Senin, 02 Agustus 2010

Cerita Untuk Keisha

Hari-hari terakhir kemarin, Bundamu terlihat begitu gelisah. Pokok soalnya karena kamu tidak juga menunjukkan perubahan posisi sejak tiga minggu lalu. Padahal, menurut dokter, begitu ikat rahim Bundamu dibuka, mustinya kamu bisa segera meluncur ke pangkal jalur lahirmu yang Januari lalu terpaksa diikat supaya kamu bisa bertahan.

Ketika tubuhmu masih sekepalan, kondisimu begitu lemah. Makanya, saat kami periksakan ke dokter, rupanya jalur lahirmu sudah terbuka lebar. Ayah dan Bunda tidak punya pilihan lain kecuali mempertahankanmu dengan sebuah operasi penutupan jalur rahim. Istilah kedokterannya syrodkart. Kondisi seperti ini yang umum dikenal orang sebagai kandungan lemah.

Usai diikat, Alhamdulillah, kondisi kritismu bisa cepat terelewat dan kamu bisa berkembang baik. Bobot tubuhmu cepat sekali bertambah, bahkan melebihi masmu Vito ketika lahir, 3,4 kilogram. Tapi, prediksi tidak selamanya sesuai. Dari seharusnya kamu sudah bisa lahir spontan/normal, nyatanya di ujung masa kandunganmu yang sudah mencapai 41minggu, posisimu tidak juga berubah : jauh dari mulut rahim.

Lilitan plasentalah yang membuatmu sulit turun walaupun ikat rahim Bundamu telah dibuka tiga minggu sebelum kelahiranmu. Ini kondisi luar biasa. Bahkan, dokter yang menanganimu, Reino Rambey, sempat bingung. Ini pengalaman pertamanya sepanjang karirnya sebelas tahun sebagai dokter kandungan. Olehnya kami diberi fakta yang mengharuskan kamu harus dilahirkan melalui jalan caesar.

Posisi terakhirmu diakui dokter memang sudah dalam kondisi siap lahir. Hanya saja, lantaran ikatan usus di lehermu, kamu kesulitan turun. Terlebih, hingga kini tidak ada teknologi yang bisa mengetahui panjang tali ari-ari secara persis, sehingga sukar menentukan apakah tali ususmu itu bisa mengulur sampai di mulut rahim atau tidak.

Rahim Bundamu juga sulit terbuka karena tidak ada dorongan dari kepalamu yang sudah tertunduk, siap meluncur. Untuk kondisi ini dokter muda itu memprediksi : tingkat keberhasilan bantuan induksi hanya 20 persen. Kalau mau ditunggu sampai minggu ke-42 pun kemungkinan lahir spontan hanya 30 persen. Angka statistik itu tentu saja mengkhawatirkan, meski peluang tetap ada. Kami putuskan untuk ‘mengambilmu’ saja lewat caesar.

Jumat pagi, 16 Juli 2010—sehari lebih cepat dari jadwal rutin konsultasimu—itu pula kami putuskan untuk ceasar. Jadwal dokter Reino yang padat memaksa bundamu dioperasi pukul 22.00.
Setengah jam sebelum jadwal, Bundamu dibawa ke ruang operasi. Bundamu kelihatan tegang. Terlebih Ayah yang sungguh tak sabar bertemu kamu. Ingin sekali Ayah segera memelukmu. Mendengar tangismu. Membedongimu. Menggantikan popokmu kalau kamu pipis atau pup. Memandikanmu. Bundamu, biarlah beristirahat menyelesaikan tidurnya yang tak sempurna karena sepanjang hari menetekimu.

Masmu Vito bahkan sudah sibuk telpon sejak pagi. Tapi, karena ada psikotes di sekolahnya masmu Vito memilih di rumah untuk istirahat. Tapi kamu beruntung, ada eyang putri dan eyang kakung yang menungguimu. Bundamu bisa sedikit tenang.

Nafas Ayah tiba-tiba terhenti, ketika ruang operasi dibuka tepat pukul 22.35—lima belas menit setelah kamu lahir. Kamu rupanya sudah menunggu di sana. Pada sebuah kubus berlubang-tutup enam tembus pandang, kamu terlihat bergerak-gerak. Tubuhmu masih merah. Sebagian darah Ayah lihat masih tersisa di bagian kepala. Ujung jari kaki dan tanganmu terlihat kisut dan putih. Matamu terbuka malu-malu menatapi wajah Ayah. Kita berbenturan pandang. Dada Ayah berdesir. Kamu terlihat begitu anggun dibalik balutan handuk putih itu…

Ayah kian mendekat. Nafas Ayah makin tak terkendali. Tercekat oleh udara yang terhenti di tenggorokan, air mata Ayah tiba-tiba meleleh. Menyaksikan sebuah Keagungan Allah.

Tak hentinya Ayah mengucapkan syukur atas amanah yang diberikan-Nya. Sungguh kami telah menantikan ini cukup lama. Tangis Ayah seketika tumpah saat harus mengadzankanmu. Suara Ayah dihalangi oleh perasaan yang tumpang-tindih.

Kalimat Allahu Akbar yang Ayah bisikkan ke kuping kananmu tersendat-sendat, bertubrukan dengan haru yang sesak-menyesak. Ayah terhenti, menghimpun kekuatan. Adzan untukmu Ayah sempurnakan dengan susah payah. Lafadz komat dilanjutkan eyang kakungmu.

Bundamu di ruang pemulihan terlihat kepayahan. Ceasar, yang dijalani benar-benar membuatnya kewalahan. Tubuh Bundamu mengigil hebat. Dadanya sesak. Perut kanan-bawahnya nyeri seperti disayat-sayat. Kesadarannya tidak pulih benar. Rupanya obat bius yang ditusukkan di pinggul belakang Bundamu telah mundur secara teratur.

Butuh sepanjang hari untuk menormalkan kondisi pasca operasi itu. Ia cuma bisa berbaring menahan nyeri di sekujur perutnya. Sakit itu bisa diobati saat mendengar kondisimu baik-baik saja. Bundamu terlihat bahagia betul. Kebahagiaannya buncah saat kamu minta ASI diperjumpaan pertamanya dengan kamu.

Seperti pernah terpisah bertahun-tahun, malam pertama itu kami tumpahkan kerinduan untukmu. Kerinduan berlumur doa : semoga kamu bisa menjadi pelindung buat Ayah Bundamu.

Kamu mudah-mudahan bukan sekedar ‘bidadari’ yang cantik, tapi bisa menjadi pemimpin yang cerdas dan tangguh. Sesuai nama yang kami sematkan untukmu : Keisha Almira Rivinata. []

RS Haji Jakarta : 19:07:2010

Tidak ada komentar: