Selasa, 23 Februari 2010

Tragedi di Pagi Buta

SEBAGAI anak tertua, Barkah, dibebani berupa kewajiban. Baik tertulis apalagi yang tidak. Garis wajahnya jelas sekali bahwa dipundaknya syarat beban yang harus dibawa. Ia boleh tidak suka, tapi kondisi memaksanya. Menolak sama saja mengkhianati Tuhan, yang mentakdirkannya lahir lebih awal dari empat adiknya yang semuanya lelaki.

Bapaknya hanya buruh panggul di pasar. Kian hari, tubuh ceking itu makin bungkuk saja. Tidak cuma beras, tapi juga sekarung kentang, kubis, singkong, sayuran,  terkadang malah besi bekas. Kebetulan lokasi tempat Saukani mangkal berdekatan dengan dermaga tua. Ia sulit menolak permintaan yang datang padanya. Bahkan, ketika ia diminta untuk membawa karung basah ke sebuah mobil bak terbuka di satu pagi yang buta, ia siap.

Naif atau bodohkan Saukani, hingga ia sulit membedakan mana bau anyir daging ikan dan tubuh busuk  manusia. Bukan cuma satu karung goni, tapi dua. Dua karung yang dibawa Saukani dalam pagi buta yang berbeda. Otaknya terlalu lurus. Ataukah  saraf di batok kepalanya hanya mengenal satu sensor saja : uang.
Di saat pria berkumis seperti palang kereta itu memberinya order secara mendadak selepas isya, Saukani tak sempat bertanya, atau dihalang-halangai bertanya. Ia dipojokkan oleh iming-iming bayaran besar untuk sebuah pekerjaan mudah yang dilakoninya tiap hari. Jadi, buat apa membantah, toh, yang penting keluarga besok bisa tetap makan. Keluguannya membawa malapetaka yang kelak disesalinya seumur hidup.

Saukani dicokok aparat kepolisian, selang tiga hari sejak ia membawa karung basah yang kedua di pagi buta yang kedua. Matanya mendadak loncat, dadanya sulit ditegakkan ketika dua polisi memaksanya bangkit dari dipan reotnya. Perlakuan dua pria bersergam coklat itu tegas bahkan terlalu tegas untuk menghadapi pria kerempeng yang cuma mengenakan kaos oblong bolong-bolong dan celana kolor hijau yang robek di selangkanganya.

Bukan cuma Saukani yang terperanjat. Istrinya juga sontak terkaget, saat didapati rumahnya sudah dikepung puluhan polisi, lengkap dengan senjata, beberapa mobil yang diatasnya dilengkapi lampu mutar serupa di ruang disko. Maimunah, ingin sekali membekap Saukani dan menariknya masuk lagi ke rumah. Sayang, tenaganya hilang mendadak tertahan batuknya yang sudah lima tahun ini menemaninya.

Di pagi buta itu, suara seraknya kalah oleh TBC-nya yang bahkan untuk kesekian kalinya bercampur darah kental. Siapa yang peduli dengan wanita rusuh berpenyakit seperti itu. Para tetangga yang gemar keramaian apalagi berbau tragedi, dan juga aparat justru bergerak menghindar. Mereka tentu saja takut tertular. Lalu, mana Barkah? semestinya sebagai anak tertua lebih bisa berperan penting. Paling tidak, memberikan penjelasan atau usaha apalah agar bapaknya tak diseret ke kantor polisi.

Tubuh Bakrah yang invalid akibat kecelakaan tiga tahun lalu itu malah keras mencengram guling. Entah karena takut atau memang sulit bergerak cepat. Kiri kakinya lebih menggantung karena urutan tradisional oleh mbah dukun di pangkal paha tidak sempurna.

Cacat Barkah sebenarnya karena ulah Saukani sendiri. Kala itu ia bersama tiga rekannya tengah menuruni sebuah besi tua sebesar tubuh orang dewasa, bekas badan kapal yang hampir karam. Barkah yang gila babi, mendadak kelojotan. Seluruh tubuhnya mengejang. Kaki, tangan, badan, batang leher sekejap tegap di tanah. Mulutnya mengeluarkan busa. Matanya mendelik-delik.

Saukani yang mengajak Barkah siang itu, tentu saja panik. Ujung besi yang menjadi bebannya dilepas begitu saja. Tak menyadari, posisi Barkah persis di belakang kanannya.  Besi sebarat seribu kilogram itu menimpa pangkal pahanya. Tidak sampai remuk, karena hanya satu sisi dari besi itu saja yang menimpali.

Saukani juga tidak pernah tahu, dari mana penyakit itu diturunkan. Setahu dirinya, kakek-buyutnya dan garis atas keturunan dari dia atau istrinya tak ada yang pernah mengidapnya. Para tetangga yang senang dengan penderita orang lain seringkali bergunjing. Sudah sejak lama, Barkah dijauhi begitu kedapatan ia sering berkelejatan. Tak mengenal tempat dan waktu. Pertolongan selalu datang terlambat. Tidak ada satupun para tetangga yang turun tangan. Keluarga Saukani diisolasi sosial dengan beragam alasan.

Barkah tumbuh sebagai anak mandiri. Besar dalam banyang-bayangnya sendiri. Teman sebayanya, sejak lama menghilang. Bukan saja karena dilarang, tapi takut jika tiba-tiba Barkah kumat. Anak-anak itu tentu tak ingin tertular. Keterbelangan masyarakat membuat informasi terhambat, juga menyesatkan. Penyakit menyeramkan selalu saja dihubungkan garis keturunan. Dan juga mewabah. Berbagai saran para tetangga agar Barkah dislameti ditolak mentah-mentah Saukani.

Sebagai bekas karyawan swasta Saukani sedikit banyak paham soal penyakit yang diderita anak pertamanya. Yang diidap Barkah bukanlah keturunan atau bisa menular. Ia hanya terserang penyakit kelainan pada jaringan otak. Mungkin saja, ketika istirnya hamil, Maimunah, kekurangan gizi. Sebagai pengangguran, Saukani kerja serabutan. Apa saja dikerjakan untuk istrinya yang tengah berbadan dua.

Upaya itu ternyata  masih kurang, dan itu terjawab sekarang : otak Barkah tumbuh secara kurang sempurna.Tapi, lingkungannya memaksa ia menerima pakem yang sudah turun-temurun. Saukani digiring pada opni itu, tanpa bisa menolak. Tragisnya, ia kini menyakini alur salah itu.

Barkah sudah terlanjur hidup diimajinya sendiri. Ia bukan sedeng. Bahkan, ia heran mengapa orang bisa bekerja di luar alam pikirnya. Barkah juga masih sanggup berkomunikasi lancar dengan orang. Tapi, tiba-tiba bisa mendadak melenceng dengan idenya sendiri. Soal tugas dan tanggung-jawab ia mengerti betul. Ada rasa iba, juga senang. Ia menerima dengan sabar ketika diajak Saukani bekerja demi tambahan uang dapur untuk bisa menghidupi ibu dan tiga adik laki-lakinya.

Tenaganya imbang dengan kecepatan berfikirnya. Masalahnya adalah ia sulit merajut logika. Sukar menerka-nerka arah pikiran orang. Informasi diserap mentah-mentah. Maka, ketika ia berdialog dengan pria berkumis seperti palang kereta itu, seminggu lalu, Barkah begitu antusias. Barkah terbawa arus perbincangan yang menyeretnya pada sebuah konspirasi.

Pria berkumis seperti palang kereta itu, paham sekali bagaimana menggiring Barkah, dan membawanya pada kejahatan tak terampunkan. Barkah menerima pekerjaan ini hanya satu alasan : bisa membantu meringankan beban Saukani dan ibunya. Adik-adiknya butuh pendidikan, meski ia sendiri tak sampai tamat SMA.

Barkah sungguh  tidak menyadari bahwa imbalan besar itu untuk membunuh dua orang, yang rupanya berasal dari sepasang kandidat kades. Barkah tidak paham politik, apalagi intrik-intriknya. Ia hanya tahu bagaimana para kandidat itu mengumbar janji. Memberikan pekerjaan layak bagi seperti dirinya. Membantu berobat keluarga miskin, agar ibunya bisa segera sembuh dari TBC. Atau agar adiknya tidak perlu bayar kalau sekolah.

Siang itu, empat hari hari lalu, Barkah hanya ditugaskan mengantarkan bungkusan berwarna coklat. Ia tidak tahu apa isi didalamnya. Ia mengira-ngira itu adalah semacam bubuk. Sehari berikutnya, ia lakoni hal yang sama di alamat yang berbeda. Selanjutnya, terjadilah kejadian itu. Barkah tidak mengerti apa hubungan antara bungkusan berwarna coklat yang diantarkannya, dengan ditangkap bapaknya di pagi buta itu.

Ia sampai sekarang juga sulit menyatukan logika bagaimana kemudian, dua hari sejak bapaknya dimasukkan sel, di pagi buta itu, ia juga ikut dicokok untuk sebuah tuduhan serius : pembunuhan berencana bersama bapaknya. []

Bojong Kulur : 24:02:2010

Senin, 22 Februari 2010

Dilumat Dendam

Sinopsis dan Tinjauan Film "Edge of Darkness"

Ayah mana yang rela menyaksikan anaknya diberondong senapan mematikan, di tangga teras rumah, tepat di saat putri tunggalnya itu ingin menyampaikan sesuatu rahasia.

Penonton diawal film sudah dimainkan emosinya oleh sang sutradara, Martin Campbell. Sungguh, tema "Edge of Darkness" bukan hal baru. Bahkan, membosankan. Alur cerita yang begitu mudah ditebak dan terlalu umum, untuk sebuah karya yang mestinya pantas dimainkan pada era 90-an : sebuah tema lingkungan dan isu nuklir yang marak ketika itu. Bisa jadi karena film pertama Gibson setelah absen pada 2002 di film "Signs" diangkat dari sebuah serial teve tahun 1985.

Plot cerita mengalir begitu lambat, terlalu banyak obrolan dari satu tokoh ke tokoh lainnya.  Sebuah konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan pejabat juga bukan hal baru. Gibson dipaksa untuk masuk dalam pusaran intrik yang melibatkan para penegak hukum. Ini, bahkan, juga kerap kita temui di tema-tema film dalam negeri.
Mel Gibson yang begitu dikenal sebagai aktor laga, seperti kurang tertantang. Gibson memang mengikuti kursus menembak demi memerankan Thomas Craven di  film ini. Sayang, aksi itu tidak terlalu memukau.  Gerakan fisiknya mungkin memang dibatasi, mengingat usianya yang tak lagi muda: 54 tahun. Pun begitu, sebagai aktor kawakan, Gibson tetap enak untuk dilihat. Ia cerdas, taktis dan tetap gesit menemukan satu demi satu rangkaian kejadian yang membawanya pada pembunuhan dan motif sesungguhnya dari kematian  Emma Craven (Bojana Novakovic).

Sebagai seorang veteran polisi Bagian Pembunuhan di Boston, kematian Emma semula diduga sebagai sasaran antara, dari target utamanya, Thomas Craven. Tapi, sebuah petunjuk awal dari pistol yang ditemukan Craven di kamar Emma membawanya pada sebuah jawaban penting. Ia terlibat kasus serius hingga terancam dibunuh.

Dari pucuk senjata itu, rangkaian mulai terkuak. Bekal pistol itu rupanya dari sang pacar, Burnham (Shawn Roberts), yang tak menginginkan kekasihnya mati tertebak, meski keduanya tahu, Emma telah diracun oleh suatu zat radioaktif mematikan. Sebagai insyur bermoral, hatinya tergerak ketika menemukan fakta bahwa perusahaan tempatnya bekerja, Northmoor, telah melakukan perselingkuhan keji dengan Departemen Pertahanan.

Emma terlalu jauh melangkah, tapi tak surut tekad, walau ia tahu pasti tiga rekannya yang tergabung dalam organisasi pecinta lingkungan, Nightflower, telah mati sebelumnya. Craven, yang mengetahui sepak-terjang anaknya melalui sebuah video yang dibuatnya, makin yakin anaknya telah menjadi target sasaran sebuah konsipirasi negara.

Maka ditugaskanlah Jedburgh (Ray Winstone) agen CIA untuk membersihkan jejak pembunuhan Emma. Tapi sebuah dendam sulit dipadamkan. Craven makin berang, dan mendatangi satu-satu pembunuh Emma. Termasuk bos Northmoor, Bennet (Danny Huston) yang ditembak di rumah mewahnya, setelah sebelumnya dijejali susu beracun yang juga terlanjur diminum Craven.

Garis merah film ini adalah soal penghianatan. Craven tiga kali dikhianati. Pertama, oleh rekan kerjanya sendiri yang nyaris membuatnya terbunuh oleh cecunguk Bennet. Kedua, penghianatan terhadap hati nurani. Soerang senator, bernama Pen ternyata bagian dari konspirasi demi motif ekonomi. Northmoor adalah tambang uang bagi Massachusetts . Ketiga, pengacara yang diajak Emma untuk mengadukan kebobrokan justru berpaling dan berusaha menutupi demi sebuah ambisi : menjadi jaksa wilayah.

Ending yang dibuat Campbell agak unik. Para tokoh utamanya tewas. Pengacara sableng, senator gila serta orang pemerintah sinting tewas di ujung pistol Jedburgh. Agen CIA itu jengah menyaksikan kebusukan dan jijik melihat konspirasi kotor dan ingin mengakhiri drama konyol itu. Ia sendiri tewas oleh polisi penjaga Senator Pen.

Craven, akhirnya dilumat dendamnya sendiri, "dijemput" Emma untuk pergi bersama meninggalkan rumah-sakit, setelah tak tertolong akibat peluru yang bersarang di dada, juga racun yang ditenggaknya.  []

Gelora : 22:02:2010

Minggu, 21 Februari 2010

Senjata Ampuh Menikam Rakyat

Rencana Pertamina menaikkan harga elpiji tahun ini benar-benar meresahkan. Bagaimana bisa, sebuah kebijakan yang menyengsarakan dilakukan di tengah himpitan hidup masyarakat.

Pemerintah mengaku tidak bisa mengintervensi kebijakan korporat, karena itu akan dikatakan melanggar UU. Tapi, bukankah pemerintah adalah pemilik 100 persen BUMN minyak ini. Katakanlah pemerintah tidak bisa masuk ke dalam putusan itu, tentu bukan berarti bisa membiarkan Pertamina seenaknya saja melonjakkan harga elpijinya.

Pertamina selalu berdalih mengalami kerugian di bisnis elpiji. Konon, saat ini Karen dkk harus nombok Rp 2,6 trlyun. Kekurangan itu pun sudah memperhitungkan kenaikan harga elpiji tahun lalu sebesar Rp 100 per kilogramnya. Semula, bahkan diusulkan kenaikan hingga Rp 500 per kg. Tetapi ditentang keras oleh masyarakat dan juga parlemen. Kenaikan bertahap selama tiga bulan sejauh ini memang belum terlaksana. Hingga tertunda beberapa bulan, dan usulan itu kini muncul lagi.

Pertamina mengaku sudah tidak tahan menanggung rugi, karena harga keekonomiannya sudah mencapai titik Rp 8.000 per kg, jauh di atas harga elpiji non-subsidi yang hanyadibandroli  Rp 5.850 per kg. Pertamina berkilah jika kenaikan yang diusulkan itu untuk menambah koceknya. Tetapi  hanya sebatas menutup kerugian yang tiap tahun membengkak. Pertanyaannya, sudah tepatkan harga elpiji keekonomian itu seluruhnya dibebankan pada masyarakat?

Butuh jawaban panjang menjabarkannya. Tapi masyarakat hanya paham, negaranya memiliki kekayaan luar biasa berlimpah termasuk gas. Mengapa rakyatnya justru harus membayar mahal untuk sesuatu yang dipunyai begitu banyak. Sementara negara lain, katakan Cina bisa menikmati harga gas yang begitu rendah dari Indonesia.

Bukankah sebelum memaksa-maksa rakyat menutupi kerugian Pertamina itu, dilakukan renegosiasi perjanjian jual-beli dengan Cina. Itu jauh lebih bermanfaat. Buat apa memiliki kekayaan kalau tidak bisa dinikmati. Bangsa Indonesia ini seperti orang kaya yang berpenyakit. Tidak boleh menikmati harta berlimpahnya sendiri.
Pertamian boleh mengaku rugi, tetapi secara keseluruhan bukankah bisnis di minyak menguntungkan? Tahun lalu saja bisa menanggok laba Rp 15 trilyun, meski di bawah targetnya sendiri sebesar Rp 30 trilyun. Salah satu penyebabnya adalah harga minyak yang terjun bebas hingga  37 persen, dari 97,02 dolar AS per barel pada 2008 menjadi 61 dolar AS perbarel pada tahun 2009.

Kemudian faktor lainnya adalah harga bahan bakar minyak pada 2008 mencapai 111,53 dolar AS turun menjadi 66,53 dolar ASper barel. Juga, tak ketinggalan, alpha BBM subsidi yang ikut turun dari 9 persen menjadi 8 persen. Kesemuanya berkolaburasi menyeret turun laba Pertamina.

Okelah. Tapi, apakah dari laba itu tidak bisa disisihkan untuk menutupi kerugian di elpiji. Toh, besarnya cuma Rp 2,6 trilyun. Apalagi tahun ini Pertamina optimis bisa mengumpulkan laba lebih banyak hingga Rp 25 trilyun. Tentu, kekurangan dari bisnis elpiji itu bisa ditutupi.

Ini memang menyederhanakan cara saja. Pemerintah memang harus berkorban banyak buat rakyat. Jadi, janganlah banyak-banyak mengambil dividen Pertamina untuk disetoran ke kas negara. Pertamina memang masih dijadikan mesin pemerintah. Upetinya saja sekarang mencapai 60 persen! Kalau bisa dikurangi setoran itu, dan dialihkan untuk membayarkan kekurangan gas tentu akan lebih baik.

Sekali lagi, ini hanya menyederhanakan pola pikir saja. Masyarakat memang sulit untuk diajak berumit-rumit. Tentu saja ada banyak cara untuk menghindarkan kenaikan elpiji. Kenaikan memang paling mudah dilakukan guna menutup kekurangan, sekaligus menjadi senjata ampuh untuk menikam rakyat.

Bagaimana tidak, rakyat dipaksa-paksa untuk beralih ke gas. Tetapi begitu dialihkan, gas dinaikkan tanpa kompromi. Alternatif energi lainnya tidak disediakan. Ini jelas memojokan rakyat. Subsidi memang ada, tapi tidak ada kontrol ketat sehingga ketika elpiji nonsubsidi dinaikkan, elpiji 3 kg juga ikutan naik. Sebagian besar kini mulai berfikir untuk beralih. Lantas, diamana keberpihakan itu? []

Gelora : 16:02:2010

Serunya Udah Jebol

Kejadian itu kembali terulang. Di acara yang sama, tujuan yang sama, namun beda waktu. Hanya terpaut  satu jam. Kondisinya pun sama, tetapi peristiwanya jauh sekali berbeda.

Seperti biasa, tiap Senin saya mengantarkan Vito les piano  Yamaha di CitraGrand Cibubur. Menjelang 2.30 siang, cuaca masih mendukung. Bahkan cenderung terik. Sampai-sampai Vito enggan dipakaikan jaket merahnya. Ia memang paling sulit menerima panas. Di rumah, ia selalu bawel kalau kamar tak dinyalakan AC. Di suhu 20 derajat pun ia sering hanya menggunakan cawet dan kaos dalam. Kalau tidur, tak bisa lebih dari 20 derajat. Tubuhnya selalu gelisah dan keringat mengucur dari kening dan leher.

Tapi siang itu, matahari seolah menunjukkan kembali keperkasaannya, setelah  sejak seminggu  seperti ‘banci’ : mendung dan kelabu. Begitu melankolis. Kondisi seperti ini memang pas untuk selalu berasyik-masyuk…
Awalnya Vito memang mengeluh panas karena jaket itu membekapnya begitu ketat. Tetapi, hingga dua kilo ia mulai terbiasa. Thunder saya tarik hingga mendekati 60 km/jam dan udara semilir menerobas masuk  melalui kisi-kisi baju, resleting depan, juga helm yang separuh terbuka. Sengaja saya pilihkan helm open face agar ia leluasa menghirup udara luar.  Barangkali karena kenyamanan ini membuatnya  kembali terantuk-antuk. Kelopaknya sulit lagi bertahan. Menutup-nutup,… sejenak kemudian melolo-lolo begitu sadar atau saya sadarkan.

Ia selalu semangat seperti yang sudah-sudah. Tidurnya tidak benar-benar tidur. Sadarannya juga tidak benar-benar sadar. Lihat saja, dua tangannya berusaha dikokoh-kokohkan  mencengkram stang motor. Tapi kantuk tak bisa ditipu. Sikunya berulangkali  membentuk 90 derajat, dan bersamaan dengan itu tubuhnya tersodok ke depan, hampir-hampir berbenturan dengan tanki bansin. Dikuatkan lagi, sikunya lagi-lagi tak kokoh. Tiap saya tawari pulang, ia selalu mengaku tidak ngantuk. “Aku gak tidur kok Yaahhhh,…”

Hingga di lokasi  ia terlihat semangat. Namun, jelang lima-belas menit  mengendur. Kantuknya tiba-tiba menyerang. Kelelahan karena malamnya tidur hingga larut dan bangun pagi-pagi sekali.

Keluar kelas, cuaca begitu gelap. Saya bergegas ke motor, tapi sengaja tak mengenakan jas hujan, berharap bisa sampai rumah sebelum hujan turun. Saya keliru!! baru lima ratus meter hujan menerjang. Saya tepikan motor dan di sebuah warung sate kambing. Angin bergulung-gulung. Limpahan hujan berjuta-juta kubik itu memotong jarak pandang.

Saya memaksakan untuk tetap jalan, karena sudah terlalu sore dan saya mesti bergegas ke kantor karena dalam kondisi seperti itu, jalanan bisa macet parah. Lagi pula, Vito minggu lalu juga senang-senang saja diajak berhujan ria saat berangkat ke Yamaha. Saya berharap ia tetap menyambut guyuran hujan dengan ceria.

Memang, sepanjang jalan Vito begitu bergembira. Celotehnya tak henti-henti mengomentari hujan. Kota Wisata merupakan jalur yang sengaja saya pilih karena kondisi jalan yang relatif baik dan sepi sehingga bisa memacu motor lebih cepat. Baru melewati gerbang, motor tiba-tiba berulah. Tarikan mendadak sirna. Suara brebet-brebet keluar dari pantat knalpot. Saya berusaha tenang, tetapi tidak dengan Vito. Suara senangnya drastis berganti takut.

Saya paksakan motor untuk tetap berjalan dengan kecepatan terbatas. Saya sulit berhenti karena memang tidak ada tempat berteduh. Rumah-rumah mewah itu memang berdiri mewah di tepian jalan, tapi tak satupun yang bisa untuk dijadikan tempat berteduh.  Hingga menjelang bundaran Fresh Market motor sulit lagi tertolong. Begitu melewati sekolah Al Fajar, genangan sudah begitu tinggi. Motor saya terendah hingga separuh roda. Thunder saya benar-benar keok dikalahkan banjir.

Saya terpaksa mendorong motor di tengah hujan yang sedang lebat-lebatnya. Vito tegang. Wajahnya benar-benar takut. Ia sama sekali tak menyangka, keceriaan hujan bisa begitu menyeramkan. Mogok di tengah hujan adalah pengalaman pertamanya. Saya tetap berusaha tenang dan menepikan motor di sebuah pos satpam yang berjarak 100 meter. Vito menggigil. Berulangkali ia menanyakan mengapa hujan bisa membuat banjir. Dan, kapan motor saya bisa dihidupkan lagi. Ia benar-benar ingin segera pulang apalagi sore segera pergi. Waktu mulai bergerak ke pukul enam sore

Saya terpaksa meminta bantuan tukang ojek langganan. Babeh, saya suruh menjemput dan segera mengantarkannya pulang. Sementara saya bersegera mencari bengkel, karena akan dibawa ke kantor.
Di rumah, Vito sudah rapi. Mandi air hangat dan minum teh hangat. Saya lega karena bisa membawa Vito tetap dalam kondisi baik. Ia masih tetap ceria, meski tetap ada rasa kekhawatiran. Saya tahu, ia sebelumnya senang dan seru berkendara motor, apalagi di saat hujan. Saya coba tanya lagi, kali ini.

“Serukan, Mas. Hujan-hujanan lagi. Kena banjir dan mogok lagi,…”
“Seru sih, Yahh. Tapi serunya udah jebol,”
“Lho, kok jebol?”
“Iya, kalau  seru banget kan bisa mentok. Ini malah udah jebol, Yah..saking serunya,.”

Saya terpingkal mendengar menjelasannya yang sungguh saya tidak mengerti dari mana ia dapat logika seperti itu.

Tapi tiap peristiwa selalu saja ada hikmah dibaliknya. Kini ia bisa mengetahui bagaimana ayahnya harus berjuang mencari nafkah. Menerobos jarak  hingga 65 km,  dan pulang hingga larut, terkadang harus melawan sengatan hujan dan panasnya siang. Ia seminggu ini selalu bertanya pada saya, “Yah…motornya mogok lagi nggak...Ati-ati, ya. Aku berdoa sama Allah supaya motor Ayah gak mogok lagi. Kasihankan Ayah.”
Saya tersenyum. Senang,bisa memberinya sebuah pengalaman dan menanamkan sebuah empati. []

Bojong Kulur: 20:02:2010

Minggu, 14 Februari 2010

Semangat

Lima belas menit sudah jarum panjang jam itu meninggalkan angka dua. Vito masih gelisah memandang cuaca di luar yang sejak tadi gelap. Mestinya, kami sudah bersiap-siap berangkat ke Nuansa Musik Yamaha. Perjalanan memang hanya dua-puluh menit ke ruko CitraGrand Cibubur, tetapi kalau tidak lebih awal, dipastikan telat. Jam di studio selalu terlewat sepuluh menit. Dan aku selalu lupa untuk menyesuaikan jam dinding yang tertempel di muka kelas. Tiap hadir, teman-teman Vito sudah berjejer-jejer meriung di tepi kakak guru. Biasanya anakku itu langsung merangsek di barisan tengah tanpa peduli lagu apa yang sedang diajarkan.

Menit terus bergerak, situasi makin tak nyaman bagi Vito. Padahal, ia sudah siap dengan pakaian lengkap : celana panjang, kaus tebal,  serta jaket merah kupluk yang baru kemarin kami beli. Tas berikut perlengkapan serta tugas membuat not di buku balok sudah tersampir di sandaran kursi. Helm Naruto pilihannya telah lama berada di jok motor. Ia masih termenung. Gelisah antara ingin berangkat dan tidur bermalasan di kamar. Tapi aku tahu betul, sungguh ia sangat berhasrat untuk tetap les, tapi hujan membendung keinginannya.

Aku coba tanya sekali, ia terlihat bimbang. Ini justru menandakan ia memang ingin berangkat. Kalau ia menolak pasti sudah sejak awal diutarakannya.  Tapi kali ini, ia mengangguk pelan. Aku coba kuatkan niat untuk tetap pergi meski di luar sana hujan deras siap menemani sepanjang jalan.

Perjalanan jauh menggunakan motor di saat hujan Senin itu memang pertama baginya. Sejak seminggu, mobil tua kami satu-satunya digunakan istri untuk ke kantor. Ia memang harus menggunakan kendaraan lebih nyaman karena kandungannya sudah mulai membesar. Dan, syukurnya Vito tidak pernah rewel jika diantar  dengan motor : ke sekolah atau les membaca Bimba AIUEO. Saat ke Yamaha ia justru gembira karena aku selalu memberinya kesempatan untuk menarik pedal gas.

Kami melangkah tepat di saat langit sedang mual-mualnya. Serupa orang yang masuk angin seluruh air tertumpah ke bumi. Sayangnya, waktu sulit diajak berunding. Kalau tidak bersegera, maka akan sia-sia saja. Jatah les itu cuma satu jam. Keputusan sudah bulat. Kami berangkat menembus ‘kabut’ yang membatasi jarak pandang.

Di perjalanan, mulanya ia begitu menikmati hujan yang seperti menyerbu dari arah depan. Ia kegirangan karena merasa aman dengan tameng Naruto-nya. Ia juga tertunduk-tunduk melihat aspal jalan yang bergerak cepat di bawah. Teriakannya tak henti begitu kami melewati belantara ribuan air yang menjuntai-juntai di langit. Menyibak ‘lautan’ air coklat yang terhampar di kiri-kanan jalanan.

Tiba-tiba sebuah truk Hino muncul di kelokan. Tak sempat menghindar,  raksasa hijau itu melempari air lumpur pekat dari sebuah kubangan yang dicelatkan  oleh dua roda besar  belakangnya yang melaju kencang. Sekejap,… tubuh kami berubah coklat lengket penuh pasir. Bukan marah, kami berdua malah terkekeh-kekeh. Vito bertempik girang. Pengalaman tak terlupakan!


Beruntung hujan masih turun, hingga meluruhkan seluruh kotoran yang menempel di jas hujan kami yang mulai tembus ke badan.

Selanjutnya,….perjalanan agak membosankan. Hujan mulai reda meski tetap saja membuat jaket hujan ini bertambah lepek. Ia terantuk-antuk. Mungkin ternina-bobokan ayunan roda Thunder 125 yang sengaja saya pacu di 50 km/jam. Melihat situasinya yang sedemikian, aku sebenarnya tak tega. Ia aku tawari pulang dan batal les. Tapi dengan sigap ia menjawab, “Aku gak tidur kok Ayaaah. Cuma lihat jalanan di bawah.”

Aku putuskan melanjutkan perjalanan. Kali ini  tubuhnya ganti bergoyang. Dadanya nyaris menyatu dengan tanki bensin. Aku gugah-gugah tubuh kecilnya agar bangun karena sangat membahayakan dan sekali lagi aku tawari pulang. “Masih jauh gak sih Yaah….,” suaranya lemah dikalahkan klakson Avanza hitam yang meminta angkot di depan saya bergerak. Aku tahu ia masih semangat untuk les. Aku tanya lagi, ” Kalau ngantuk kita pulang aja ya sayang,….”

Bukannya menjawab, ia malah meminta padaku, “Kalau udah sampe kasih tahu ya…Aku sih sebenarnya nggak ngantuk.” Ia sekuat tenaga bertempur dengan kelopak matanya yang menyeret-nyeretnya turun.
Menjelang palang parkir, secara mendadak ia terkesiap. Tubuhnya melenting. Dadanya tegap. Kepala berusaha tegak, sambil mengedarkan pandangan ke kanan ke kiri. Kesadarannya secara mengejutkan pulih. “Udah sampe ya Yaaah,…,” tangannya menyorongkan meminta agar karcis parkir ia yang merobek dari mesin. Kesadarannya pulih total.

Vito begitu bersemangat hingga di kelas. Aku  bersyukur bisa ikut mengantarkan anakku yang begitu antusias untuk sesuatu yang disukainya. Di kelas ia masih saja lantang menjawab pertanyaan-pertanyan kakak gurunya. Bertanya, maju ke muka atau sekedar meledak teman-temannya. Kantuknya sirna, tenggelam oleh semangatnya yang telat kusadari. []

Gelora : 09:02:2010

Senin, 08 Februari 2010

Dunia Makin Telanjang

Jari-jarinya begitu lincah bergerak-gerak di atas tuts. Sebentar pindah ke mouse yang tertancap di plug USB kanan. Klak-klik bunyi tak henti mengiringi kesibukannya berselancar di depan laptop. Ia, yang masih belum genap enam tahun begitu piawai dan paham tuts mana yang harus disentuh untuk bisa menyalakan laptop yang sengaja saya sering geletakkan di meja.

Memorinya tajam mencari windows explorer dan langsung menuju mydoc dimana folder games cilik berada. Lincah betul. Saya tak pernah memandunya tiap kali bermain. Cukup sekali, ia langsung paham. Jika bosan, ia langsung me-minuskan layar dan mengklik modem flas terlkom lengkap dengan password yang juga saya berikan sekali. Begitu terdengar suara sambung, ia langsung klik mozilla dan siap berselancar. Yang dicarinya adalah games online yang tersedia ribuan di internet. Ia sudah paham alamat yang dituju.. Kalau yang ini saya tak pernah mengajarkan.

Saya tanya, ternyata ia bisa mengakses internet alamat games online itu dari mbak sepupunya.  Saya kagum tapi khawatir. Kagum karena memori anak semurnya kok bisa selengket itu. Komputer baginya bukan lagi barang asing. Berbeda dengan saya yang baru mengenal betul saat kuliah. Itupun sebatas hanya mengerjakan tugas-tugas akhir. Selebihnya tidak pernah, karena di rumah yang ada cuma mesin tik merk Brother.

Saya khawatir karena internet sesungguhnya adalah dunia tanpa batas. Informasi apapun bisa di dapat di sana. Mulai dari urusan tetek sampai bengek. Mau yang esek-esek, bejibun situs mudah dicari. Kalau yang informatif lebih banyak lagi. Repotnya untuk anak-anak remaja yang dicari adalah yang cenderung ada tantangannya : menjurus negatif. Yang rada serius jarang sekali disentuh.

Masalahnya pengguna internet, 64 persennya dinikmati kalangan 15-19 tahun (hasil survei Yahoo di Indonesia, 2009).  Mereka ini tergolong anak di bawah umur, bila mengacu pada UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berada di kisaran 0-18 tahun.  Pengawasan terhadap anak-anak agar tak menjurus destruktif baik pada dirinya sendiri, terlebih orang lain sulit dipantau. Karena 53 persen dari pengguna anak-anak itu mengakses internetnya  di luar rumah, seperti di warnet  atau hape.

Kecenderungan ini makin besar karena sekarang, kemudahan terkoneksi makin luas, setelah munculnya fenomena Facebook, Twitter, Friendster atau jejaring sosial lainnya. Provider pun berlomba memasarkan produk hape berinternet murah. Maka, dunia pun main telanjang. Orang tua makin kelimpungan membuat pagar-pagar proteksi bagi anak-anak mereka. Termasuk saya, yang mulai khawatir soal kebiasaannya berselancar di depan internet, meski sejauh ini baru bermain di games online. Seiring usia dan pergaulan,  lambat laun saya sadar keinginannya pun bergerak.

Kejahatan ibarat mode. Ia bergerak selincah tren dan keinginan. Maka, ketika dunia makin gandrung akan internet, peluang terjadinya kejahatan justru terbuka. Kita sering tidak menyadari bahaya internet karena mungkin tidak ada kontak fisik. Tetapi, yang maya itu justru bisa menimbulkan kerugian fisik. Berapa banyak saja kasus prostitusi dipesan lewat Facebook.  Judi dilakukan secar online. Orang berkenalan lewat chatting,  yang berujung kejahatan. Belum lagi kerusakan mental akibat gambar-gambar dan tayangan-tayangan yang cabul dan menjijikan.

Proteksi memang tidak bisa mengandalkan pemerintah, meski diperlukan. Sebagai orang tua, kita harus membentengi sejauh yang kita bisa. Anak-anak kita sudah berada jauh di depan dari generasi pendahulunya. Boleh saja kita mengklaim sebagai generasi penemu komputer, tetapi kecanggihan penggunaannya justru di tangan mereka. Kita jauh tertinggal. Kita seperti pendatang yang memasuki kawasan asing penuh jebakan. Kita mudah dikelabui oleh trik baru yang basic-nya justru dari kita. Kita menciptakan jembatan tapi lupa membuat pelindung. Sehingga, siapapun bisa tercebur. Termasuk kita. Keluarga kita...

Saya, jelas tak ingin keluarga menjadi santapan teknologi. Ia mestinya bisa dikendalikan. Mengekangnya sulit, karena sama saja memasung keluarga dan anak dari peradaban. Melepaskannya itu seperti membiarkan keluarga dan anak dicabik-cabik mahluk ganas bernama informasi teknologi. Mencari jalan tengah memang yang terbaik. Tapi lewat apa??!

Kiat-kiat proteksi sudah banyak beredar. Seperti pernah saya baca : menempatkan komputer di ruang keluarga atau terbuka. Ini menghindarkan anak mengakses situs-situs terlarang. Atau, memblokirnya lewat layanan gratis di: http://www1.k9webprotection.com atau http://kidrocket.org

Atau, saya juga pernah membaca tips menjaga pengaruh buruk internet misalnya memberikan hape yang tidak memiliki layanan internet. Saya bersyukur karena anak saya masih enam tahun belum kepingin hape-hape-an. Tapi entah kalau nanti sudah beranjak umur.

Kalau internet-an memang harus didampingi, dijelaskan dan dibatasi waktunya. Dan, jadikan kita anggota juga dalam jejaring sosialnya agar mudah dikontrol. Apakah tips itu semua ampuh?!  Tidak.Tetapi jelas bisa mengikis dampak buruk yang mungkin timbul.

Saya sadar penjaga satu-satunya pengaruh buruk yang terdengar amat klise adalah tanamkan agama dengan kuat.  Pertanyaan selanjutnya, sudahkah kita sendiri menjadikan agama sebagai landasan. Kalau tidak jangan berharap keluarga kita akan mengikut. Mudah-mudahan saya diberikan selalu petunjuk agar bisa menjadi imam dalam keluarga. Dan, vito anak pertama saya itu, bisa tetap berselancar dengan iman di internet. Tanpa harus saya awas-awasi.....semoga! []


Gelora : 08:02:2010

Selasa, 02 Februari 2010

Ajari Gosok Gigi Sejak Dini

Mengajari anak menggosok gigi harus dilakukan sedini mungkin. Jika memang memungkinkan, ajarkan ketika si anak mulai tumbuh gigi pertama. Berikut beberapa tips untuk mengajari balita anda menggosok gigi

Beri contoh
Untuk membiasakan gosok gigi di usia ini, usahakan si kecil melihat anda menggosok gigi. Jika ia tertarik, biarkan ia memegang sendiri sikat giginya dan bermain sambil meniru gerakan gosok gigi.

Gunakan sikat gigi khusus
Mulai mengajarkan gosok gigi dengan sikat gigi khusus.Bulu sikat jangan terlalu keras atau lembek. Gunakan gerakan memutar.

Hindari pasta gigi
Jika anak anda belum terbiasa menggosok gigi, usahakan jangan menggunakan pasta gigi, agar anak tidak terlalu banyak menelan flouride yang terkandung di dalam pasta gigi

Bilas dengan air matang
Bilas dengan memberikan air putih matang yang bersih sehingga risiko terkena serangan diare atau penyakit lainnya dapat dikurangi.

Berikan pujian
Berikan pujian jika mereka dapat melakukannya dengan benar, sehingga mereka senang dan mau menyikat giginya tanpa diminta.

sumber: http://bisnis-jakarta.com/

Senin, 01 Februari 2010

Bocah-Bocah Perempatan

Malam begitu menggigit. Udara sehabis hujan Minggu malam itu masih menyisakan kelembaban yang membuat kulit terasa tipis. Tapi di perempatan itu, bocah-bocah seumuran anak saya yang belum genap enam tahun  justru bertelanjang dada. Mereka bermain di kubangan yang tersebar di dekat lampu lalu lintas Coca-Cola. Begitu asyiknya. Sebagian mengetuk-ngetuk kaca mobil meminta sejumlah uang. Atau, mencolek pengendara motor berharap ada tanda iba, sereceh koin.

Anak saya yang bersiap tidur, tiba-tiba terjaga. Ia merasa heran,  jam 12 malam begini kok masih saja ada anak-anak yang berkeliaran.

“Yah, kok malem-malem gini masih ada yang main sih?”
“Bukan main, sayaaang. Anak-anak itu lagi cari uang. Tuh lihat…,” jari saya menunjuk ke salah satu bocah berambut pirang.
Gak dicariin sama bundanya, apa?” Ia mulai menyelidik.
Saya agak bingung menjawabnya. Sebab, ia selalu ijin tiap kali ingin bermain ke luar, meski itu hanya di sebelah rumah.

"Temen-temenmu lagi bantu orang tuanya, sayang,…” istri saya menimpali.
“Emang ayah-bundanya gak kerja?” alisnya nyaris menyatu.
 “Ya kerja. tapi mungkin kurang,” jawab istri saya.
 “Makanya kamu harus bersyukur, masih bisa sekolah sama ikut les-les. Coba lihat tuh temen-temenmu, malam-malam gini masih di jalanan,” saya  berikan penjelasan tambahan.

Ia justru terdiam. Mungkin bingung. Nalarnya barangkali belum sampai untuk melihat realita : masih banyak anak yang tidak beruntung. Dibiarkan keleleran di raung liar penuh ancaman, atau bagaimana mereka bisa bertahan di sebuah lingkungan yang dipenuhi keacuhan, bahkan oleh orang-tuanya sendiri.

Bocah-bocah itu seperti tidak memiliki beban, apalagi berfikir soal risiko yang mengintai kapanpun. Bocah-bocah berkolor itu tetap saja berkecupak di kubangan, di  bawah lampu merkuri yang meluruhkan kulit-kulit hitamnya menjadi kuning.

Beberapa anak lainya terlihat syahdu menghisap sebatang rokok, yang lebih besar dari jari-jarinya yang kerempeng. Saya sulit membayangkan, anak-anak sekecil itu sudah dijejali racun mematikan.

Hujan tiba-tiba kembali turun, tepat ketika lampu berganti hijau. Bocah-bocah itu bergeming di perempatan. Menadahi hujan, berharap ada keberkahan di pagi yang buta. Saya melaju menuju rumah, dengan segumpal rasa ngilu di hati….[]

Sumur Batu : 31:1:2010