Minggu, 16 Mei 2010

Empat Sahabat

Persahabatan ini terjalin begitu saja. Bukan karena kebetulan aku duduk berpunggungan, lantas bisa berakrab dengan mereka. Dua teman sekelas wanitaku ini memang spesial.  Gayanya lugas, cerdas dan ceplas-ceplos. Terkadang juga kritis, tajam pada pokok persoalan. Suka humor, dan ini yang ku suka : wawasannya luas.

Aku tahu mereka ini begitu banyak membaca dari berbagai sumber bacaan. Apa saja bisa dibincangkan dan selalu nyambung. Soal politik, ekonomi apalagi cerita-cerita. Aku kalah jauh. Soal prestasi sekolah, seingatku duet perempuan ini termasuk yang diperhitungkan. Kalian jangan tanya aku soal prestasi sekolah, aku malu.

Satu lagi karib sebangkuku yang juga asik diajak berteman.  Ia lebih kecil dariku tapi soal kelincahan tak diragukan. Gesit dalam bergaul dan bisa merangkul, juga beradaptasi dengan mudah pada siapa saja. Kalian tahu, ia yang “menyelamatkanku” ketika teman sebangkuku terdahulu minta pindah tempat duduk, meninggalkanku.

Aku memiliki satu kelemahan utama yang memaksa harus duduk di deretan paling depan. Sejak SMP aku memang begitu. Dengan minus besar, bawaan sejak lahir, aku sulit sekali melihat papan tulis dengan jelas. Alih-alih bisa menjawab pertanyaan guru, membaca soalnya pun sulit. Aku tersiksa betul jika ada kebijakan rolling tempat duduk.

Ketika banyak teman berebut  datang pagi untuk pilih posisi duduk di awal ajaran, aku justru paling  tenang. Sudah dapat dipastikan jarang ada yang mau duduk paling depan. Kalaupun ada pasti “kecelakaan”. Bagiku justru berkah.

Ketika SMP aku sempat ditinggalkan teman sebangkuku juga. Ia pindah bukan tanpa alasan. Prilakunya yang nakal membuat ia dipindahkan ke kelas lain. Karena sulit diatur, ia akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Kabar terakhir yang ku dengar, ia kini sudah almarhum karena kelebihan dosis. Ah, sudahlah aku tak ingin menceritakan aib orang yang sudah tidak ada.

Ada satu kebiasaan kami yang selalu kuingat hingga kini. Karena bosan belajar dan mendengarkan ocehan guru, kami berempat sering ngobrol lewat secarik kertas. Kata-kata berbalas kata-kata. Ada cemooh, canda, gosip, atau informasi gak penting. Tapi kami sering cekikikan. Tawa kami terhenti begitu guru menoleh. Kertas, kami sembunyikan sebisa-bisanya. Kalau aku, paling hobi menyimpan di paha bawah.

Tanpa kami sadari cara komunikasi seperti itu justru efektif. Membuat suasana kelas tidak jemu dan mengikat keakraban. Segala yang sulit diverbalkan, mudah tertuang dalam satu-dua baris kalimat atau kurang. Kami bisa menumpahkan apa saja lewat  media itu.

Dua pria dan dua wanita.  Inilah kami. Unik karena kebebasan dalam bergaul. Perasaan hati lepas karena masing-masing dari kami bisa menjaga privasi. Aku tahu, dua teman wanitaku ini memang sudah memiliki teman pria yang ditaksir. Aku tahu betul itu. Begitu juga dengan teman sebangkuku yang juga tidak lagi sendiri. Aku, juga begitu. Inilah enaknya bersahabat yang tanpa sekat.

Keakraban ini berlanjut sampai-sampai jika ada di antara kami yang ulang tahun, kami patungan memberi sebuah hadiah. Tidak mahal, tapi sungguh berkesan., Satu kado yang ku ingat betul ketika aku ulang tahun adalah seperangkat alat tulis, lengkap. Pensil isi ulang, pulpen, penghapus juga penggaris. Semuanya berwarna unggu. Entah mengapa mereka memilihkan warna yang tak kusuka. Tapi demi mereka tentu saja aku suka-sukakan.

Sebagai  balasan, si penerima kado harus mentraktir kami. Dan, karenanyalah peristiwa itu terjadi.
Dengan berpakaian sekolah yang masih lengkap, kami berangkat menuju Pasar Baru. Naik metromini  P10 dari depan sekolah kami turun di Pintu Besi. Panas yang menusuk sirna oleh keceriaan kami. Aku lupa, siapa yang akan mentraktir hari itu. Yang jelas referensi untuk makan mie ayam ini datang dari temanku yang memang gemar mie. Mungkin karena ia seorang keturunan. Kalian pasti sudah pernah dengar, namanya Bakmi Gang Kelinci.

Seumur-umur aku belum pernah ke sana.. Tempatnya di belakangan pertokoan Pasar Baru. Tempatnya memang di gang yang sumpek. Jejal-berjejal dengan rumah-rumah penduduk yang padat. Aku juga tak mempertimbangkan lagi, apakah makanan itu halal atau tidak. Aku percaya saja. Dan harus diakui, mie ayam ini memang benar-benar bisa menggoyang lidah.

Pulang dengan badan yang masih kuyup keringat, kami tidak langsung mencari bus pulang. Tapi, sebentar melihat-lihat keramaian mall. Inilah bodohnya kami. Pergi dengan tidak berganti pakaian. Kami begitu mencolok. Di era yang sedang getol tawuran, kami benar-benar santapan empuk.

Empat pria tanggung, sebaya kami tiba-tiba menghampiriku dan juga teman sebangkuku. Dengan wajah yang disangar-sangarkan, salah seorang dari mereka mencolekku. Ia mendekatkan hidungnya yang bau ke kuping kiriku. Nada ancamannya memang membuat aku takut. Bau alkohol dan keringatnya membuatku mual. Aku bertahan dengan berbagai alasan, ketika mereka meminta sejumlah uang.

Aku tahu mereka juga terjepit karena suasana yang ramai. Aku mengulur waktu. Aku dipaksa ke sudut deretan celana-celana jins tapi kutolak. Aku tetap bertahan. Sekali lagi, aku molorkan waktu. Sayang, tidak demikian dengan teman sebangkuku. Ancaman beralih padanya, begitu mereka melihat ada jam yang melingkar bisa direbut. Siapapun akan menyerahkan barangnya, kalau sudah terjepit seperti itu.

Ia akhirnya merelakan jam hitamnya. Aku mengigil takut. Sungguh, aku tak membayangkan kalau mereka tidak mendapat sesuatu yang tidak diinginkan. Sekali lagi, temanku “menyelamatkan” kami. Meski untuk itu ia harus kehilangan jam tangannya. Lebih beruntung lagi, dua temanku yang lainnya tidak sempat diapa-apakan. Mereka berada dalam jarak yang aman.

Kami pulang dalam kebisuan. Ayunan kaki  kami dipercepat, dua langkah-dua langkah. Menghindari mereka yang sebenarnya sudah menghilang. Tapi, ketakutan itu tetap saja sulit dihapus, bahkan hingga di rumah.
Kini, 18 tahun sudah peristiwa itu berlalu. Aku juga tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke Bakmi Gang Kelinci.  Pengalaman pertama, mungkin juga terakhir.

Ini hanya sekelumit cerita kecil tentang tiga teman-teman baikku semasa SMA. Kapan-kapan  akan aku ceritakan lagi cerita lainnya. Aku sungguh tak ingin kehilangan mereka, setelah belasan tahun tak bertemu, meski lewat maya.

Cerita ini bisa saja tidak menarik atau membosankan. Tapi kisah ini adalah sepotong memori yang kurajut dalam kerinduan. Persahabatan itu terlalu berharga untuk dihapus.

Glora: 10:05:2010

Tidak ada komentar: