada tivi LCD, karaoke, akses telpon dan internet pribadi. Tempat tidur juga spring bed. Kalau saya butuh perempuan bisa lebih nyaman. Kalau pingin ke dokter, ke salon biar tetap jaga wibawa tinggal panggil dokter atau perias. Jika bosan di dalam penjara ke luar saja jalan-jalan, dengan alasan ke dokter, sakit. Pasti bisa asal ada fulus.

Saya juga perlu memulihkan citra. Maka akan saya bangun beberapa fasilitas di LP yang bisa membantu para napi lain mengembangkan bakat. Juga sedikit dana operasional untuk  LP  yang sering tersendat karena anggaran dari negara yang terbatas. Kalau sudah begitu, urusan saya pasti akan lancar. Malah bisa-bisa saya dapat remisi besar karena dianggap sudah berjasa. Saya yakin tidak akan lama dipenjara. Para koruptor sebelumnya juga begitu. Bergelimang kemewahan di dalam penjara. Selama ada uang tidak ada yang sengsara. Kalau bebas, saya bisa meneruskan kebiasaan saya, ya korupsi lagi. Ya, menjilat-jilat lagi. Kalau tertangkap lagi, ya nyogok lagi.

"Ayahhh,.....banguuuuun...anter aku sekolah," anak saya teriak persis  di kuping kiri, memulihkan kesadaran. Saya menghela kantuk, mengucap syukur terjaga dari mimpi buruk. Teramat buruk.  Astagfirullah...[]

Jakarta, 12 Januari 2010

Kami Rindu

Ada yang membedakan di ruang setengah lengkung bercat hijau itu. Berlampu terang, berbau khas, serta boks-boks mungil terjejer rapi.  Menempel di dinding samping kanan, dua kotak kaca dengan sepasang lubang berdiamter sejengkal di masing-masing sisinya  terlihat dipasangi beberapa alat. Lampu sorot memijar di dalam, persis seperti akuarium. Suara-suara dari ruang itu mendominasi kamar-kamar kubik yang mengelilinginya.

Saya sering kali tertegun tiap melewati ruang di lantai dua itu. Badan selalu terpanggil singgah, untuk sekedar melihat-lihat. Wajah polosnya. Kulit bersihnya. Suaranya... Ya, suaranya sangat menentaramkan.  Bagi saya tak ada suara semerdu yang dikeluarkan bayi-bayi merah itu. Bahasa tunggal yang diciptakan Allah agar manusia dewasa mudah mengerti.

Lewat tangisan ia meminta. Lewat tangisan ia menolak. Tapi dengan tawa kita mendengar. Kita bergembira di tengah tangisannya. Belum ada senyum, apalagi tawa yang diberikan. Tapi dengan tabah kita menanti tangisnya untuk kemudian kembali berlinang sukacita. Sampai ia tertidur, kita tetap berharap besok akan ada tangis lagi. Tersenyum lagi...

Sudah lima tahun lebih saya tidak lagi mendengar suara-suara itu. Saya betul-betul rindu bisa mendapati ada suara tangis di  kelelapan saya. Bisa terjaga malam ketika ia minta digantikan popok. Menggantikan bedong yang kuyup oleh pipisnya. Atau saya ingin sekali melumurinya minyak telon dan membalurinya bedak kalau kedinginan. Membedonginya lagi.  Saya sungguh ingin menikmati berdua saja dengannya. Bundanya, biarlah beristirahat. Menyelesaikan tidurnya yang tak sempurna.

Keinginan ini makin menggebu ketika sepanjang tiga hari ini diberikan "kesempatan" untuk terus melihat bayi-bayi mungil itu. Sebelumnya, hanya sebulan sekali saya bisa meliwati ruang setegah kubah itu, ketika harus mengantarkan istri kontrol ke dokter untuk memeriksa kehamilan yang memasuki minggu keempat belas.

Sejak Minggu, istri saya menginap di Rumah Sakit Haji karena harus menjalani operasi ikat rahim. Keputusan ini dibuat setelah sehari sebelumnya kontrol dengan dokter muda Reino Rambe. Kami terpukul ketika mendapati kenyataan jalan rahim istri saya sudah terbuka. Kalau tidak ditangani segera tak kurang dari 16 minggu anak kedua saya itu akan keluar dari perut bundanya. Tentu saja kami tak ingin hal ini terjadi. Apalagi, tingkat kegagalan jika kasus semacam ini dibiarkan mencapai 90 persen. Secara awam ini yang sering disebut sebagai kandungan lemah.

Kami sampai sekarang belum mendapat jawaban kenapa pintu rahim itu bisa terbuka sebelum waktunya. Karena kelelahan setelah seminggu sebelumnya liburan akhir pekan di Lembang? belum tentu. Atau istri saya nekat berendam di air panas di Ciater yang dilarang bagi ibu Hamil? belum tentu. Atau, ini yang lebih misteri lagi : istri saya seringkali mengutarakan keinginannya agar bayi ini cepat keluar. Alasannya, sudah ingin segera melihat Adek agar bisa  mengurusinya dan cuti tiga bulan di kantor. Apa karena itu? ah, saya tidak tahu. Tapi, sejak kejadian ini, ia instrospeksi mengungkapkan keinginannya itu.

Dokter yang menangani hanya mengatakan, terbukanya jalan bayi itu bisa karena bakteri atau faktor lainnya yang sifatnya sangat individual. Berbeda-beda kasus pada tiap ibu hamil. Saat ini kami masih menanti pemulihan pasca operasi. Dan, tetap berdoa agar semua berjalan lancar. Kembali bisa mendengar tangis bayi, apalagi dari darah sendiri.  Bisa menggantikan popoknya. Melumurinnya minyak telon dan membalurinya bedak. Membedonginya lagi. Bundanya, biarlah menyelesaikan tidurnya yang tak sempurna seharian ini.

Nak, sehat ya..Bunda, Ayah dan Masmu Vito sudah menunggu. Kami rindu....[]

RS Haji, 12 Januari 2010

Jumat, 08 Januari 2010

Cerita Cinta (II)

Malam itu aku sulit sekali tidur. Mata seolah berseteru dengan kantuk yang menyerang. Sudah beberapa kali mulutku terbuka lebar tak terkendali, mengeluarkan suara-suara pengajak tidur. Tapi, pikiran ini bersekutu dengan mata, terus memikirkan arti perkataannya di gerbang rumahnya sebelum aku pulang.

"Kalau udah sampe telpon aku ya..."

Kalimat ini bagai mantra yang membiusku sepanjang malam. Badanku ikut-ikutan gelisah. Rasanya tidak ada posisi yang pas untuk rebahan di kasur. Sebentar hadap kiri, semenit kemudian hadap kanan. Persis Paskibra yang sedang belajar baris. Guling yang kubelit membuat ruangan tambah sesak, maka sesekali aku lempar. Namun, sejenak aku tarik lagi menutupi tubuhku yang kini terlentang menutupi remang lampu Philip yang memijar tepat di atas mukaku.

Suhu tubuhku berfluktuasi. Panas yang kurasakan bukan benar-benar panas. Kipas mini di sudut kiri kakiku bukannya menimbulkan sejuk malah membuat bising. Dingin...tiba-tiba saja sekujurku mengigil. Ku tarik sarung yang masih tersampir di kursi belajar, yang biasa kugunakan untuk sholat. Di kegelapan itu, mataku mengerjap-ngerjap masih terngiang apa yang dikatakannya tiga jam lalu.

"Kalau udah sampe telpon aku ya..."

Ah, mengapa kau mengatakan itu sih....

***

Ini hari Selasa. Mestinya siang nanti aku ketemu dosen pembimbing. Skripsiku telah memasuki Bab II. Ada beberapa materi yang perlu aku perbaiki. Dosenku ini terkenal tegas. Di awal aku mengajukan proposal sudah dua kali dipaksa revisi. Bukan soal tema yang aku angkat, tapi persoalan judul. Ia menganggap apa yang aku usulkan belum mencerminkan isi skripsi. Hipotesis yang sudah kubuat seminggu suntuk juga dibongkar-bongkar.

Kami adalah keluarga sederhana. Untuk membuat selembar hasil skripsi, bukan perkarga gampang. Banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Komputer adalah barang mewah buat kami. Hanya mesin ketik Brother yang masih tersisa peninggalan bapak. Itupun hurup A-nya sering macet. X-nya harus berulang kali ditekan agar mau bekerja. Tab-nya apalagi, loncat-loncat  semaunya sendiri. Lagi pula, sudah tidak jaman menggunakan mesin tik. Bukan persoalan malu, karena tidak efisien saja untuk bekerja. Untuk membuat rata kanan tulisan saja ada rumus-rumus yang bikin kepala mumet.

Ada tiga tempat yang biasa aku singgahi selama pengerjaan skripsi. Rental, rumah teman dan di Gedung DPD Golkar DKI  di Cikini. Jangan buru-buru menuduh ya. Aku ini bukan anak kampus yang berpolitik lho. Aku adalah anggota dari paduan suara yang juga tak berafiliasi dengan Golkar. Cuma kebetulan pembinanya adalah seorang Golkar yang dulu dikenal bagian dari anggota pelawak dan grup musik Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Salah satu yang ngetop adalah lagu "Fatimah"

Di ruang tempat kami biasa  latihan ada sebuah komputer operasional, agak kuno memang tapi masih cukup baik untuk digunakan. Untuk memudahkan aku mengerjakan tugas, teman-teman dengan senang hati memberiku kunci. Jadi kapanpun aku bisa mengunjungi. Tapi, karena jaraknya yang lumayan, aku jarang juga ke sana sendiri. Kecuali, usai kami latihan atau sebelum berlatih suara.

Pilihan pertama, biasanya aku ke Sunter. Temanku lain jurusan yang juga sedang ambil skripsi. Ibunya bekerja di Astra dan bapaknya wiraswasta. Rumahnya cukup mentereng di antara gang sempit dengan rumah berjejal. Selepas makan siang, aku biasa mengayuh sepeda ke rumahnya. Jaraknya hanya lima kiloan. Cukup membuat keringat. Tapi langsung terbayar jika sudah sampai di sana. Tempat tinggalnya sejuk dan luas. Yang terpenting, komputernya baik, jarang sekali rewel. 

Repotnya, ia sering tidak di rumah. Jadwal kuliah kami yang memang beda menjadi kendala sendiri. Aku yang sering menyesuaikan kegiatannya, mulai dari olah-raga, melancong sampai pengajian. Aku sering mengingatkan agar beberapanya dikurangi, tapi ia bergeming. Setahuku, skripsi dia akhirnya benar-benar tertunda. Akupun tak tahu sampai kapan pengerjaan akhir itu diselesaikan. Saat wisudah aku tak menemuinya.

Kalau sudah kepepet, aku ya terpaksa ke rental terdekat. Biayanya cukup lumayan Rp 500 per lembar. Belum lagi biaya sewa rentalnya. Aku tentu tak ingin membebani kakak-kakakku yang telah bersusah membiayai aku kuliah. Sepanjang aku kuliah hingga lulus tak satupun mata-kuliah yang aku ulang, meski mendapat nilai C. Berbeda dengan kebanyakan mahasiswa yang begitu mudah meminta dana tambahan untuk mengulang mata kuliah agar bisa memperbaiki nilai. Entalah ini kelebihan atau kekurangan. Cuma satu prinsipku : tak ingin memberatkan keluarga.

***

Aku kemrungsung memasuki lantai tiga. Anak tangga aku lompati dua-dua, agar cepat sampai. Sepuluh menit lagi, dosen pembimbingku masuk kelas. Ia harus terkejar. Batak satu ini memang terkenal ontime. Besok ia akan keluar kota hingga seminggu. Menunggunya usai kelas hampir tak mungkin. Kalau ia bilang sebelum mengajar mustahil ditawar.
 
"Si-siang, Pak.." sapaku sambil mengetuk pintu yang terbuka separuh.
"SIANG."
"Ini revisi yang Bapak minta minggu lalu," aku menyodorkan map berjepit.
"Taruh situ."

Mulutnya terkunci. Hanya tangannya saja yang bergerak, membolak-balik sebentar lembaran-lembaran yang aku buat dengan kepayahan. Kursi tempat duduku tiba-tiba seperti berpaku. Menusuk-nusuk  pantatku. Aku berjingkat sejenak lalu duduk lagi. Berjingkat lagi, kemudian duduk lagi. Kugeser-geser pelan tempat duduk besi hitam itu. Tetap saja tak nyaman. Dosenku melihat kegelisahanku. Keringat yang mengalir sejak aku masuk belum sempat aku seka.

"Tuh tisu, elap dulu keringatmu," suara beratnya memecah ketegangan.
"Ma-makasih Pak," aku berbasa-basi.

Sedetik kemudian kepalanya kembali tenggelam dalam kertas folio A4 yang terjereng di depan wajahnya. Sekali-dua, ia mengintaiku dari balik bingkai kacamatanya yang melorot dari batang hidung. Aku makin tegang. Jariku rapat mencengkram satu sama lain. Ia menurunkan kertas yang sejak hampir sepeluh menit lalu menutupinya. Sebuah pulpen Parker tertancap di samping telepon. Diambilnya dengan pelan. Matiiii, revisi lagi dah...

"Kamu kalau ngetik hati-hati.Banyak salah gini. Tanda baca juga harus bener. Biar enak orang yang bacanya. Sudah, lanjutkan," tangannya sambil melingkari beberapa tulisan dan tanda baca yang dianggapnya kurang tepat.

Tubuhku seperti diguyur air seember. Luar biasa segar. Penatku hilang dalam hitungan detik. Keringat yang belum terseka, tiba-tiba menguap. Tak berpikir lama, aku sorongkan tangan kananku. Ia meraih dengan hangat.

"Kalau kesini lagi langsung saja dua bab," katanya tanpa ragu.
"Gak papa, Pak?" aku kurang yakin.
"Bagus kok."

Baru kali ini aku melihat senyumnya yang mahal.Sebelum pikirannya berubah, aku buru-buru pamit meninggalkannya, yang terlihat begitu tergesa mempersiapkan kelas Akuntasi Manajemen di ruang 3-4.

Sepanjang lorong kampus, senyumku mengembang. Tiba-tiba saja aku begitu ramah pada setiap orang. Siapa pun aku lempari senyum. Tak peduli dibalas atau tidak. Mungkin dikira aku sedang stress.  Kaki ini seperti diberi per, mudah sekali mentul-mentul.

Hmm, nasib baik kali ini sedang memihakku. Apalagi bila mengingat kata-katanya "Kalau udah sampe telpon aku ya...", kenangan pertama saat berhasil mengantarkannya pulang. Ah, amboi....

Sepotong kalimat yang memberikanku energi luar biasa. Padahal, respon yang diberikannya ketika aku menelpon balik saat sampai dari rumah, ia terdengar biasa saja. Hanya mengatakan, "Syukur deh kalo gitu."

Aku memang mati bahasa ketika itu. Bingung ingin menerusan topik berikutnya. Lagipula waktu sudah malam, tak pantas berlama-lama ditelepon. Aku masih terpana dengan misteri kata-katanya "Kalau udah sampe telpon aku ya..."

Ini pertanda apa? apakah sebuah kepedulian? iba? atau sekedar basa-basi. Aku tetap berbesar hati. Wanita biasanya kalau sudah tak suka, maka jangankan ingin diantar, didekati saja pasti enggan. Tapi ini, bukan saja aku bisa mengantarkannya, tapi ia begitu peduli padaku.  "Kalau udah sampe telpon aku ya...",  benar-benar kalimat bersayap yang membuatku pening.

Sholat Dhuhur hampir habis, aku mempercepat langkah meloroti tangga dua-dua, menuju masjid di sudut belakang kampus. Jantungku derdentum-dentum, pertanda ada yang tak beres. Perasaanku memberi isyarat ada sesuatu di depan sana.

Benar!! Ia,...yang kemarin aku antar, terlihat begitu akrab dengan teman karibku yang juga sainganku. Dengan dandanan necis : bertopi pet merah ala Pak Tino Sidin, kalung perak berkilat, anting bermata batu hitam di kiri dan juga jam sebesar jengkol, ia berusaha mencari simpati. Derai tawa terdengar dari balik pintu. Aku urung melewatinya, memilih jalan lain ke mesjid.

Aku kalah saingan. Hatiku remuk...(bersambung)

Kamis, 07 Januari 2010

Berhati-hati Dahulu, Sesal Kemudian

Angka inflasi sepanjang 2009 mencatatkan rekor baik. Selama setahun ini tekanan harga-harga dalam keranjang indeks bisa menyentuh level rendah di 2,78 persen, jauh di bawah pekiraan pemerintah. Pencapaian ini tentu saja sia-sia jika langkah kebijakan berikutnya tidak diikuti. Inflasi yang melandai ini sejatinya merupakan sinyal ekonomi yang memulih. Salah tafsir justru membuatnya berbalik arah.

Barangkali ini pula yang membuat kita  bertanya mengapa Bank Indonesia mempertahankan BI Rate berada di level 6,5 persen. Karena kalau dilihat dari apa yang dicapai itu, mestinya peluang menurunkan bunga acuan  sangat terbuka. Nyatanya hal itu urung dilakukan.  Padahal, momentum untuk menurunkan bunga saat ini sangat pas di tengah situasi inflasi yang sudah terkendali.

Paling tidak, suku bunga seharusna bisa ditekan lagi di tingkatan 6,25 persen. Dengan begitu bank bisa mengikuti langkah BI  dengan mengerek turun bunga kreditnya. Kita bisa menduga kebijakan BI Rate yang tetap itu karena masih relevan untuk mengejar inflasi sepanjang 2010 di kisaran 5 persen plus minus 1 persen. Namun pertanyaannya, apakah ini merupakan sinyal bahwa inflasi ke depan akan tinggi?
Bisa saja demikian, sebab BI Rate bisa dibaca sebagai ekspektasi inflasi.


Dengan begitu justru bank akan menahan bunganya kembali. Jika memang begitu, pertanyaan selanjutnya apakah BI Rate 6,5 persen sejalan dengan upaya BI sendiri yang menginginkan agar bunga kredit bisa digenjot ke arah 15-20 persen, sebuah angka yang cukup diandalkan guna merangsang sektor riil bergerak.

Yang mengkhawatirkan saat ini, bank sendiri tersandera oleh tingkah debitur yang menahan langkah untuk mengajukan atau menarik kredit baru. Bayangkan, tahun lalu saja kredit yang tak ditarik alias undisbursed loan  mencapai Rp 270-280 trilyun!!

Tentu saja banyak penyebabnya. Bisa karena situasi yang belum menentu atau bunga kredit yang masih dianggap terlalu tinggi karena berada di kisaran 13-15 persen. Memang, BI tengah mempersiapkan sejumlah jurus agar bank bisa mendongkrak kreditnya. Sejauh ini, kebijakan itu masih digodok di dapur BI.
Salah satunya adalah penerapan insentif dan disinsentif terhadap Giro Wajib Minimum (GWM). Kebijakan ini pernah diterapkan, tetapi dihapus dua tahun lalu. Nantinya, bank dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) atau rasio kredit terhadap dana tinggi akan dikenakan GWM yang rendah. Juga sebaliknya. Bank akan lebih senang dikenakan GWM rendah, karena dengan begitu akan banyak dana yang bisa diputar untuk mencari keuntungan ketimbang harus dieramkan di BI.

Namun, pertanyaan pentingnya tetap berada di tingkat debitur. Kalau mereka merasa bunga kredit yang ditawarkan terlalu tinggi, mengapa tidak langsung menyasar saja ke inti persoalan. Bank harus dipaksa agar bisa kembali menurunkan bunga kreditnya. Sebab, kalau dibiarkan melemah tentu saja sasaran ekonomi menjadi taruhannya. Saat ini pertumbuhan kredit hanya 10,6 persen, jauh dari pencapain tahun 2008 yang mencapai 30 persen. Toh, BI Rate sebenarnya masih memiliki pelung untuk turun. Kalau memang khawatir, terapkan kebijakan ini paling tidak untuk triwulan I 2010. Sebagai sinyal awal kondisi memang sedang membaik. Yang ditakutkan kita akan kehilangan momentum, dan menyesal di kemudian hari.

Lebih jauh lagi, apa yang dikhawatirkan soal membanjirnya produk China ke dalam negeri setelah diberlakukannya AFTA Asean-China bisa makin menjadi. Kok bisa? begini dengan bunga yang seperti ini, peluang terjadinya hot money makin tinggi. Padahal, saat ini nilai tukar rupiah sudah dianggap over value. Kalau hot money kian memblduk rupiah akan makin menguat.

Importir seperti diberi insentif karena belanja barang tentu lebih murah. Maka, industri dalam negeri makin merana dan makin sulit bersaing dengan produk-produk dari China. Dari kacamata konsumen tentu lain. Mereka akan senang-senang saja mendapat dana barang murah. Tapi dalam jangka panjang, produk dalam negeri makin hancur dan bakal terjadi deindustrialisasi. Jutaan orang akan kehilangan pekerjaan. Kalau sudah begitu, apakah tingkat kemiskinan tidak bertambah naik.


Bisa-bisa Indonesia hanya akan menjadi ladang pasar, yang terjajah tanpa bisa mengembangkan hasil karya bangsanya sendiri.  []


Bojong Kulur, 7 Januari 2009

Selasa, 05 Januari 2010

Satu Malam di Nirwana

 Liburan Awal Tahun 2010 (bag 5-habis)

Roda saya arahkan menuju Subang. Kami benar-benar kapok melewati Bandung jika harus pulang ke Jakarta. Saat kami berangkat Jumat, rayapan kendaran bukan dari bawah saja. Tetapi dari atas menuju Bandung juga sama. Agar aman, kami memutuskan balik melalui Subang.

Laju kendaraan saya jaga betul. Memastikan kepala tetap bekerja nyaman, juga supaya motel atau tempat penginapan bisa terpantau. Hingga menjelang magrib, tidak satupun tempat yang cocok. Kalau ada pasti harganya selangit, seperti di Sindang Reret atau Hotel Sari Ater yang ratenya saja Rp 998 ribu ++. Yang murah juga banyak, tapi pasti tidak nyaman. Tahun lalu kami pernah menginap di sekitar Ciater. Kami dapat dari para calo pinggir jalan, yang selalu memampangkan papan "Villa" di tangan.

Kepala ini seperti retak. Pusingnya sulit lagi tertahankan. Saya harus segera istirahat. Apalagi Vito batuknya mulai nyeprus lagi setelah beberapa hari ini sempat terhenti. Doa saya terpenuhi. Satu kilo dari Sindang Reret, ada sebuah baliho besar bertuliskan Nirwana. Kami langsung belok kiri. Namun, kesan pertama sudah tak enak. Jalan yang terjal dan rusak berlubang. Gedung utama juga terlihat kusam, dengan rumput dan pohon yang dibiarkan tumbuh liar. Lahannya cukup luas. Ada tempat outbond, kolam pemancingan, ATV, restoran juga agrowisata. Tapi entah mengapa, dengan fasilitas begitu lengkap tamu terlihat sepi. Hanya ada beberapa mobil terparkir di tepian kolam pemancingan.

Dua bungalow bertema alam yang terbuat dari kayu berdiri di atas bukit.  Cuma, karena penataan taman yang kurang apik, justru terasa aneh dan kumuh. Agrowisata yang menjadi sajian utama resort ini  dibiarkan teronggok rusak. Ruang penginapan pribadi memang tak banyak, paling-paling lima kamar. Selebihnya adalah barak besar yang bisa menampung tamu hingga 200 orang. Kelebihan kamar di tempat ini adalah dua tempat tidur ranjang tunggal berukuran 180x200. Cukup untuk dua keluarga. Air panasnya cukup mencos, berbeda dengan Villa De' Rossa yang airnya seemprit dan panas yang tak konsisten. Harganya Rp 400 ribu permalam. Kalau hari biasa malah cuma Rp 288 ribu. Kami memilih tempat ini cuma karena satu alasan : bisa pakai kartu kredit.

Menjelang isya, pusing ini makin menjadi. Kami tidak melancong kemana-mana. Keluar sebentar cari ganjalan perut. Dalam kondisi "tertekan" seperti ini, agak sulit berburu tempat makanan. Hanya ada warung besar, lagi-lagi bermerek Brebes. Kami sebenarnya ogah, tapi karena tuntutan kondisi, akhirnya mampir juga. Benar saja, rasa yang disajikan jauh dari enak. Sayur asem yang lebih cocok dibilang sayur manis. Ayam bakar kelewat gosong. Dan juga nasi tembil lengkap yang tak sesuai dengan harga yang dibandrol Rp 30 ribu hanya untuk sepaha goreng ayam, tahu-tempe dan jambal asin sebesar jempol. Kami kecewa berat karena malam itu harus mengeluarkan makan malam Rp 81 ribu untuk rasa yang justru menganggu lidah dan selera. Saya heran mengapa tempat ini bisa begitu ramai.

Sampai di hotel saya  minum Panadol dan langsung menubruk kasur. Tarik selimut dan peluk guling. Dingin udara Lembang malam itu terasa lebih ganas. Sampai-sampai kepala pun ditutupi batal dan selimut. Tak ada kegiatan malam itu...Vito dan istri juga kelihatannya lelap terlalu awal dari biasanya.

***

Saya bangun lebih pagi dari mereka. Badan jauh terasa lebih bugar. Penyakit kepala yang menyerang kemarin sudah benar-benar hilang. Rasa sakit yang menusuk, cukup bisa diobati dengan istirahat total. Mungkin masuk angin karena kelelahan. Tahun baru pada Kamis malam,  kami rayakan hanya di rumah dengan keluarga dari Pondok Gede. Setelah berkelililing sebentar di sekitar Cibubur, kami balik, membuat keramaian sendiri hingga hampir pukul 2 dini hari. Besoknya harus berangkat ke Bandung.

Kami memutuskan untuk tidak berlama di Nirwana. Ini hari minggu, jadi jangan sampai besoknya kelelahan karena harus masuk kantor. Apalagi ini adalah arus balik, banyak  wislok yang pulang ke Jakarta dan sekitarnya. Sebelumnya kami ingin terlebih dulu menghilangkan pegal-pegal,  merendam badan di Ciater. Walau check out dari Nirwana sudah terbilang pagi, sampai di Ciater sudah sesak. Manusia terlihat memenuhi tiap sudut lapangan. Tepian kali air hangat itu sudah dijejali orang yang berkecupak, mandi dengan pakaian seadanya. Untuk bergerak saja sulit, apalagi nyemplung ke kali. Tempat bilasan lebih rusuh lagi. Antrian mengular dan sulit diatur.

Tempat yang paling baik barangkali kolam berbayar. Paling tidak, bisa berendam lebih nyaman dan tempat bilasan juga pasti bersih. Tiket masuk untuk kolam kelas dua yang kami masuki Rp 20 ribu per orang. Cukup sepi dan bersih. Saya baca seksama petunjuk perendaman. Sebab, ada peringatan keras bagi orang yang berpenyakit darah tinggi, diabetes, jantung dan manula. Juga terhadap ibu hamil. Bagi kategori ini air hangat  yang bersuhu 45 derajat dengan tingkat keasaman 2,5 tidak mudah bisa diterima. Kalau dipaksakan maka muncul gejala mual, pusing, lemas sebelum akhirnya pingsan.

Saya sembilan bulan lalu memang telah divonis kena diabetes. Tapi sejak lima bulan alhamdulillah sudah lepas obat dan terapi olahrga juga makanan. Jadi mestinya tidak masalah untuk berendam. Dugaan saya salah. Baru berendam lima belas menit badan sudah melayang. Merasakan gejala aneh ini saya segera berhenti dan istirahat sambil minum teh panas pahit. Saya sampai sekarang masih bingung mengapa ini terjadi padahal rendaham hanya separuh perut, selebihnya saya guyur dengan gayung yang disediakan.

Kami pun tidak berlama di pemandian, karena istri saya yang begitu menikmati air hangat alamai itu juga tidak bisa berlama karena sedang mengandung. Lepas Dhuhur kami balik ke Jakarta. Kondisi jalan relatif lancar tapi harus diakui memang lebih jauh. Kami tak sempat membeli oleh-oleh kecuali manggis tiga renteng masing-masing isi 10 biji seharga Rp 20 ribu dan rambutan empat ikat Rp 10 ribu.

Magrib masih terkejar ketika kami memasuki gerbang Villa Nusa Indah III, tempat kediaman kami. Liburan panjang ini benar-benar memberikan nuansa lain. Menyenangkan sekaligus memberikan banyak pengalaman. Semoga liburan berikutnya masih bisa diberikan kesempatan dan rezeki untuk melancong lagi, bersama Andriani istri tercinta, Vito anak saya yang selalu membu semangat. Syukur-syukur bisa membawa keluarga lebih besar lagi. Tentu lebih seru dan asyik.[]

Lembang-Bojong Kulur-Gelora : 04-06 : 01 : 2010

Maribaya yang Merana

Liburan Awal Tahun 2010 (bag 4)


Kawasan sekitar tempat saya menginap relatif mudah untuk mencari keramaian. Selain, De' Ranch, ada juga pasar Lembang yang selalu bikin macet. Dua kilo dari situ ada kebun strowbery yang bisa dipetik sendiri. Atau kalau mau lebih menantang, sedikit ke arah Bandung, lalu belok kanan menuju Cimahi. Di sana ada taman bunga dan curug yang katanya indah. Saya sendiri belum sempat mengunjungi karena sempitnya waktu.
Pilihannya cuma ke Maribaya. Jaraknya lima kilometer dari Villa De' Rossa. Tapi, belum sampai ke sana, ada tempat wisata lain, supermarket tanaman. Saya lima tahun lalu  pernah mengunjungi tempat ini. Sayang, karena kami bukan penyuka tanaman,  tempat itu cuma kami lewati saja. Maribaya terletak di lembah yang cukup curam. Sepanjang perjalanan hanya terlihat pohon-pohon menjulang-julang. Mengombak diterpa angin. Panas memang terik, tapi anehnya hembusan yang disemprotkan alam tetap saja terasa sejuk. Kami sengaja mematikan AC mobil yang ternyata kalah dingin dengan udara dari luar. Apalagi bau tanah dan rerumputan yang membawa ketentraman raga terlebih jiwa.

Maribaya begitu terkenal. Sejak kecil saya sering mendengar tempat ini, tapi entahlah baru pada kesempatan kemarin saya bisa mengunjungi curug-curugnya yang terkenal. Memasuki gerbang suasana ramai para penjaja makanan dan mainan begitu kental. Dingin makin menggigit. Beberapa orang mengenakan jaket, tapi saya tidak. Sengaja mencari sensasi dinginnya lembah yanag jarang-jarang saya rasakan. Untuk lebih menikmati  kesejukan Maribaya,  tiket Rp 5.000 tergolong murah. Apa barangkali karena dikelola Pemda. Harga tiket ini sama dengan karcis masuk De' Ranch yang belum main sudah ditagih.

Tapi, harga memang tidak membohongi. Kawasan nan indah itu, terlihat kurang tertata rapi. Sampah kami lihat berserakan. Rumput-rumput dibiarkan memanjang tanpa aturan. Demikian juga pohon-pohon yang mestinya bisa diatur rapi. Patung binatang banyak yang dibiarkan menderita tanpa kaki, telinga, hidung bahkan sebagian kepalanya hancur. Tubuh-tubuh "binatang" itu persis habis dikuliti, yang ada hanya warna abu-abu semen.  Diranggas oleh terik dan lembab. 


Busa putih tebal terlihat menumpuk di tepian kali. Pijakan tangga banyak sekali compal. Jembatan dari kayu amat usang dan bolong-bolong. Istri saya sampai ketakutan harus menyebrangi dua kali jembatan berpegangan besi yang juga sudah karatan. Tapi ada yang lebih "horor" lagi. WC yang tersedia begitu menyedihkan. Jorok, bau dengan kloset cemplung yang menjijikkan. Itu belum seberapa. Mushola yang seharusnya suci dan bersih, terlihat kusam dan lagi-lagi bau.

Kolam air panas alami yang ditawarkan juga tak pantas untuk wisatawan. Terlihat coklat seperti air di kali Ciliwung. Beberapa orang terlihat asyik mengayun-ayunkan kaki di tepian kolam yang tidak mengalir. Kami langsung beringsut balik badan begitu memastikan tempat bilasan juga tak jauh beda dengan WC yang saya ceritakan tadi. Namun begitu, kami sempat-sempatkan juga menikmati udara dingin dengan menyewa tikar lima ribu rupiah per helai.

Lokasinya sungguh ajib, persis di depan air terjun mini. Sejam terlewati begitu saja, tak terasa mendung menggelayut. Rintik sudah menimpa ujung hidung saya dan juga rambut. Kami bersiap angkat badan, pulang meninggalkan Maribaya yang merana, dan tak sempat ke Air Terjun Ciomas yang tingginya 25 meter. Keindahan Cimoas terpaksa terlewati karena istri saya tak memungkinkan untuk itu, mengingat kandungannya sudah memasuki bulan keempat.

Jam makan siang sebenarnya sudah terlewat. Kami sengaja menunda makan siang di Maribaya. Ada tempat yang sejak saya datang ke Lembang membuat liur ini sulit dikendalikan. Adalah Toko Tahu Tauhid yang sejak buka sudah dipadati pembeli. Lokasinya yang bersebrangan dengan De' Ranch membuat dua tujuan wisata ini saling melengkapi. Sebagai penggila tahu, saya akui rasa tahu di Tahu Tauhid luar bisa beda. Teksturnya halus tapi kekenyalannya terjaga, sehingga tidak mudah hancur. Tahu tetap padat berisi meski baru saja diangkat dari wajan yang kemapul.  Coba saja bandingkan dengan tahu pong yang sering ditemui tukang gorengan pinggir jalan.

Rasanya pun gurih dan orisinil karena selalu disajikan begitu tahu matang dari dapur olahan. Freeesh.  Dan yang tak tertandingi, harganya sangat murah. Satu buah tahu mentah hanya dihargai Rp 500 dan yang matang Rp 700. Karena antrian yang mengular, saya urungkan membeli sebagai oleh-oleh. Saya cukup puas dengan membeli sekeranjang tahu panas isi 30 biji seharga Rp 21 ribu.

Mega hitam kembali mengintai. Langit kelihatannya tak lama lagi akan menumpahkan isi perutnya. Kami bergegas menuju mobil. Badan saya mulai greges, pening menjalar mulai dari tengkuk. Tanda-tanda seperti ini biasanya saya kurang istirahat atau makan-makanan sembarangan. Saya tak berani melanjutkan perjalanan. Kami berdiam di dalam mobil yang diguyur deras hingga setengah jam. Kami ragu antara pulang dan menginap lagi, karena kondisi saya yang tak memungkinkan.


Matahari makin bersembunyi. Kepala saya kian berat saja. Istri yang berusaha mencari tempat penginapan dari buku yang kami beli di Gramedia belum juga berhasil. Bukan karena tidak ada kamar kosong tetapi lebih karena harganya yang rata-rata  naik berlipat minimal 100 persen. Kami tak menyediakan uang tunai, sementara hotel melati jarang yang bisa menerima kartu kredit.

Kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalan. Menembus hujan dan kabut. Melawan pusing yang terus memukul-mukul batok kepala.  Mencari tempat singgahan murah...(bersambung)

Senin, 04 Januari 2010

De' Ranch

Liburan Awal Tahun 2010 (bag 3)

Vito membangunkan kami yang sedang terlelap. Ia sangat ceria di pagi yang belum sempurna itu. Kabut masih terlihat tipis dalam jarak pandang terbatas. Villa De' Rossa memang memiliki view  lumayan. Disamping kiri terpampang savana yang menakjubkan : bukit berundak-undak memamerkan pohon yang mengayun-ayun dan rumput-rumput hijau membentang. Kontrasnya, di sebelah kanan terjejer mobil-mobil plat Jakarta dengan tubuh penuh lumpur.

Suara kuda sayup meringkik pelan di pelataran hotel. Bau kotorannya mengingatkan saya ketika pulang ke rumah mbah di Klaten. Saya selalu naik dokar tiap kali mengunjunginya dari stasiun Klaten ke Karang Turi. Rupanya, di Lembang dokar masih menjadi sarana transportasi penting. Di musim liburan panjang seperti itu, dokar lebih banyak digunakan untuk melayani turis-turis domestik. Kebisingan kecil anak-anak yang bermain  di lapangan rumput hotel belum bisa menggoda kami untuk angkat kelopak mata. Udara dingin Lembang masih begitu lekat menyelimuti malas kami.

Cuma semangat Vito-lah yang sanggup membangkitkan kami. Ia berulang-ulang menggugah badan saya yang menempel rapat di kasur. Kalau tak berhasil, ia balikan badan  dan giliran istri saya yang jadi sasaran. Hingga akhirnya kami pun menyerah dan terjaga. Sadar bahwa liburan ini sepenuhnya untuk menyenangkan Vito, kami bersegera mandi.

Sarapan dari pihak hotel tinggal sisa-sisanya saja. Maklum kami masuk resto setengah jam sebelum tutup jam 10. Para tamu sudah khatam makan dengan sajian : nasi goreng, telur balado dan kentang-bihun yang pedas dengan minyak berkilat-kilat. Kerupuk sebagai pelengkap juga tandas, yang ada hanya rempahannya saja.  Vito tentu sulit makan dengan rasa nyelekit lidah seperti itu. Maka, ia cuma mencici setangkup roti isi gula dan susu murni yang memang banyak di sekitar Lembang.

Pilihan kami untuk memilih Villa De' Rossa tidak terlalu salah, meski harganya naik menjadi Rp 350 ribu, jauh dari harga normal yang cuma Rp 250.000.  Jalan masuk ke hotel juga rusak parah. Inilah nilai kurang dari hotel yang sebenarnya baik itu.


Lima ratus meter dari sana, terdapat arena wisata berkuda yang seringkali masuk liputan teve : De' Ranch, bermain kuda ala cowboy.  Kami sengaja berjalan kaki menuju De' Ranch. Lumayan bisa menghirup udara segar dan sedikit berolah-raga. Di lapangan parkir saya lihat mobil antri mencari tempat. Lokasi ini memang luar biasa luas.Sejauh mata melihat hanya ada hijaunya rumput dan pohon pinus. Kuda-kuda berkeliaran di antara pengunjung. Ada yang ditunggangi dengan pemandu bertarif Rp 15 ribu per lap. Ada juga yang menggunakan dokar Rp 25 ribu per tiga orang.

Atau, kalau yang pingin ekslusif pilih di lapangan tengah seharga Rp 75 ribu untuk setengah jam. Kalau kurang puas, bisa ambil les tunggangan sejam, tapi harus rela merogoh kocek Rp 125 ribu.  Saya rasa wajar karena pengajarnya pun spesial. Saat  saya mengunjungi terlihat pemilik De' Ranch langsung yang melatih. Dialah Billy Mamola. Pria yang tanggal 3 Februari mendatang  berumur 56 tahun itu memang terkenal penggila kuda. Sepanjang usianya ia selalu menunggang. Jangan heran jika ia kini sukses memadukan hobi dan bisnis. Itu sebabnya ia rela melepaskan bisnisnya yang lain demi mengembangkan mimpi kecilnya.

De' Ranch bukan saja mengandalkan  kuda-kuda untuk dijadikan wisata, tapi juga pengalaman yang dimirip-miripkan penunggang kuda dari Texas sana. Pengunjung bisa mengenakan rompi, topi dan sepatu ala cowboy yang dipinjamkan secara gratis. Untuk melengkapi tempat hiburan seluas lima hentar itu, juga disediakan mainan lain semisal flying fox, panjat dinding, naik rakit, perahu fun, arena sepeda, memerah susu, memberi makan sapi, melihat proses pasteurisasi susu sebelum siap minum, juga tempat bermain balita dan anak-anak. Pengunjung sebelumnya diberi welcome drink yang bisa dipilih, susu atau yogurth. Berbagai jajanan juga ditawarkan.


Dari sekian banyak mainan yang ada, vito meminta  menunggang kuda  dan bermain perahu fun. Juga sekedar melihat-lihat karena waktu yang terbatas, mengingat jam sudah menunjukkan   pukul 11.10, saatnya balik ke Hotel untuk berkemas. Agar lebih berkesan, kami pulang menggunakan dokar dari De' Ranch seharga Rp 30 ribu.

Perjalan menggunakan alat transportasi kuno itu harus dilewati dengan rasa penyesalan karena sendal Yongki Komaladi yang baru saja dibeli terpaksa tanggal di jalan, saat dokar melaju kencang di jalan bebatuan....(bersambung)

Yang Tak Terlupakan

 Liburan Awal Tahun 2010 (bag 2)


Perut sulit diajak damai. Badan sebenarnya minta dibaringkan. Apalagi mata seperti diganduli besi berat, sulit sekali untuk dibuka.  Seluruh sendi ngilu. Kreteek...kreeetek...bunyi batang leher, pinggang, siku-siku juga buku-buku jari tiap kali dibengkokkan paksa. Tapi, rasanya terlalu sayang untuk melewatkan malam di Lembang yang sejuk.

Hujan begitu deras ketika kami keluar mencari makanan khas Lembang. Tidak ingin di warung Brebes, karena sebelumnya pernah kecewa. Kali ini memilih kaki lima yang kelihatannya ramai : Warung Bu Iing. Bermacam menu disodorkan. Mulai dari nasi bakar isi oncom atau teri. Aneka pepes dari tahu, ayam, ikan mas, atau gorengan tahu-tempe, bakwan jagung-kentang, jeroan, babat juga ada. Untuk makanan terakhir ini saya berusaha menghindar agar kolesterol tak naik. Tetapi ada satu makanan yang sulit saya tolak : pete bakar. Baunya merebak betul-betul menggugah selera makan. Berbagai menu itu disajikan secara prasmanan. Ambil sendiri, bayar kemudian.

Harus saya akui warung Bu Iing tergolong murah. Dua bungkus nasi bakar, dua papan pete bakar, dua perkedel, satu pepes ayam, sepotong ayam bakar, tahu-tempe, dua tusuk ceker goreng dan segelas jus jeruk cuma Rp 49 ribu.  Syahwat makan saya sulit terbendung. Semua santapan ludes dalam hitungan menit. Begitu juga istri saya. Ia begitu menikmati nasi bakar teri yang disajikan hangat-hangat, cocok di saat hujan seperti itu.

Penilaian saya terhadap warung itu berubah drastis ketika saya terngiang-ngiang akan ketan bakar yang dibeli siang tadi saat macet. Penjaja pinggir jalan hanya membandroli Rp 2.500 per buah, tapi warung Bu Iing memintanya Rp 5.000. Saya coba tawar tapi tak bisa. Bukan itu saja yang mahal. Burger bahkan dijual Rp 17.500. Asem...mengapa jadi selangit harganya. Apa ia ingin memanfaatkan momen liburan. Ah, tapi mestinya untuk menarik pengunjung jangan begitu. Toh, warung itu juga sudah dipenuhi pembeli, kok.


Saya akhirnya mencari ketan bakar di tempat lain dengan harga Rp 10.000 per tiga biji. Meski dengan bumbu oncom dan kacang, saya tetap merasakan nikmat ketan bakar sebelumnya karena terasa gurih : perpaduan dari ketan dan kelapa yang ditumbuk halus.

Malam bergerak lambat,...saya dan istri tak bisa menikmati malam itu sepenuhnya, karena Vito sudah tertidur begitu kami hendak berangkat makan malam. Dalam kesyahduan remang lampu tidur yang dipasang separuh, krikikan jangkrik yang bersahutan serta gigitan udara dingin yang menyelinap dari kisi-kisi jendela, kami menghabisi malam hingga larut.....

Kelelahan kami sepanjang hari ini terbayar sudah. Kebahagiaan tiba-tiba buncah menusuk ke ubun-ubun...kasih-sayang yang tercurah malam itu sungguh sulit dilupakan.....(bersambung)

Bandung Tumpah

Liburan Awal Tahun 2010 (bag 1)

Kami memutuskannya tak sampai tiga hari. Memang, terlalu minim untuk sebuah perjalanan liburan yang membutuhkan persiapan. Bukan saja soal uang tetapi kepadatan lokasi tujuan berikut akomodasinya. Bandung, sebuah kota gemerlap wisata belanja dan kuliner. Kota ini menjadi mainstream bagi siapa saja yang ingin menuntaskan uang dan waktu bersama keluarga dan kerabat.

Saya bersama istri dan tentu saja anak sungguh menghindari kota ini karena alasan klasik : macet dan terlalu sibuk dengan factory outlet serta orang yang gemar berburu makanan yang sebenarnya banyak juga ditemui di Jakarta sini. Tapi, kebetulan ada kerabat yang bisa dikunjungi, maka Bandung terpaksa harus juga disinggahi. Bukan untuk bermalam, namun sekedar lewat.

Kepadatan mulai terasa ketika memasuki Sadang. Tepat sholat Jumat, kerumunan orang mengantri di depan tempat Wudhu, begitu juga toilet di SPBU KM 72 yang belum lama dibuka. Saya curiga jalanan bakal macet kelak saat keluar pintu tol Pasteur. Sebab, kalau bukan ke Kota Kembang, kemana lagi dong  orang-orang ini mengarah? Untuk mengurangi ketegangan saya mencicipi Soto Sadang yang kesohor itu. Enak sih, tapi harganya itu lho,....

1 Januari saya pikir waktu paling pas untuk berpergian. Logikanya orang sudah kelelahan menghabiskan tahun baru hingga menjelang pagi. Tentu tak ada lagi energi tersisa untuk jalan-jalan besoknya. Namun, dugaaan saya keliru. Sejak berangkat pagi, mobil sudah jejal-berjejal di pintu-pintu masuk tol. Aneh juga, rupanya stamina manusia-manusia Jakarta cukup kuat ya untuk urusan senang-senang.


Memasuki Bandung tepat pukul 13.55. Kepadatan sudah terasa tetapi mobil masih bisa melaju wajar. Saya membelokan stir ke kiri, menuju Lembang tepat di persimpangan flyover Pasopati. Perjuangan pun dimulai, kendaran langsung mengular hingga ratusan meter. Ada Paris Van Java di sebelah kiri sebagai biang kemacetan. Seliweran mobil yang keluar masuk makin membuat kisruh. Mal raksasa itu bahkan mengambil separuh badan jalan khusus untuk tamu-tamunya. Egois betul.

Rupanya mal yang tergolong baru itu bukan satu-satunya biang kemacetan. Di sepanjang jalan berikutnya, berderet-deret FO, resto dan warung makan, persimpangan, pengkolan yang diisi kaki lima, sembarangan orang memarkir mobil sampai bis mogok seolah  bersekutu, bersekongkol ingin membuat Bandung tumplek. Polantas, arah jalan, rambu-rambu tak lagi digubris. Semua egois demi sebuah kesenangan. Sama sekali tak ada urusan mendesak di sini. Namun, mengapa orang terlihat bergitu bergegas seperti kekurangan waktu. Sampai-sampai, moncong mobil saya nyaris beradu dengan sedan Ford hijau tepat di persimpangan jalan Sukajadi. Untung tidak sampai berselisih paham. Mungkin sama-sama menyadari beradu mulut hanya membuat masalah bertambah panjang.

Sudah satu seperempat jam saya merayap di sepanjang jalan Sukajadi-pecahan Setiabudi. Sebuah bus Damri terparkir melintang dengan ranting pohon di pantatnya, memandakan sedang rusak. Saya lega karena pasti lepas itu akan lancar. Nyata tidak juga. Persis ditikungan tajam  tiba-tiba mobil di depan saya ngerem mendadak, rupanya mobil depannya juga begitu.  Sebuah Kijang Super merah  tak kuat lagi diajak nanjak. "Beruntung" saya hanya tiga mobil dibelakangnya jadi tidak sampai merasakan kemacetan karena masih sempat ambil kanan dan melaju.


Tapi, seratus meter dari situ, mobil kembali harus tarik rem tangan. Tanjakan tajam seperti ini bila menahan dengan setengah kopling bisa hangus dan urusannya repot. Tak jauh dari situ memang ada tempat wisata Rumah Sosis yang diserbu pelancong dari Jakarta. Padahal, tawaran yang diberikan juga sama : flying fox, berkuda, sepeda air, arena bermain yang hitungannya perjam. Menunya meski spesialis sosis, tapi rasanya juga sama saja. Saya pernah sekali ke sana dan sama sekali tak tertantang untuk kembali.

Jangan mengira perjalanan akan mulus setelah Rumah Sosis. Kemacetan sudah mewabah hingga sepanjang jalan raya Lembang. Mobil hanya maju 50 meter, kemudian berhenti 15 menit. Kadang hanya maju 10 meter berhenti 20 menit. Begitu berulang-ulang dengan jarak dan intensitas berhenti yang berbeda-beda. Bukan saja fisik tetapi juga mental. Apalagi, kemacetan di tanjakan seperti itu butuh stamina dan konsentrasi. Jujur, bukan perkara mudah menghadapi kemacetan di tanjakan.

Kerapatan kendaraan belum juga mereda, hingga dua kilo dari tempat saya menginap di Villa De' Rossa. Bahkan, makin menjadi di tukungan Brebes-disebut demikian karena di sana berjejer warung bermerek Brebes-terus hingga ke persimpangan  Subang-Maribaya-Bandung. Saya memilih lurus arah Maribaya karena hanya 500 dari situ, Villa De' Rossa berada.

Magrib hanya kurang lima menit lagi, ketika saya memasuki sebuah kamar berornamen klasik. Dinding bata yang hanya dicat putih, lantai kamar mandi yang berbatu, perabot serba kayu, serta tanpa AC. Dinginnya kalah jauh dari suhu paling minim di mesin pendingin sekalipun.

Saya merebahkan badan sebentar, sholat Magrib dan bersiap makan malam....(bersambung)

Minggu, 03 Januari 2010

Keanehan di Awal Hari

Kecepatan mobil RoverAce saya pacu mendekati 120 kilometer perjam. Jalan tol Cikampek Jumat pagi itu belum terlalu ramai. Meski sudah melewati batas tinggi, tetap saja ada mobil ‘malas’ yang mengerdipkan lampu dim dari belakang meminta saya menyingkir. Edaaan, padahal batas maksimal cuma 80 km/jam, itu artinya saya sebenarnya sudah melanggar batas kecepatan yang diijinkan. Tapi, mobil di belakang tak sabar, kali ini  membunyikan klakson, memaksa saya ke pinggir kiri. Saya bergeming. Mobil Innova hitam itu makin kesal.

Si supir meneror saya dengan mendekatkan moncong mobilnya ke pantat RoverAce saya. Tapi apa ada keharusan saya memberinya jalan, padahal kecepatan mobil saya sudah maksimal, bahkan jauh melewati batas. Saya yakin sudah tepat, maka dengan segala terornya saya tetap bertahan, baik dalam kecepatan dan posisi.

Saya bisa memahami kemarahan pengendara yang berada di jalur paling kanan jika menemui mobil yang tak tahu diri untuk menyingkir padahal kecepatannya berada di bawah yang seharusnya. Saya pun pasti kesal jika menemui pengendara bebal seperti ini.

Tapi saya yakin sudah benar. Apalagi, kondisi jalan di pembuka hari bulan Januari 2010 itu relatif sepi. Ia bisa dengan mudah saja mengambil ke kiri dan mendahuli saya. Aneh, tapi itu urung dilakukan. Dalam beberapa menit saya diteror tapi apa pedulinya. Kondisi ini berlangsung beberapa menit, sampai akhirnya ia menyerah mengambil posisi kiri dan mengklakson keras-keras begitu melewati saya.

Ah,….awal hari di tahun baru yang dimulai dengan keanehan…[]

4 Januari 2010