Selasa, 29 Desember 2009

"Mahkota" untuk Pejabat


Ada saja alasan pejabat untuk ganti mobil. Kendaraan mewah Toyota Camry para menteri  dan juga pejabat negara lainnya, semisal pimpinan DPR, MPR dan DPD serempak diganti. Dengan yang lebih mewah tentu. Masih dari Toyota tapi kali ini naik kelas menjadi Crown Royal Saloon yang harganya juga tak main-main, Rp 1,3 milyar.

Barangkali sebagian menganggapnya wajar karena mobil dinas sebelumnya sudah berumur lima tahun. Para pejabat penerima tentu meminta masyarakat agar tidak membesar-besarkan masalah ini  karena memang sudah seharusnya. Alasannya jelas  untuk menunjang tugas-tugas. Selama ini konon, mobil dinas lama sering ngadat. Sehingga, tak layak untuk diteruskan. Ini 'lagu' lama. Karena ketika akan mengganti Camry pun, alasan yang dikemukakan juga sama, sering mogok.

Saya pernah mendapat cerita, seorang menteri era Megawati sempat mogok mobil di puncak, persis pas tanjakan. Volvo tua yang dianggap paling prestisius ternyata harus nyerah dan ditarik turun ke Jakarta. Sang menteri sewot dan harus pindah mobil. Volvo para menteri lainnya konon juga begitu, maka tak heran banyak juga menteri yang justru menggunakan kendaraa lain. Harganya pun jatuh. Volvo bekas menteri itu dilelang dengan cuma seharga Rp 70 juta.

Lantas, apakah Camry juga memiliki kinerja seperti Volvo yang sering ambekan itu? tak jelas. Yang pasti, untuk menambah prestise pejabat, rasanya perlulah status kendaraan pun dinaikkan. Barangkali malu, jika harus menjamu tamu-tamu dari luar. Camry gress saat ini paling-paling 'cuma' Rp 650-jutaan. Yang bekas lebih murah lagi, Rp 175 juta. Pertanyaannya apa kita tega jika pejabat kita harus menggunakan mobil yang barangkali sekelas dengan harga Avanza baru, mobil yang sudah begitu merakyat? Itu artinya kita menyamakan pejabat dengan rakyat kebanyakan, bukan?

Kalau memang kita kurang rela pejabat kita direndah-rendahkan maka perdebatan pembelian mobil itu sebaiknya dihentikan. Tapi tentu ada harga yang harus dibayar. Apa pantas jika pejabat menggunakan mobil mewah jika kerjanya begitu-begitu saja? Kalau memang dianggap berlebihan maka yang perlu dikejar adalah kinerja mereka. Biarkan saja mereka (para pejabat) itu menikmati kemewahan, bukankah itu justru menjadi senjata rakyat untuk mengkritik lebih pedas lagi jika apa yang mereka lakukan jauh dari harapan rakyat. Kalau perlu tuntut mereka untuk mundur jika ternyata hasil kerjannya jauh dari harapan rakyat, enakkan? Jadikan mobil baru itu adalah alat kritik ampuh.

Tapi kita boleh juga tidak setuju. Pembelian mobil baru sangat mengada-ada. Setahu saya kondisi Camry sebelumnya juga masih baik-paling tidak bodinya-. Lantas kalau memang hendak ingin diganti, apakah harus yang harganya terpaut jauh. Ini menimbulkan pertanyaan besar. Pemerintah sering mengeluh tidak memiliki dana untuk berbagai pengeluaran pembangunan, tetapi mengapa untuk belanja mobil bisa? Okehlah diganti, tapi tidak perlulah Crown  yang harganya membuat rakyat miskin makin tersiksa batin.

Anggaran yang harus digelontorkan pemerintah untuk pengadaan 79 mobil anyar itu lumayan spektakuler, mencapai  Rp 126,79 milyar (baca: Rp 126.790.000.000). Jumlah itu membengkak dari yang semula disetujui Panitia Anggaran DPR Rp 63,99 milyar.  Duit sebanyak itu rupanya tidak termasuk untuk membayar pajak untuk sebuah mobil yang poskan sebesar Rp 810 juta. Pajaknya sendiri bisa mencapai Rp 62,805 milyar. Inilah yang kemudian diajukan Menkeu sebagai dana tambahan.

Itu belum termasuk biaya bahan bakar yang boros minum. Bisa dibayangkan kekuatan minum mobil mewah berkapasitas 3.000 cc itu. Harusnya mobil pejabat dipilih yang hemat energi. Bagaimana rakyat bisa dipaksa-paksa untuk irit bahan bakar jika mobil para pejabatnya saja doyan minum.

Sementara di lain pihak, rakyat masih saja kesulitan memenuhi kebutuhan hidup yang masih tinggi. Belum lagi kekhawatiran akan ancaman kenaikan harga BBM di 2010, tarif TDL yang konon juga naik. Atau harga elpiji yang dalam hitungan bulan mungkin akan naik lagi. Belum tarif air dan lain-lain.

Apakah memang sebegitu kritisnya Camry sehingga harus diganti? Toh, kendaraan bukanlah penunjang esensial dari sebuah kinerja, gengsi mungkin iya. Apakah kita mementingkan harga diri, sementara rakyat dibiarkan terlantar. []

30 Desember 2009

Tidak ada komentar: