Selasa, 18 Mei 2010

Sundal Kampung

Aku bukan sundal atau pelacur
Aku hanya berbalas budi
Jangan tanya kenapa
Karena kalian, aku begini

Aku dilahirkan tidak seperti kebanyakan bayi perempuan di kampungku. Perempuan sering diposisikan sebagai pelengkap. Bahkan, lebih buruk dari itu. Kaumku mungkin lebih pantas dianggap sebagai budak. Dipaksa bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan semata pelengkap, tapi ujung tombak, juga tulang punggung.

Ibuku juga begitu. Sehabis menyiapkan sarapan nasi putih ditambah semangkuk sayur tumis campur tempe tanpa lauk, ia sudah bergegas ke belakangan. Memberesi setumpuk cucian yang kemarin kami pakai. Berjarak lima ratus meter ke bawah, tempat dimana air sungai mengalir deras, Ibu membilaskan semua pakaian kami. Setumpuk cucian setengah basahd dalam anyaman itu kemudian dinaikkan di atas pundak sebelah kiri, sembari bertopang pada tangga-tangga batu yang licin dan perpegangan di ranting-ranting pohon yang ringkih.

Tak sampai sejam di bawah, ia harus bersegera  menjerengkan pakaian-pakaian agar  cepat mengering, karena siang di kampungku terasa lebih pendek. Ia kemudian berbilas sebentar, di kamar mandi bambu kami yang atapnya terbuka. Jambannya hanya bersebelahan yang kalau berdiri niscaya auratmu kelihatan.

Ibu biasa mengenakan semacam jarik kalau mandi. Berjaga-jaga kalau-kalau ada yang nakal menikmati kemolekan tubuh Ibu. Tubuh Ibu putih mulus. Wajahnya memanjang dengan dagu lebah menggantung, serasi dengan pipinya yang tirus. Matanya menyipit ke atas, dihiasi ratusan semut alis yang menyatu tipis di tengah dahi. Rambutnya meski saban hari  digelung, tetap terlihat lurus tebal jika diurai. Betisnya talas mungil, dihiasi bulu-bulu kecil. Pinggulnya meliuk tajam tepat di perut. Jika berjalan, siapapun akan terpesona.
Ibu memang cantik. Teramat cantik seperti parasku, begitu teman-temanku bilang. Aku sendiri merasa biasa saja. Mungkin kesamaan nasib yang, kelak, membuat  kami serupa.

Aku dilahirkan sebegitu beruntung. Kalau tidak, mana bisa aku  sebesar ini. Seperti aku bilang, di kampungku perempuan memang kurang diinginkan. Perempuan terlanjur dianggap lemah, dan karenanya bisa dibuat semena-mena. Kalau perlu dibinasakan. Tidak. Aku tidak belebihan.

Buktinya, jumlah kami hanya kurang seperempat dari lelaki. Hanya perempuan-perempuan beruntunglah yang bisa dibiarkan hidup besar. Kami tak lebih sebagai pemuas nafsu. Dan kerbau  pembajak nafkah.
Lelaki ditakdirkan sebagai penerus trah yang begitu diangungkan, sakral dan suci. Meski sejatinya mereka sungguh sebagai mahluk pemalas, sekaligus serakah bahkan dibandingkan monyet sekali pun.

Di rumah, kami hidup sepasang : dua lelaki dan dua perempuan. Adikku yang masih kecil, sering diperlakukan istimewa. Bangun tidur, bisa langsung duduk santai di teras rumah sambil tidur-tiduran lagi di bale-bale dan memerintahku seenaknya untuk dibikinkan teh juga pisang atau singkong rebus.  Ini bukan kurang ajar, karena memang begitu tradisi di kampungku.

Aku tidak berani menolak meski terhadap adikku sendiri. Penolakan perintah lelaki dianggap dosa besar, walau keluar dari mulut seorang bocah lelaki kecil.  Aku pernah dipukul sampai pahaku memerah, ketika adikku minta diambilkan minum sehabis makan. Aku sebenarnya bukan enggan, tapi kebetulan saja perutku sedang sakit.

“Cai, kamu dengar tidak, adikmu minta diambilkan minum?” teriak Bapak.

“Sebentar Pak, perutku lagi sakit,”

“Ah, alasan. CEPAT  ambilkan!” perintahnya keras.

“Aku gak bisa berjalan, Pak. Sakit,” aku merintih.

Bapak tidak lagi bicara. Kali ini, ia mengambil pukulan kasur rotan yang tergantung di samping pintu. Tanpa ampun, ia menarikku dari kursi. Memukul dengan kekuatan penuh mengenai paha depanku. Aku menjerit. Percuma aku menangis, bisa-bisa pukulannya makin kencang. Cara satu-satunya adalah  melaksanakan perintahnya.

Ibu terdiam. Sama sekali tidak membela. Matanya nanar, penuh iba ke arahku. Aku tahu, hatinya ikut sakit, tapi tak bisa apa-apa. Ia memberikan isyarat mata yang dipejamkan sebentar. Aku paham isyarat itu, agar segera memenuhi permintaan Bapak. Tidak ada gunanya lagi berbantah.

Keberadaan kami dibatasi. Baik secara definitif atau karena eksternalitas negatif sikap biadab para lelaki. Atau, aturan adat yang sudah keblinger. Begitu ada seorang Bapak yang tahu bahwa istrinya  mengandung anak perempuan, segera digugurkan.  Di bekap bapaknya sendiri, atau lewat dukun.
Kalau sudah terlanjur membesar akan dibiarkan. Tetapi dengan terlebih dahulu dibicarakan dan dikompromikan dengan tetua adat. Perlakuan apa yang pantas untuknya jika besar nanti.

Hidup bukan berkah bagi kami, kaum perempuan yang dibiarkan hidup. Penderitaan jauh dari selesai. Berbagai perlakuan diskirminatif segera diterapkan. Soal kewajiban, fasilitas, apalagi hak. Banyak di antara bayi-bayi perempuan yang akhirnya dibolehkan hidup itu akhirnya mati mengenaskan. Tentu saja, para dukun sedeng itu akan membiarkan bayi-bayi perempuan ini mati jika mengalami sakit. Layanan kesehatan adalah barang mahal.

Nyawa seorang bayi perempuan bukan lagi di tangan Tuhan. Tapi sekumpulan orang-orang sinting itu. Hanya warga tertentu yang boleh membesarkan bayi perempuannya. Aku salah satunya. Karena aku istimewa…

Bukan karena kebetulan Bapakku atau moyangku termasuk trah terhormat, sehingga Ibu dibolehkan melahirkan bayi perempuannya. Seperti ku bilang, paras Ibu memang cantik, jauh melampaui perempuan-perempuan di kampungku. Ibu memang bukan penduduk asli. Ia pendatang, yang karena keterpaksaan dikawinkan dengan Bapakku yang gila perempuan.

Bapak muda memang sering keluar kampung kalau sedang suntuk di rumah. Layaknya lelaki kebayakan di kampungku, Bapak tidak mempunyai pekerjaan tetap. Untuk mendapat uang Bapak sering ke kota. Bukan bekerja tapi berjudi. Apa saja bisa dijudikan di sana. Mulai sabung ayam, main kartu, taruhan sepakbola tarkam, atau apa saja. Apapun bisa dipertaruhkan.

Kegilaannya terhadap judi pula yang menghantarkannya pada sosok perempuan yang belakangan dinikahinya. Ia naik pitam ketika ditantang lawan judinya bermain gaple sembilan putaran tanpa henti. Kumis Bapak memang ketel, tapi selalu dilecehkan karena dianggap pengecut. Seminggu sebelumnya, Bapak terbirit  dikejar lawan main karena meninggalkan arena yang dimenangkannya separuh.

Tak terima lecehan, ia menaikkan taruhan tak masuk akal. Bapak tidak minta taruhan benda apalagi uang tapi seorang perempuan,  istri di antara pemain lawan yang baru dinikahinya seminggu. Bapak menawarkan dua adik perempuanya. Tentu saja buat Bapak ini bukan taruhan berharga. Mungkin justru buang sial.

Dari sembilan pertandingan, Bapak memenangkan lima seri. Di sini tidak ada yang berani  ingkar. Karena itu sama artinya dengan kematian. Keman pun pasti dikejar, sebelum kemudian dibunuh. Bapak berhasil  membawa perempuan berparas cantik itu ke kampung untuk dinikahi. Semua tertegun menyaksikan perempuan ini. Benar-benar cantik. Luar biasa.

Pemuda-pemuda berkerumun ketika Bapak memamerkan perempuan belia itu. Bahkan, sore itu pula meminta restu agar bisa dinikahkan dengan tetua adat.

Malamnya, Bapak langsung mengajak perempuan ini  ke sebuah gubuk. Ia membiarkan pintu setengah terbuka dan jendela separuh tertutup. Ia ingin memamerkan keperkasaan dan kehebatan mendapatkan gadis secantik ini. Kegairahan itu diumbar. Libo laki-laki penjudi itu benar-benar seperti monyet.

Tujuh bulan setelah itu, kandungan Ibu makin besar. Dukun sudah bisa memprediksi bayinya perempuan. Bapak tentu saja murka. Ia ingin segera mengugurkan keturunannya sendiri. Tapi, Ibu menampik keras. Bapak tahu, perempuan hanya akan menjadi beban dan menyusahkan.

Ibu sampai tersedu, memohon agar bayi ini dipertahankan. Ia bahkan berjanji akan berbuat apa saja agar bayinya bisa tetap hidup. Di hadapan tetua adat, Ibu akhirnya diizinkan membesarkan anaknya. Hanya saja, perlu  satu transaksi sinting yang harus disetujui: kelak ketika anak peremuannya besar, ia harus bersedia menyemai benih para lelaki yang ditunjuk di kampung ini. Alasannya juga tidak masuk akal : merubah keturunan kampung ini-secara fisik.

Jujur, tampang-tampang mereka memang menjijikan. Bukan. Aku tidak ingin menghina Tuhan yang menciptakan manusia. Hanya… hanya tak habis mengerti saja, mengapa mereka bisa tetap bertahan hidup dengan prilaku binatang seperti itu. Wajah buruk mereka memang mencerminkan perangainya. Sama sekali tidak ada keseimbangan.

Ibu menangis. Ia dihadapkan pada pilihan buntu. Ingin mempertahankan bayi ini atau membiarkannya mati sebelum lahir. Ibu menawarkan diri. Tapi Bapak menolak. Tentu saja pria egois ini tidak ingin berbagi kenikmatan dengan pria-pria lain. Ibu sulit membayangkan anak perempuannya kelak diperlakukan seperti pelacur.

***

Kini, di umurku yang sudah 25 tahun, aku makin tersiksa. Anaku sudah sepuluh. Tersebar di beberapa rumah. Ibu, kian hari sakit-sakitan. Fisiknya tak lagi kuat mengangkut berkilo-kilo ikan tambak milik tetua adat. Bersama perempuan-perempuan lain, Ibu terpaksa mencari uang sebagai kuli, bertahun-tahun.

Tapi, ada yang tak berubah. Parasnya tetap cantik, menawan siapa saja yang melihat. Bapak masih sulit melepaskan Ibu meski itu yang meminta sang tetua adat sendiri. Dan karena itulah aku tetap jadi pelacur di sini. Kian hari kebencianku memuncak para pria itu. Ia menyandera Ibu sebegitu rupa. Kelakuannya juga makin tak dibendung. Makin sering mabuk, madat judi dan tetap main perempuan di kota.

Aku juga terpenjara dalam kampung keparat ini. Ingin sekali aku melepas statusku sebagai sundal kampung. Tapi, aku sulit lari dari keadaan. Aku ingin mati, tapi tak bisa. Aku berusaha berkali-kali coba  bunuh diri, tapi tak kuasa. Bapak bersama tetua adat sepakat akan menghabisi Ibu juga kalau sampai aku mati. Aku dihadapkan lagi-lagi pada pilihan buntu. Ibu yang membuatku hidup. Lantas, pantaskah aku yang harus “membunuhnya”?

Aku makin tersiksa karena delapan dari sepeluh anakku perempuan. Mereka cantik-cantik dan tampan-tampan. Kampungku memang sudah berubah sekarang, setidaknya dari raut dan fisik yang enak dilihat. Orang-orang kampung ini makin menginginkan aku. Tubuhku. Bukan cuma vaginaku, tapi rahimku. Kelak, mungkin juga anak-anak perempuanku.

Barangkali aku, Ibu juga anak-anaku adalah spesies yang memang mereka inginkan selama ini. Sialnya, aku hanya sendiri, menghadapi birahi dan hasrat lekaki kampung bejat yang ingin merubah kampungnya menjadi sempurna, meski kosong jiwa.

Kalian, tak usah tahu nama lengkapku, panggil saja aku Cai, si wanita sundal-pelacur. Begitukan mau kalian? []

Bojong Kulur: 18:05:2010

Tidak ada komentar: