Selasa, 29 Desember 2009

Awal dari Akhir

Di tengah hiruk pikuk politik dan kasus korupsi yang memanas, ada kabar menyejukkan. Prita Mulyasari akhirnya divonis bebas oleh PN Tangerang. Kemenangan Prita atas RS Omni Internasional menegaskan banyak hal. Perjuangan ibu dua anak ini sungguh bukan sebuah akhir, tapi awal atas perjuangan yang banyak dialami oleh sebagian besar masyarakat.

Kasus Prita bukan lagi perseteruan antara orang 'kecil' melawan 'raksasa' tak terkalahkan. Prita jangan pula dianggap pesakitan yang bisa dipermainkan hukum. Mungkin ia dulu kecil, kini setelah jutaan orang mendukungnya, posisi pun menjadi seimbang. Lihatlah begitu ia diharuskan membayar Rp 204 juga karena kasus perdatanya, seluruh Indonesia mendukung dengan koin-sebagai representasi kaum lemah-hingga mencapai Rp 810 juta.

Dan, PN Tangerang telah melihat ini secara adil. Bahwa, memang tidak ada pelanggaran apapun yang dilakukan Prita terhadap keluhan-keluhan pelayanan dari RS internasional. Untuk itu, wajar Prita harus mendapatkan rehabilitasi namanya karena sempat tercemar. Yang lebih menyakitkan, terpenjara 21 hari dan jauh dari anak-anak yang sangat butuh kasih sayang seorang ibu yang masih menyusui.

Keadilan seperti inilah yang selalu dinanti rakyat. Meski disambut gembira, kita prihatin apakah untuk menghasilkan keputusan adil, perlu dukungan puluhan juta rakyat. Dan betapa terkurasnya energi kita jika untuk satu kasus hukum yang dirasa mengusik rasa keadilan, harus perlu mendapatkan perhatian media dan dukungan publik. Seharusnya, para penegak hukumlah yang sudah bisa menjalankan tugasnya lewat hati nurani agar hukum tak memihak kecuali terhadap kebenaran. Supremasi hukum mestinya berjalan bukan oleh desakan apalagi sebuah people power karena itu sejatinya juga tidak sehat. Menandakan ada yang tak beres dalam sistem dan proses.

Di satu sisi, fenomena dukungan terhadap Prita menunjukkan bahwa gerakan rakyat tidak lagi bisa disepelekan. Kita tentu ingat bagaimana derasnya aliran dukungan terhadap pembebasan Bibit dan Chandra. Keduanya juga dinyatakan bebas karena juga dorongan masyarakat, melalui berabagai forum dan media, termasuk dunia maya. Kelihatannya memang suara rakyat seperti ini tak bisa disepelekan. Dan, siapapun kini harus hati-hati menempatkan hukum demi kepentingan tertentu. Rakyat sudah pandai apalagi dibodoh-bodohi untuk melihat suatu kasus. Percayalah kebenaran akan selalu terungkap.

Perjuangan Prita tak berhenti di situ. Kini yang perlu dilihat, UU ITE yang selama ini menjadi momok orang untuk berpendapat perlu direvisi. Prita merupakan tumbal pertama atas UU ini. Konyolnya, setelah Prita dinyatakan bebas, di saat bersamaan para pekerja infotainment menjerat Luna Maya atas tuduhan mencemarkan nama baik akibat dianggap merendahkan martabat. Ini seperti menikam dari belakang. Karena pers yang paling rentan terhadap jeratan UU ITE ini sudah begitu gigih memperjuangkan agar Prita bebas. Tetapi mengapa tiba-tiba para pekerja infotainmen itu seperti menelikung.

Bagaimanapun, kebebasan berpendapat adalah hak paling hakiki. Inilah ciri sebuah negara yang berdemokrasi. Tanpa itu, demokrasi hanya slogan tanpa isu. Perkasa tapi mandul. Kebebasan berpendapat yang dianggap kebablasan bisa dilawan lewat pendapat pula, dan tidak dengan memenjarakannya. Itu sama saja kita ditarik untuk kembali ke masa tiran dulu.

Pertanyaan pokoknya adalah siapkah pemerintah untuk mendukung kebebebasan perbendapat dengan tidak saja sebatas pernyataan dan slogan, tapi diwujudkan dengan perubahan aturan-aturan yang dianggap mengekang. Lebih penting lagi, apakah aparat sudah mampu bertindk adil, dan mengedepankan hati nuraninya dalam menegakkan hukum. []

Jakarta, 29 Desember 2009

Tidak ada komentar: