Minggu, 16 Mei 2010

Takluknya Sang Jendral

Aku dulu pernah bercita-cita ingin jadi tentara. Terlihat gagah dengan seragam, dan angker. Siapapun akan sungkan, atau mungkin juga takut. Kemanapun aku pergi pasti menjadi perhatian.

Tapi itu dulu. Setelah aku divonis berkacamata, angan-angan itu pudar. Belakangan aku sadar, apa enaknya jadi tentara. Kalau alasannya ingin gagah, toh dengan seragam kerja juga bisa. Ingin ditakuti? tidak perlu, karena sekarang orang lebih takut sama duit dan kekuasaan.

Pengabdian pada negara tidak usah repot-repot, karena semua warga negara diberi kesempatan sama untuk mengabdi. Lewat pajak yang dibayarkan, kita sudah memberikan pengorbanan pada negara. Meski setelah itu kita juga baru sadar kalau pengorbanan itu ternyata sia-sia: dirampok para kolektor-kolektor pajak.

Lewat uang, kita bisa mengatur. Kekuasaan pun bisa dikendalikan dengan mudah. Siapa bilang demokrasi diatur oleh suara terbanyak? Suara rakyat apakah benar suara Tuhan? wong, rakyatnya saja suka menyelingkuhi Tuhan. Jadi, berani betul kita mewakilkan pilihan kita pada Tuhan. Demokrasi itu adalah pencitraan. Siapa yang unggul pasti menang. Anda juga bisa dipoles begitu ciamik di mata publik, kalau mau. Persoalannya apakah anda punya uang? Kalau punya buatlah iklan terus-menerus dan jangan lupa berlakulah seolah anda orang suci di mata publik.

Apa berhasil? Mungkin. Tergantung bagaimana anda mendekatkan diri pada para pengusaha. Apa pentingnya pengusaha? Lho, mereka ini yang mengendalikan negara. Negara boleh mengklaim bisa mengkapitalisasikan PDB hingga Rp 6.300 trilyun. Tapi, dari mana uang sebanyak itu kalau tidak dari pengusaha. Lagi pula, APBN itu hanya sebagian kecil gambaran sebuah perekonomian. Perhitungan di luar itu, sangat besar, dan itu yang mengendalikan adalah pengusaha.

Jadi, siapapun anda kalau tidak menggandeng pengusaha akan sulit. Lebih sempurna lagi kalau anda adalah pengusaha sekaligus politisi. Nah, ini baru klop. Sebagai pengusaha anda tentu memiliki kolega besar. Uang tentu tidak jadi soal. Terlebih ketika anda adalah seorang yang berpengaruh di sebuah partai besar. Pergerakan politisi itu seperti belut, dan pikiran pengusaha itu selincah ular: menghindar dan menyambar begitu ada kesempatan.

Kalau tentara, kaku dengan garis komando tegas. Perhitungan cermat lebih dipentingkan, meski kecepatan juga menentukan. Dengan pola pikir seperti ini, tentu menjadi santapan empuk si pengusaha-politisi tadi.

Tololnya,  sejawat-sejawat politisi-pengusaha ini tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu-dayai. Mereka digiring ramai-ramai untuk merongrong penguasa yang kebetulan seorang bekas Jendral. Ia menggunakan cara paling purba, yakni menciptakan musuh bersama.

Di singgasana, Sang Jendral yang sedang pusing memikirkan nasib teman duetnya dan pembantunya -yang mulai banyak diprotes- berfikir keras agar kekuasaannya tidak goyang. Maka, dirangkulah pengusaha-politisi ini untuk ikut memperkuat posisi dengan diberi jabatan pretisius, menjaga keutuhan koalisi.
Sang Jendral pun senang. Si pengusaha-politisi lebih senang lagi. Dua tujuan bisa tercapai: menyingkirkan musuhnya karena mengusik-usik tunggakan-tunggakan upetinya pada negara, di saat sama bisa mengambil ancang-ancang untuk pemilu mendatang.

Sang Jendral tidak menyadari bahaya yang mengintai. Sesungguhnyalah, ini hanya dendam-ambisi yang disatukan. Targetnya tentu saja kekuasaan. Pengusaha-politisi itu ingin menduduki singgasana. Ia merangkul pelan-pelan dari bawah. Tapi, kita tahu, mulutnya terus mendesis, lidahnya yang penuh buih bisa, menjulur-julur mencari kesempatan. Sang Jendral yang kini bisa terlelap, makin lengah. Si ular terus siaga menunggu waktu yang tepat.

Ular itu bersembunyi diranting-ranting pohon yang tertutup rimbunan daun pohon beringin. Sang Jendral makin pulas oleh desiran angin yang menyejukkan di bawah pohon tua itu.
***
Aku sekarang tambah bingung. Apakah ingin jadi pengusaha, politisi atau tentara. Ah, sudahlah aku lebih menikmati duniaku sekarang. Bebas menulis, mengkritisi diri sendiri dan mentertawai kalian. []

Glora: 11:05:2010

Tidak ada komentar: