Senin, 02 Agustus 2010

Langkah Kecil

Langkahnya betul-betul membuatku gugup. Baju ukuran terkecil itu tetap saja terlihat kedodoran.  Bukan saja  baju pendek itu yang sampai separuh lengannya. Juga, coba lihat kerahnya, sempurna menutupi leher mungilnya. Ia  tenggelam di balik kerah putihnya yang masih berdiri tegak macam pagar besi.
Celana juga begitu, tak bisa merapat ke perutnya yang tipis. Lubang ikat pinggang yang dibelikan Bundanya tidak cukup kuat mengunci baju dan celana putihnya yang terus saja meronta minta keluar tiap kali ia bergerak. Aku pun terpaksa melubanginya lagi. Bukan satu tapi dua lubang.

Senyumku sulit disembunyikan saat ia melangkah dengan celana  yang juga setengah dari tungkai kakinya. Dengkulnya mengintip malu-malu, karena memang, hanya bagian tubuh itu saja yang bisa terlihat—selain lengan tangan dan muka—sebab kaos kakinya bisa melesak nyaris sampai betis.

Beban tasnya kutaksir nyaris menyamai bobot tubuhnya. Beragam buku tebal disesakkan ke dalam tas Ben 10 yang kami beli tahun lalu. Seperti hendak pergi berhari-hari, Bundanya menyiapkan aneka panganan  dan minuman, meski kelas pertamanya itu, kelar pukul sepuluh.

Ia terhuyung-huyung memasuki pintu gerbang yang dijubeli para orangtua yang mengantar. Aku memperhatikannya dengan perasaan berkecamuk: senang, haru, was-was,  dan asa.

Mukanya tegang. Aku tidak tahu persis apakah memang kurang tidur, karena ia semalam tidur hingga pukul setengah  sepuluh malam dan sudah harus bangun pagi-pagi sekali untuk memilih posisi duduk.
Atau memang ada beban psikologis sebab bakal menemui lingkungan baru di sekolah. Setahuku, seminggu ini tidak terlihat tanda-tanda yang membebani. Malah, ia ceria sepanjang hari karena eyangnya seminggu menemaninya di rumah.

Ingatanku tiba-tiba terlempar ke tahun 1980, ketika awal masuk SDN 27 Pagi. Aku diantar Ibu saat hari pertamaku. Ibu bahkan rela tidak berjualan di pasar demi aku. Aku sempat menangis, meronta karena tegangnya. Ibu membujukku sedemikian rupa agar mau bersekolah.

Baju yang dibeli Ibu di lapak pinggir jalan Sumur Batu itu, ‘habis’ oleh usapan air mataku yang mengucur. Aku tak peduli. Makin Ibu membujuk, makin keras aku menangis.  Apa Ibu marah? Tidak.  Ibu tidak marah. Ia tidak menyerah dan terus membujuk.

Beragam jurus ia keluarkan demi anak bungsunya supaya berangkat sekolah, kecuali soal jajan atau yang berhubungan dengan uang. Ya, aku tahu Ibu tidak cukup uang untuk membujuk anaknya agar mau sekolah.
Kawan, kami ini keluarga sederhana. Bapak cuma pegawai rendahan di sebuah yayasan yang peduli kesehatan. Gajinya mungkin hanya cukup untuk pendidikan delapan anaknya—yang  masih murah ketika itu.

Soal makan, menjadi domain Ibu.  Keperluan dapur diurus Ibu, termasuk uang jajan. Itu sebabnya, Ibu sulit mengembangkan usaha dari hasil berjualan sayur-mayur di pasar. Bisa memutar dagangan saja sudah baik.
Jatah harian kami pun tidak banyak, hanya lima puluh rupiah per hari. Uang jajan itu ditinggalkan Ibu saban pagi di  bawah taplak mesin jahit sebelah kanan, sebelum Ibu berangkat  ke pasar lepas sholat subuh. Aku sungguh tak mengeluh, meski dua koin  ini hanya pas untuk membeli satu gorengan dan seplastik es kebo, saat jam istirahat.

Aku jarang sekali bisa membeli mainan, macam adu biji karet, tebak manggis, aneka mainan di abang-abang krotokan,  menonton ‘film’ di sebuah layar sempit yang hanya bisa dinikmati dengan diintip satu mata . Atau, kalau yang ingin melalui dua mata, bisa  melihat gambar mati lewat media serupa teropong yang depannya tertutup rata.

Sebagian anak perempuan kulihat banyak yang bertukar kertas surat. Ada satu merek yang kutahu sangat mahal :  Sanrio. Kertas merek ini hanya bisa ditukar dengan lima kertas surat merek lain. Entah, sensasi apa yang dicari dari tukar-tukaran macam itu. Buatku itu terlalu mewah..
Tapi aku bersyukur, masih bisa mempunyai teman-teman yang bisa diajak untuk berbagi, lewat permainan yang kami ciptakan sendiri…(lain kali aku ceritakan, Kawan)

Aku sendiri, tidak ingat bagaimana Ibu akhirnya bisa membujukku. Yang pasti, Ibu menggunakan kekuatan kata-kata yang menentramkan dan energi kasih sayangnya. Aku tidak tahu persis kalimat bertenaga seperti apa yang akhirnya mampu membangkitkan semangatku.
Lamunanku buyar ketika tiba-tiba anakku teriak, “Ayah, buruan donk. Udah mo jam setengah delapan nih!”

***

Sekarang, aku bisa merasakan apa yang Ibuku rasakan dulu. Aku, sama seperti Ibu yang ingin betul anaknya bisa sekolah, sukses bukan cuma urusan dunia tapi juga akhirat. Hingga Ibu tidak ada, aku sampai sekarang masih bertanya, apakah sudah bisa memenuhi semua harapan-harapannya? Sungguh aku tidak tahu.
Maka, ketika aku dapati muka anakku tegang, aku berusaha sebisaku menenangkannya. Tentu saja bukan hanya aku, Bundanya lebih berperan menentramkannya.

Dari balik kaca jendela, kami menatapi lekat-kelat anak kami. Beribu doa dan harapan tercurah untuknya. Sama seperti Ibu dan Bapakku dulu, kami berharadap Vito, anak kami  itu bisa memulai langkah kecilnya dengan benar hingga di penghujung cita-citanya. []

Bojong Kulur: 12:07:2010

Tidak ada komentar: