Minggu, 27 Desember 2009

Cerita Cinta (I)

Aku tak bisa berhenti bersyukur dikaruniai rasa cinta begitu besar terhadap istri. Usia kami terpaut empat tahun, lebih tua aku. Tapi dalam hal berfikir, tingkah laku, peribadatan, cara mendidik anak, aku kalah jauh. Apa mungkin karena ia dilahirkan sebagai anak pertama dan aku anak bungsu nomor urut delapan.

Aku harus banyak belajar tentang bagaimana mencintai darinya. Setahuku, ia sejak remaja memang sudah banyak yang berminat. Rautnya harus diakui memancing orang untuk tertarik : putih, bermata sipit dan berbodi ideal semampai. Seorang dosennya di kampus pernah mengajaknya kencan ke sebuah cafe. Tentu saja ditolak karena dianggap kurang pantas. Jauh sebelum itu, sejak masih kelas enam SD seorang SMA kelas satu coba mengutarakan cinta lewat secarik buku tulis bergaris-garis tebal.

Dan dalam rentang itu bejibun pria coba mendekat, merebut hatinya baik secara terang-terangan atau sekedar curi perhatian. Namun, ternyata hanya ada satu pria yang dianggap cocok itupun hanya berjalan sebentar lalu putus. Sejak itu ia tak pernah pacaran, sampai suatu ketika bertemu aku di UKM BIMA, sebuah majalan kampus.

Aku tak berbekal apapun ketika mendekatinya. Bahkan, aku surut langkah begitu ada teman karibku  secara agresif coba mendekat. Aku paling anti bertempur apalagi bersaing untuk urusan perempuan, meski hati ini lantak. Kesempatan beberapa waktu aku berikan pada temanku  itu. Dalam batinku betul-betul berharap agar perjuangan temanku itu gagal. Inilah perselingkuhan seorang teman. Di depannya berusaha terlihat mendukung, tetapi di balik itu tetap menginginkan ia gagal.

Aku dari dulu menjunjung tinggi sportifitas. Maka, ketika temanku itu maju, aku seratus persen memberinya jalan. Di awal perjuangannya aku tahu ia bakal gagal, karena seorang Hindu. Kesempatan bagiku terbentang. Itu bukan berarti aku begitu mudah bisa diterima. Aku ini pemalu berat. Untuk urusan cewek aku agak kesulitan apalagi jika harus tembak langsung. Modal ini terlalu minim untuk urusan begitu-begitu. Bisa dibiayai kuliah oleh kakak-kakakku saja sudah karunia besar. Kalau sampai amanat di kampus ini disiakan, aku bisa kena marah besar mereka. Kasian ah, mereka sudah berkorban terlalu banyak.

Aku cuma bermodal nekat ketika hati ini sulit lagi dibendung. Dengan bekal seadanya, ia aku antar pulang yang jaraknya 30 kilometer dari rumahku. Sinyal pun diberikan, ia bersedia diantar siang itu usai kelas akuntansi setelah sebelumnya kami mampir di sebuah warung asinan terkenal di Rawamangun.

Sepanjang jalan hati ini berdegum kacau. Ujung jari kakiku seperti tersiram es : dingin dan kaku laksana besi. Mulut terkunci rapat. Bingung ingin membuka perbincangan. Diam di tengah kebisingan bus Mayasari yang disumpeki penumpang dan penjaja makanan. Topik obrolan yang ku  siapkan menguap bersama keringat yang mengucur deras dari pori-pori yang menganga. "Hei, kemana semua keberanian yang telah ku susun berhari-hari itu," batinku berontak sendiri.

Perjalanan satu setengah jam ke Pondok Gede berlalu penuh ketegangan. Entahlah apa ia merasakan seperti yang aku alami. Perasaan ini paradoks antara ingin berlama-lama dan segera selesai. Aku sadar tingkahku makin terlihat konyol jika terus berlama. Setelah bertemu kedua orang-tuanya dan berkenalan seadanya, aku pamit.

Dan, inilah momen penting itu terjadi. Di depan pintu dengan wajah manjanya ia meminta, "Kalau udah sampe telpon aku ya..."

Sepenggal kalimat yang betul-betul menentramkan jiwa. Hati ini merebak memancarkan energi positif ke seluruh tubuh melalui simpul-simpul syaraf mata, kulit, kaki, tangan, tengkuk juga lidah. Dengan agak terbata aku membalas kesukacitaan ini dengan kalimat, "Okeh...okeh...pasti.....tungguin ya.....,"

Di keheningan lampu merkuri jalan yang meluruhkan kulit gelapku menjadi kuning...ayunan langkah ini terasa ringan, seperti tak menapakan aspal....(bersambung)

Tidak ada komentar: