Senin, 14 Juni 2010

Negeri Iblis

ada keceriaan yang kutahu diambil dari kesedihan. kami, manusia, yang masih memiliki hati pasti gundah. geram. marah sekali. tersentak oleh pagi buta menjelang subuh. perlukah para iblis itu menyesak masuk ke bilik-bilik kamar, geladak, menembaki manusia lainnya, yang sedang membawa harapan demi jutaan nyawa di sebuah negeri lahirnya semua agama samawi. tak cukupkah sejarah itu melindungi mereka?

bukan. bukan. aku yakin mereka bukan saja memiliki tabiat iblis. aku sungguh percaya mereka memang iblis. dimana pun iblis tidak mengenal solusi kebaikan. urat dan nafas mereka selalu ingin mencari teror dan keributan. ucapan kerap berkelit memaksakan pembenaran.

enam iblis luka, dibayar sembilan-belas nyawa dan puluhan penuh luka menganga. di seberang, jutaan orang menanti mereka. makanan-obatobatan-selimut. sudah tiga tahun negeri terebut itu menangis.
sementara dunia hanya bisa menatap. tidak lebih.

si iblis, terkekeh gembira. makin menantang. bisa membinasakan pahlawan kemanusiaan. iblis sampai kiamat pun tetap benci manusia. yakini itu.  tidak ada dialog untuk para iblis. karena iblis selalu gemar berkelok ucap tanpa ujung. percayalah kalian pasti kalah.  hanya satu cara untuk menghadapi  negeri iblis itu

: lawan

,dengan apa?

apa saja

imanmu dan doamu sudah cukup.

selebihnya biar Allah yang menyelesaikan.

Gelora: 01:06:2010

Good Bye My Lena

Hari ini begitu berat bagiku. Beban psikologis yang beberapa pekan mengganggu batinku, ternyata betul-betul terjadi juga hari ini. Sebuah keputusan pahit terpaksa aku tempuh. Ini bukan soal pilihan tapi realita.

Aku sudah mendampinginya selama delapan tahun. Ya, sebuah periode yang tidak sedikit untuk sebuah romantisme. Aku pertama kali mengenalnya di sebuah acara pekan raya malam. Ia begitu menggoda. Tubuhnya dibalut serba hitam, dengan sedikit lorek biru-hijau-putih yang memanjang. Aku sungguh terpesona. Ia terlihat sangat elegan di bawah sorotan lampu yang menyilaukan.

Sebuah perkenalan pun dilakukan. Aku begitu teliti mencari informasi tentangnya dari berbagai orang yang kukenal, sebagai referensi. Aku memang tidak mudah tertarik pada penampilan sekilas yang pertama. Merasa cukup puas, tak sampai dua minggu, kami pun bisa berjalan bersama, setelah sebelumnya aku memberinya mahar pembuka tiga juta rupiah.

Betul, aku memang tak sanggup untuk keseluruhan syarat yang diberikannya. Untuk meyakinkannya, aku bersedia mencicil mahar itu selama satu setengah tahun, yang tiap-tiap bulannya ku bayar lima ratus enam puluh ribu rupiah. Itupun aku perjuangkan dengan berat, karena keputusan itu sempat mendapat tentangan.

Untuk sebuah mahar yang jujur kuakui sangat memberatkan, ia memang cukup memuaskan.. Selalu setia mendampingiku kemanapun. Di saat hujan, kami berteduh bersama. Di saat terik ia sama sekali tidak mengeluh, meski ku yakini tubuhnya juga kelahan walau tanpa keringat yang keluar.

Aku juga begitu. Berusaha setia sebisaku. Seringkali aku menuntunnya ketika terluka. Membawanya ke sebuah tempat sampai ‘kakinya’ yang terobek sembuh, walau  hari telah larut. Berulang-kali aku lakoni kejadian seperti itu. Aku tidak mengeluh, tetapi justru bersyukur masih bisa ditemaninya.

Ia sungguh tak mengenal waktu ketika mendampingiku. Kapanpun dibutuhkan, ia selalu siap. Ia jarang sekali rewel. Kecuali, jika aku telat memberinya perhatian. Maka, pada periode tertentu aku ‘dandani’ ia. Aku percantik tubuhnya agar lebih mulus agar bisa memuaskanku juga dirinya. Aku juga tentu bangga bisa berdampingan dengan tubuh licinnya. Kesetiaanku dan dirinya, membuat kami begitu menyatu. Sulit dipisahkan.

Tapi kusadari staminanya kian hari mengendur. Jalannya tak lagi seperti dulu : gesit dan sergep. Beberapa bagian tubuhnya terlihat memudar. Aku bukannya tidak lagi memperhatikannya. Bahkan aku sering membawanya ke ‘salon’.  Barangkali karena memang bawaan umur yang membuatnya sulit bersinar. Apalagi, bila sehabis bepergian jauh, tubuh kumalnya sungguh membuatku tidak enak hati.

Pancaran keelokan ketika aku mengenalnya pertama-kali sama sekali tak tampak. Sendi-sendinya bahkan terdengar gemeletuk. Aku merinding tiap kali pergi bersamanya. Takut jika tiba-tiba anfal di tengah jalan.

Sejak aku pindah rumah di Bojong Kulur, Bogor, ia makin sering ‘batuk-batuk’.  Kalau malam lebih menyedihkan lagi. Aku tak berani mengajaknya berjalan-jalan jauh sebab sangat rawan. Aku tidak ingin ambil risiko. Aku harus memutuskan segera. Kalau tidak, aku yang bisa sengsara. Enam tahun mungkin umur yang masih muda. Tapi entahlah mengapa dia begitu cepat rapuh?

Dan, dua tahun bekalangan, ia aku tinggalkan di rumah. Aku terpaksa mencari pasangan baru. Bertubuh besar, tetapi tetap ramping di depan dengan ‘pantat’ tipis di belakang. Bersamanya aku merasa lebih pas. Dengan tubuh sebesar ini, aku tentu lebih serasi. Aku merasakan sensasi baru dengannya.

Maka, ia aku tinggalkan di rumah, kecuali untuk urusan yang tak terlalu berat. Kasihan juga kalau-kalau ia tambah ‘sakit’. Tiap malam aku menatapnya dalam-dalam. Memandangnya dari depan hingga belakang. Mengenang kesetiaannya menemaniku enam tahun dan dua tahun di kesendiriannya. Aku tidak tahu bagaimana ‘perasaannya’ ketika ia disandingkan dengan pasangan baruku.

Ia diam saja.

Kini, sudah saatnya aku melepaskannya dengan ikhlas. Aku juga tidak sanggup meragati dua pendamping sekaligus. Keduanya butuh perhatian penuh. Pada periode tertentu keduanya juga harus dipercantik.Kalau tidak bisa-bisa aku yang repot. Biaya untuk mereka kalau ‘sakit’ jauh lebih mahal.

Dengan yang baru aku juga memberinya mahar awal. Entahlah, ini barangkali kebiasaan burukku. Tapi memang segitu kemampuanku untuk mencari pendamping baru. Toh, mereka senang-senang saja. Dengan yang ini aku memberinya delapan juta. Tiap-tiap bulannya aku cicil mahar itu sejumlah empat ratus dua-puluh satu ribu rupiah, selama dua tahun.

Terus terang dengan kondisi keuangan sempit seperti itu aku tidak sanggup, keuanganku terbatas. Aku harus menyisihkan rupiah cukup besar untuk mereka. Selain keperluan bayar sekolah, les, listrik, PAM, iuran RT, tagihan kartu kredit, cicilan koperasi, tagihan internet, jajan anak, pembantu dan seabrek keperluan lainnya.
Maka ketika ada seorang pria yang berminat, aku siap merelakannya. Ia tentu saja tidak menolak. Berharap ada perbaikan nasib.

Pria ini berjanji akan merawatnya dengan baik, dan berikrar memperlakukannya sama seperti aku dulu. Kalau tidak, aku tidak akan melepaskannya. Dari rautnya dan tuturnya aku percaya pada laki-laki ini.

Kini, ia benar-benar meninggalkanku bersama kenangan dan romantisme yang tersimpan bersamanya. Namun, apa pentingnya kenangan manis kalau itu justru membebani dan memberatkan. Lagi pula, masih banyak yang harus dipikirkan. Toh, dengan melepaskannya aku justru teringankan.

Tapi, yang aku sesalkan, selama delapan tahun kebersamaan kami, tidak ada satu pun foto yang bisa diabadikan dengannya. Hanya ada dua  foto yang aku ‘jepret’, sesaat sebelum ia dijemput sang pria, yang sungguh menginginkannya.

Aku harus tegar. Tidak boleh cengeng. Toh aku sudah mendapatkan dua juta lima ratus ribu rupiah dengan melepaskanmu, Lena.

\Mungkin harga itu terlalu murah untuk sebuah Honda Legenda 2002. Tapi, ya sudahlah…Toh aku masih memiliki pasangan baru, si Suzi, yang bertubuh besar-ramping meski lebih boros darimu.
Bersama Suzi yang secepat  dan sesangar guntur aku berharap juga bisa lebih langgeng, persis seperti saat-saat bersamamu, Lena.

Good Bye My Lena… []



Bojong Kulur: 11:06:2010