Rabu, 19 Mei 2010

hilang


dua pagi tanpa ciuman
meringkuk kecut di kesendirian
: perih

aku
masygul
kamu
isak

hadirmu tak mengganjilkan
pergimu begitu menggenapkan

,aku dimana
,kamu entah


Bojong Kulur: 20:05:2010

Selasa, 18 Mei 2010

Sundal Kampung

Aku bukan sundal atau pelacur
Aku hanya berbalas budi
Jangan tanya kenapa
Karena kalian, aku begini

Aku dilahirkan tidak seperti kebanyakan bayi perempuan di kampungku. Perempuan sering diposisikan sebagai pelengkap. Bahkan, lebih buruk dari itu. Kaumku mungkin lebih pantas dianggap sebagai budak. Dipaksa bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan semata pelengkap, tapi ujung tombak, juga tulang punggung.

Ibuku juga begitu. Sehabis menyiapkan sarapan nasi putih ditambah semangkuk sayur tumis campur tempe tanpa lauk, ia sudah bergegas ke belakangan. Memberesi setumpuk cucian yang kemarin kami pakai. Berjarak lima ratus meter ke bawah, tempat dimana air sungai mengalir deras, Ibu membilaskan semua pakaian kami. Setumpuk cucian setengah basahd dalam anyaman itu kemudian dinaikkan di atas pundak sebelah kiri, sembari bertopang pada tangga-tangga batu yang licin dan perpegangan di ranting-ranting pohon yang ringkih.

Tak sampai sejam di bawah, ia harus bersegera  menjerengkan pakaian-pakaian agar  cepat mengering, karena siang di kampungku terasa lebih pendek. Ia kemudian berbilas sebentar, di kamar mandi bambu kami yang atapnya terbuka. Jambannya hanya bersebelahan yang kalau berdiri niscaya auratmu kelihatan.

Ibu biasa mengenakan semacam jarik kalau mandi. Berjaga-jaga kalau-kalau ada yang nakal menikmati kemolekan tubuh Ibu. Tubuh Ibu putih mulus. Wajahnya memanjang dengan dagu lebah menggantung, serasi dengan pipinya yang tirus. Matanya menyipit ke atas, dihiasi ratusan semut alis yang menyatu tipis di tengah dahi. Rambutnya meski saban hari  digelung, tetap terlihat lurus tebal jika diurai. Betisnya talas mungil, dihiasi bulu-bulu kecil. Pinggulnya meliuk tajam tepat di perut. Jika berjalan, siapapun akan terpesona.
Ibu memang cantik. Teramat cantik seperti parasku, begitu teman-temanku bilang. Aku sendiri merasa biasa saja. Mungkin kesamaan nasib yang, kelak, membuat  kami serupa.

Aku dilahirkan sebegitu beruntung. Kalau tidak, mana bisa aku  sebesar ini. Seperti aku bilang, di kampungku perempuan memang kurang diinginkan. Perempuan terlanjur dianggap lemah, dan karenanya bisa dibuat semena-mena. Kalau perlu dibinasakan. Tidak. Aku tidak belebihan.

Buktinya, jumlah kami hanya kurang seperempat dari lelaki. Hanya perempuan-perempuan beruntunglah yang bisa dibiarkan hidup besar. Kami tak lebih sebagai pemuas nafsu. Dan kerbau  pembajak nafkah.
Lelaki ditakdirkan sebagai penerus trah yang begitu diangungkan, sakral dan suci. Meski sejatinya mereka sungguh sebagai mahluk pemalas, sekaligus serakah bahkan dibandingkan monyet sekali pun.

Di rumah, kami hidup sepasang : dua lelaki dan dua perempuan. Adikku yang masih kecil, sering diperlakukan istimewa. Bangun tidur, bisa langsung duduk santai di teras rumah sambil tidur-tiduran lagi di bale-bale dan memerintahku seenaknya untuk dibikinkan teh juga pisang atau singkong rebus.  Ini bukan kurang ajar, karena memang begitu tradisi di kampungku.

Aku tidak berani menolak meski terhadap adikku sendiri. Penolakan perintah lelaki dianggap dosa besar, walau keluar dari mulut seorang bocah lelaki kecil.  Aku pernah dipukul sampai pahaku memerah, ketika adikku minta diambilkan minum sehabis makan. Aku sebenarnya bukan enggan, tapi kebetulan saja perutku sedang sakit.

“Cai, kamu dengar tidak, adikmu minta diambilkan minum?” teriak Bapak.

“Sebentar Pak, perutku lagi sakit,”

“Ah, alasan. CEPAT  ambilkan!” perintahnya keras.

“Aku gak bisa berjalan, Pak. Sakit,” aku merintih.

Bapak tidak lagi bicara. Kali ini, ia mengambil pukulan kasur rotan yang tergantung di samping pintu. Tanpa ampun, ia menarikku dari kursi. Memukul dengan kekuatan penuh mengenai paha depanku. Aku menjerit. Percuma aku menangis, bisa-bisa pukulannya makin kencang. Cara satu-satunya adalah  melaksanakan perintahnya.

Ibu terdiam. Sama sekali tidak membela. Matanya nanar, penuh iba ke arahku. Aku tahu, hatinya ikut sakit, tapi tak bisa apa-apa. Ia memberikan isyarat mata yang dipejamkan sebentar. Aku paham isyarat itu, agar segera memenuhi permintaan Bapak. Tidak ada gunanya lagi berbantah.

Keberadaan kami dibatasi. Baik secara definitif atau karena eksternalitas negatif sikap biadab para lelaki. Atau, aturan adat yang sudah keblinger. Begitu ada seorang Bapak yang tahu bahwa istrinya  mengandung anak perempuan, segera digugurkan.  Di bekap bapaknya sendiri, atau lewat dukun.
Kalau sudah terlanjur membesar akan dibiarkan. Tetapi dengan terlebih dahulu dibicarakan dan dikompromikan dengan tetua adat. Perlakuan apa yang pantas untuknya jika besar nanti.

Hidup bukan berkah bagi kami, kaum perempuan yang dibiarkan hidup. Penderitaan jauh dari selesai. Berbagai perlakuan diskirminatif segera diterapkan. Soal kewajiban, fasilitas, apalagi hak. Banyak di antara bayi-bayi perempuan yang akhirnya dibolehkan hidup itu akhirnya mati mengenaskan. Tentu saja, para dukun sedeng itu akan membiarkan bayi-bayi perempuan ini mati jika mengalami sakit. Layanan kesehatan adalah barang mahal.

Nyawa seorang bayi perempuan bukan lagi di tangan Tuhan. Tapi sekumpulan orang-orang sinting itu. Hanya warga tertentu yang boleh membesarkan bayi perempuannya. Aku salah satunya. Karena aku istimewa…

Bukan karena kebetulan Bapakku atau moyangku termasuk trah terhormat, sehingga Ibu dibolehkan melahirkan bayi perempuannya. Seperti ku bilang, paras Ibu memang cantik, jauh melampaui perempuan-perempuan di kampungku. Ibu memang bukan penduduk asli. Ia pendatang, yang karena keterpaksaan dikawinkan dengan Bapakku yang gila perempuan.

Bapak muda memang sering keluar kampung kalau sedang suntuk di rumah. Layaknya lelaki kebayakan di kampungku, Bapak tidak mempunyai pekerjaan tetap. Untuk mendapat uang Bapak sering ke kota. Bukan bekerja tapi berjudi. Apa saja bisa dijudikan di sana. Mulai sabung ayam, main kartu, taruhan sepakbola tarkam, atau apa saja. Apapun bisa dipertaruhkan.

Kegilaannya terhadap judi pula yang menghantarkannya pada sosok perempuan yang belakangan dinikahinya. Ia naik pitam ketika ditantang lawan judinya bermain gaple sembilan putaran tanpa henti. Kumis Bapak memang ketel, tapi selalu dilecehkan karena dianggap pengecut. Seminggu sebelumnya, Bapak terbirit  dikejar lawan main karena meninggalkan arena yang dimenangkannya separuh.

Tak terima lecehan, ia menaikkan taruhan tak masuk akal. Bapak tidak minta taruhan benda apalagi uang tapi seorang perempuan,  istri di antara pemain lawan yang baru dinikahinya seminggu. Bapak menawarkan dua adik perempuanya. Tentu saja buat Bapak ini bukan taruhan berharga. Mungkin justru buang sial.

Dari sembilan pertandingan, Bapak memenangkan lima seri. Di sini tidak ada yang berani  ingkar. Karena itu sama artinya dengan kematian. Keman pun pasti dikejar, sebelum kemudian dibunuh. Bapak berhasil  membawa perempuan berparas cantik itu ke kampung untuk dinikahi. Semua tertegun menyaksikan perempuan ini. Benar-benar cantik. Luar biasa.

Pemuda-pemuda berkerumun ketika Bapak memamerkan perempuan belia itu. Bahkan, sore itu pula meminta restu agar bisa dinikahkan dengan tetua adat.

Malamnya, Bapak langsung mengajak perempuan ini  ke sebuah gubuk. Ia membiarkan pintu setengah terbuka dan jendela separuh tertutup. Ia ingin memamerkan keperkasaan dan kehebatan mendapatkan gadis secantik ini. Kegairahan itu diumbar. Libo laki-laki penjudi itu benar-benar seperti monyet.

Tujuh bulan setelah itu, kandungan Ibu makin besar. Dukun sudah bisa memprediksi bayinya perempuan. Bapak tentu saja murka. Ia ingin segera mengugurkan keturunannya sendiri. Tapi, Ibu menampik keras. Bapak tahu, perempuan hanya akan menjadi beban dan menyusahkan.

Ibu sampai tersedu, memohon agar bayi ini dipertahankan. Ia bahkan berjanji akan berbuat apa saja agar bayinya bisa tetap hidup. Di hadapan tetua adat, Ibu akhirnya diizinkan membesarkan anaknya. Hanya saja, perlu  satu transaksi sinting yang harus disetujui: kelak ketika anak peremuannya besar, ia harus bersedia menyemai benih para lelaki yang ditunjuk di kampung ini. Alasannya juga tidak masuk akal : merubah keturunan kampung ini-secara fisik.

Jujur, tampang-tampang mereka memang menjijikan. Bukan. Aku tidak ingin menghina Tuhan yang menciptakan manusia. Hanya… hanya tak habis mengerti saja, mengapa mereka bisa tetap bertahan hidup dengan prilaku binatang seperti itu. Wajah buruk mereka memang mencerminkan perangainya. Sama sekali tidak ada keseimbangan.

Ibu menangis. Ia dihadapkan pada pilihan buntu. Ingin mempertahankan bayi ini atau membiarkannya mati sebelum lahir. Ibu menawarkan diri. Tapi Bapak menolak. Tentu saja pria egois ini tidak ingin berbagi kenikmatan dengan pria-pria lain. Ibu sulit membayangkan anak perempuannya kelak diperlakukan seperti pelacur.

***

Kini, di umurku yang sudah 25 tahun, aku makin tersiksa. Anaku sudah sepuluh. Tersebar di beberapa rumah. Ibu, kian hari sakit-sakitan. Fisiknya tak lagi kuat mengangkut berkilo-kilo ikan tambak milik tetua adat. Bersama perempuan-perempuan lain, Ibu terpaksa mencari uang sebagai kuli, bertahun-tahun.

Tapi, ada yang tak berubah. Parasnya tetap cantik, menawan siapa saja yang melihat. Bapak masih sulit melepaskan Ibu meski itu yang meminta sang tetua adat sendiri. Dan karena itulah aku tetap jadi pelacur di sini. Kian hari kebencianku memuncak para pria itu. Ia menyandera Ibu sebegitu rupa. Kelakuannya juga makin tak dibendung. Makin sering mabuk, madat judi dan tetap main perempuan di kota.

Aku juga terpenjara dalam kampung keparat ini. Ingin sekali aku melepas statusku sebagai sundal kampung. Tapi, aku sulit lari dari keadaan. Aku ingin mati, tapi tak bisa. Aku berusaha berkali-kali coba  bunuh diri, tapi tak kuasa. Bapak bersama tetua adat sepakat akan menghabisi Ibu juga kalau sampai aku mati. Aku dihadapkan lagi-lagi pada pilihan buntu. Ibu yang membuatku hidup. Lantas, pantaskah aku yang harus “membunuhnya”?

Aku makin tersiksa karena delapan dari sepeluh anakku perempuan. Mereka cantik-cantik dan tampan-tampan. Kampungku memang sudah berubah sekarang, setidaknya dari raut dan fisik yang enak dilihat. Orang-orang kampung ini makin menginginkan aku. Tubuhku. Bukan cuma vaginaku, tapi rahimku. Kelak, mungkin juga anak-anak perempuanku.

Barangkali aku, Ibu juga anak-anaku adalah spesies yang memang mereka inginkan selama ini. Sialnya, aku hanya sendiri, menghadapi birahi dan hasrat lekaki kampung bejat yang ingin merubah kampungnya menjadi sempurna, meski kosong jiwa.

Kalian, tak usah tahu nama lengkapku, panggil saja aku Cai, si wanita sundal-pelacur. Begitukan mau kalian? []

Bojong Kulur: 18:05:2010

Minggu, 16 Mei 2010

Empat Sahabat

Persahabatan ini terjalin begitu saja. Bukan karena kebetulan aku duduk berpunggungan, lantas bisa berakrab dengan mereka. Dua teman sekelas wanitaku ini memang spesial.  Gayanya lugas, cerdas dan ceplas-ceplos. Terkadang juga kritis, tajam pada pokok persoalan. Suka humor, dan ini yang ku suka : wawasannya luas.

Aku tahu mereka ini begitu banyak membaca dari berbagai sumber bacaan. Apa saja bisa dibincangkan dan selalu nyambung. Soal politik, ekonomi apalagi cerita-cerita. Aku kalah jauh. Soal prestasi sekolah, seingatku duet perempuan ini termasuk yang diperhitungkan. Kalian jangan tanya aku soal prestasi sekolah, aku malu.

Satu lagi karib sebangkuku yang juga asik diajak berteman.  Ia lebih kecil dariku tapi soal kelincahan tak diragukan. Gesit dalam bergaul dan bisa merangkul, juga beradaptasi dengan mudah pada siapa saja. Kalian tahu, ia yang “menyelamatkanku” ketika teman sebangkuku terdahulu minta pindah tempat duduk, meninggalkanku.

Aku memiliki satu kelemahan utama yang memaksa harus duduk di deretan paling depan. Sejak SMP aku memang begitu. Dengan minus besar, bawaan sejak lahir, aku sulit sekali melihat papan tulis dengan jelas. Alih-alih bisa menjawab pertanyaan guru, membaca soalnya pun sulit. Aku tersiksa betul jika ada kebijakan rolling tempat duduk.

Ketika banyak teman berebut  datang pagi untuk pilih posisi duduk di awal ajaran, aku justru paling  tenang. Sudah dapat dipastikan jarang ada yang mau duduk paling depan. Kalaupun ada pasti “kecelakaan”. Bagiku justru berkah.

Ketika SMP aku sempat ditinggalkan teman sebangkuku juga. Ia pindah bukan tanpa alasan. Prilakunya yang nakal membuat ia dipindahkan ke kelas lain. Karena sulit diatur, ia akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Kabar terakhir yang ku dengar, ia kini sudah almarhum karena kelebihan dosis. Ah, sudahlah aku tak ingin menceritakan aib orang yang sudah tidak ada.

Ada satu kebiasaan kami yang selalu kuingat hingga kini. Karena bosan belajar dan mendengarkan ocehan guru, kami berempat sering ngobrol lewat secarik kertas. Kata-kata berbalas kata-kata. Ada cemooh, canda, gosip, atau informasi gak penting. Tapi kami sering cekikikan. Tawa kami terhenti begitu guru menoleh. Kertas, kami sembunyikan sebisa-bisanya. Kalau aku, paling hobi menyimpan di paha bawah.

Tanpa kami sadari cara komunikasi seperti itu justru efektif. Membuat suasana kelas tidak jemu dan mengikat keakraban. Segala yang sulit diverbalkan, mudah tertuang dalam satu-dua baris kalimat atau kurang. Kami bisa menumpahkan apa saja lewat  media itu.

Dua pria dan dua wanita.  Inilah kami. Unik karena kebebasan dalam bergaul. Perasaan hati lepas karena masing-masing dari kami bisa menjaga privasi. Aku tahu, dua teman wanitaku ini memang sudah memiliki teman pria yang ditaksir. Aku tahu betul itu. Begitu juga dengan teman sebangkuku yang juga tidak lagi sendiri. Aku, juga begitu. Inilah enaknya bersahabat yang tanpa sekat.

Keakraban ini berlanjut sampai-sampai jika ada di antara kami yang ulang tahun, kami patungan memberi sebuah hadiah. Tidak mahal, tapi sungguh berkesan., Satu kado yang ku ingat betul ketika aku ulang tahun adalah seperangkat alat tulis, lengkap. Pensil isi ulang, pulpen, penghapus juga penggaris. Semuanya berwarna unggu. Entah mengapa mereka memilihkan warna yang tak kusuka. Tapi demi mereka tentu saja aku suka-sukakan.

Sebagai  balasan, si penerima kado harus mentraktir kami. Dan, karenanyalah peristiwa itu terjadi.
Dengan berpakaian sekolah yang masih lengkap, kami berangkat menuju Pasar Baru. Naik metromini  P10 dari depan sekolah kami turun di Pintu Besi. Panas yang menusuk sirna oleh keceriaan kami. Aku lupa, siapa yang akan mentraktir hari itu. Yang jelas referensi untuk makan mie ayam ini datang dari temanku yang memang gemar mie. Mungkin karena ia seorang keturunan. Kalian pasti sudah pernah dengar, namanya Bakmi Gang Kelinci.

Seumur-umur aku belum pernah ke sana.. Tempatnya di belakangan pertokoan Pasar Baru. Tempatnya memang di gang yang sumpek. Jejal-berjejal dengan rumah-rumah penduduk yang padat. Aku juga tak mempertimbangkan lagi, apakah makanan itu halal atau tidak. Aku percaya saja. Dan harus diakui, mie ayam ini memang benar-benar bisa menggoyang lidah.

Pulang dengan badan yang masih kuyup keringat, kami tidak langsung mencari bus pulang. Tapi, sebentar melihat-lihat keramaian mall. Inilah bodohnya kami. Pergi dengan tidak berganti pakaian. Kami begitu mencolok. Di era yang sedang getol tawuran, kami benar-benar santapan empuk.

Empat pria tanggung, sebaya kami tiba-tiba menghampiriku dan juga teman sebangkuku. Dengan wajah yang disangar-sangarkan, salah seorang dari mereka mencolekku. Ia mendekatkan hidungnya yang bau ke kuping kiriku. Nada ancamannya memang membuat aku takut. Bau alkohol dan keringatnya membuatku mual. Aku bertahan dengan berbagai alasan, ketika mereka meminta sejumlah uang.

Aku tahu mereka juga terjepit karena suasana yang ramai. Aku mengulur waktu. Aku dipaksa ke sudut deretan celana-celana jins tapi kutolak. Aku tetap bertahan. Sekali lagi, aku molorkan waktu. Sayang, tidak demikian dengan teman sebangkuku. Ancaman beralih padanya, begitu mereka melihat ada jam yang melingkar bisa direbut. Siapapun akan menyerahkan barangnya, kalau sudah terjepit seperti itu.

Ia akhirnya merelakan jam hitamnya. Aku mengigil takut. Sungguh, aku tak membayangkan kalau mereka tidak mendapat sesuatu yang tidak diinginkan. Sekali lagi, temanku “menyelamatkan” kami. Meski untuk itu ia harus kehilangan jam tangannya. Lebih beruntung lagi, dua temanku yang lainnya tidak sempat diapa-apakan. Mereka berada dalam jarak yang aman.

Kami pulang dalam kebisuan. Ayunan kaki  kami dipercepat, dua langkah-dua langkah. Menghindari mereka yang sebenarnya sudah menghilang. Tapi, ketakutan itu tetap saja sulit dihapus, bahkan hingga di rumah.
Kini, 18 tahun sudah peristiwa itu berlalu. Aku juga tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke Bakmi Gang Kelinci.  Pengalaman pertama, mungkin juga terakhir.

Ini hanya sekelumit cerita kecil tentang tiga teman-teman baikku semasa SMA. Kapan-kapan  akan aku ceritakan lagi cerita lainnya. Aku sungguh tak ingin kehilangan mereka, setelah belasan tahun tak bertemu, meski lewat maya.

Cerita ini bisa saja tidak menarik atau membosankan. Tapi kisah ini adalah sepotong memori yang kurajut dalam kerinduan. Persahabatan itu terlalu berharga untuk dihapus.

Glora: 10:05:2010

Takluknya Sang Jendral

Aku dulu pernah bercita-cita ingin jadi tentara. Terlihat gagah dengan seragam, dan angker. Siapapun akan sungkan, atau mungkin juga takut. Kemanapun aku pergi pasti menjadi perhatian.

Tapi itu dulu. Setelah aku divonis berkacamata, angan-angan itu pudar. Belakangan aku sadar, apa enaknya jadi tentara. Kalau alasannya ingin gagah, toh dengan seragam kerja juga bisa. Ingin ditakuti? tidak perlu, karena sekarang orang lebih takut sama duit dan kekuasaan.

Pengabdian pada negara tidak usah repot-repot, karena semua warga negara diberi kesempatan sama untuk mengabdi. Lewat pajak yang dibayarkan, kita sudah memberikan pengorbanan pada negara. Meski setelah itu kita juga baru sadar kalau pengorbanan itu ternyata sia-sia: dirampok para kolektor-kolektor pajak.

Lewat uang, kita bisa mengatur. Kekuasaan pun bisa dikendalikan dengan mudah. Siapa bilang demokrasi diatur oleh suara terbanyak? Suara rakyat apakah benar suara Tuhan? wong, rakyatnya saja suka menyelingkuhi Tuhan. Jadi, berani betul kita mewakilkan pilihan kita pada Tuhan. Demokrasi itu adalah pencitraan. Siapa yang unggul pasti menang. Anda juga bisa dipoles begitu ciamik di mata publik, kalau mau. Persoalannya apakah anda punya uang? Kalau punya buatlah iklan terus-menerus dan jangan lupa berlakulah seolah anda orang suci di mata publik.

Apa berhasil? Mungkin. Tergantung bagaimana anda mendekatkan diri pada para pengusaha. Apa pentingnya pengusaha? Lho, mereka ini yang mengendalikan negara. Negara boleh mengklaim bisa mengkapitalisasikan PDB hingga Rp 6.300 trilyun. Tapi, dari mana uang sebanyak itu kalau tidak dari pengusaha. Lagi pula, APBN itu hanya sebagian kecil gambaran sebuah perekonomian. Perhitungan di luar itu, sangat besar, dan itu yang mengendalikan adalah pengusaha.

Jadi, siapapun anda kalau tidak menggandeng pengusaha akan sulit. Lebih sempurna lagi kalau anda adalah pengusaha sekaligus politisi. Nah, ini baru klop. Sebagai pengusaha anda tentu memiliki kolega besar. Uang tentu tidak jadi soal. Terlebih ketika anda adalah seorang yang berpengaruh di sebuah partai besar. Pergerakan politisi itu seperti belut, dan pikiran pengusaha itu selincah ular: menghindar dan menyambar begitu ada kesempatan.

Kalau tentara, kaku dengan garis komando tegas. Perhitungan cermat lebih dipentingkan, meski kecepatan juga menentukan. Dengan pola pikir seperti ini, tentu menjadi santapan empuk si pengusaha-politisi tadi.

Tololnya,  sejawat-sejawat politisi-pengusaha ini tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu-dayai. Mereka digiring ramai-ramai untuk merongrong penguasa yang kebetulan seorang bekas Jendral. Ia menggunakan cara paling purba, yakni menciptakan musuh bersama.

Di singgasana, Sang Jendral yang sedang pusing memikirkan nasib teman duetnya dan pembantunya -yang mulai banyak diprotes- berfikir keras agar kekuasaannya tidak goyang. Maka, dirangkulah pengusaha-politisi ini untuk ikut memperkuat posisi dengan diberi jabatan pretisius, menjaga keutuhan koalisi.
Sang Jendral pun senang. Si pengusaha-politisi lebih senang lagi. Dua tujuan bisa tercapai: menyingkirkan musuhnya karena mengusik-usik tunggakan-tunggakan upetinya pada negara, di saat sama bisa mengambil ancang-ancang untuk pemilu mendatang.

Sang Jendral tidak menyadari bahaya yang mengintai. Sesungguhnyalah, ini hanya dendam-ambisi yang disatukan. Targetnya tentu saja kekuasaan. Pengusaha-politisi itu ingin menduduki singgasana. Ia merangkul pelan-pelan dari bawah. Tapi, kita tahu, mulutnya terus mendesis, lidahnya yang penuh buih bisa, menjulur-julur mencari kesempatan. Sang Jendral yang kini bisa terlelap, makin lengah. Si ular terus siaga menunggu waktu yang tepat.

Ular itu bersembunyi diranting-ranting pohon yang tertutup rimbunan daun pohon beringin. Sang Jendral makin pulas oleh desiran angin yang menyejukkan di bawah pohon tua itu.
***
Aku sekarang tambah bingung. Apakah ingin jadi pengusaha, politisi atau tentara. Ah, sudahlah aku lebih menikmati duniaku sekarang. Bebas menulis, mengkritisi diri sendiri dan mentertawai kalian. []

Glora: 11:05:2010

Minggu, 02 Mei 2010

Bersekutu Melawan Dewa

Ulasan Film "Clash of The Titans"



Di jagad ini tidak ada yang sempurna, termasuk para Dewa. Manusia membutuhkan Dewa untuk kelangsungan hidup. Begitupun, keabadian Dewa sangat ditentukan doa-doa umat manusia. Lantas, apa jadinya jika dua kekuatan ini saling berselisih. Inilah yang ditawarkan Warner Bros Pictures lewat film “Clash of The Titans”.

Manusia mungkin ditakdirkan untuk sulit berterima-kasih, bahkan membangkang kalau perlu melawan. Apa bisa, manusia melawan Tuhan (Dewa)? Anda tidak usah memakai logika untuk bisa menikmati film ber-genre petualangan dan fantasi seperti ini. Nikmati saja. Lebih tidak masuk akal lagi, ketika anda mendapati bahwa Dewa Zeus (Liam Neeson) menzinahi wanita dari golongan manusia.

Begitu kasihnya Zeus pada manusia, ia ingin memberikan pelajaran pada Raja Acrisius (Jason Flemyng) yang terang-terangan murka pada para Dewa. Zeus ingin mengikat Acrisius lewat benih di istrinya, yang mengandung putra setengah Dewa : Perseus. Namun ditolak Acrisius dan justru, bayi dan beserta istrinya ditenggelamkan ke laut.

Dewa tentu lebih berkuasa. Bayi mungil ini bisa bertahan hidup. Sialnya, lelaki inilah yang kelak, dengan gagah bisa membalaskan dendam manusia, terutama pada Dewa kegelapan dan kejahatan, Hades (Ralph Fiennes), yang telah membunuh ibu, ayah tiri, dan adiknya.
Perseus yang diperankan Sam Worthington harus diakui kurang memukau dan meyakinkan. Tentu jauh jika anda membandingkannya dengan Russell Crowe dalam “Gladiator”. Special effect yang dipamerkan film berdurasi 1 jam 35 menit ini juga biasa saja. Tidak ada hal istimewa, dan cenderung seragam saat kita menyaksikan film sejenis seperti “The Mummy”, “Lord of The Ring”, Troy”, “Scorpion King” atau “Beowulf” dan film serupa lainnya.

Sutradara Louis Letterier memang berusaha memaksimalkan para pemain, dengan pengambilan sudut-sudut gambar yang memang sulit. Kecepatan pemain harus maksimal untuk memadankan teknologi animasi, terutama saat melawan penyihir berkepala ratusan ular. Di akhir cerita kepala ular ini digunakan untuk membunuh Kraken, raksasa penghancur saat manusia di kerajaan Argos tidak bisa menumbalkan Andromeda (Alexa Davalos), sang Putri, sebagai wujud kepatuhan pada para Dewa.

Beginilah enaknya fiksi. Dewa pun bisa dikalahkan. Bahkan dengan bantuan iblis, yang menginginkan betul Dewa dibinasakan. Hades akhirnya mampu diusir dan dikirim ke negeri bawah tanah (neraka), tempat asalnya.

Zeus tentu saja bisa tetap bertahan. Ia yang “melahirkan” para manusia dan selalu menjaganya. Maka, ia membutuhkan cinta dan doa-doa yang dipanjatkan umat manusia. Zeus berpesan : “Jangan pernah melemah. Kelemahan manusia hanya membangkitkan Hades (sifat-sifat jahat)”. Bagaimana? []

Bojong Kulur: 29:04:2010