Minggu, 27 Desember 2009

Luna, Oh Luna

Sekali lagi kita prihatin. Setelah publik selama berbulan-bulan memberikan perhatian penuh terhadap kasus Prita yang terjerat hukum karena menulis keluhan di email pada pelayanan RS Omni Internasional, kini hal serupa kembali terulang. Yang menyedihkan pelapor justru kalangan media yang sejatinya sebagai penyuara terdepan terhadap Prita dalam melawan kesewenangan.
Adalah artis beken Luna Maya yang kini terancam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Para pekerja infotainment menuding Luna telah menghinakan mereka dengan sebutan-sebutan tak bermoral dan merendahkan. Gawatnya, menurut mereka, apa yang disampaikan Luna itu dimuat di twitter pribadinya yang bisa diakses begitu banyak orang. Atas dasar itulah kemudian, para pekerja infotainment mengadukan Luna dan kemungkinan akan dijerat dengan UU ITE terutama pasal 27 ayat 3 dan pasar 45 ayat 1.
Sejak awal, UU ITE ini memang menimbulkan kontroversi. Hal yang paling membahayakan karena begitu mudahnya orang tersandung masalah dan bisa dibawa ke meja hijau karena sebuah tulisan, meski itu mungkin di blog-nya sendiri. Isi Pasal 27 ayat tiga jelas menyebutkan, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Ancaman hukuman bagi pelanggar ini juga tak main-main, sampai enam tahun. Para blogger atau penggiat dunia maya tentu gelisah. Di era serba terbuka seperti ini masihkah kita dibatas-batasi dalam hal mengeluarkan pendapat. Begitu mudahkah kita menuding orang telah melakukan pencemaran nama baik. Dan yang terpenting, pers atau media juga sangat rentan untuk pula terjerat dengan UU ini, walaupun mereka juga diatur sendiri lewat UU Pers. Sayangnya, sedikit sekali orang yang menggunakan UU ini begitu merasa dirugikan oleh sebuah pemberitaan.
Mestinya media yang diharapkan tetap berada di garis depan untuk mengawal jangan sampai ada masyarakat yang kembali terjerat UU ITE, dan bukannya justru mereka sendiri melalui para pekerja infotainment yang justru mendorong ke arah itu. Bukankah ini berarti mereka sedang membuat lubang kuburnya sendiri. Kita tak pernah tahu, kelak, mereka bisa saja terjerat kasus serupa. Kalau sudah begitu, akan sulit mengelak.
Semestinya memang jalan damai yang harus ditempuh, bukan langsung dibawa ke wilayah hukum. Apa yang disampaikan Luna Maya hanyalah akibat berondongan pertanyaan yang dilontarkan para pekerja infotainmen sudah melewati batas, sampai-sampai menurut pengakuan Luna, anak Ariel yang digendongnya terbentur kamera. Sangat manusiawi jika dalam kondisi tertekan seperti itu, Luna lantas melontarkan keluhan-keluhannya.
Pertanyaannya, apakah para pekerja infotainment itu sudah meminta permintaan maaf kepada Luna karena prilakunya yang dianggapnya sudah begitu mengganggu. Sebaliknya Luna justru sudah meminta maaf melalui jejaringnya. Pernyataannya pun sudah dicabut. Namun, Luna juga mestinya bisa mengerti, bahwa tuntutan pekerjaan yang dibebankan para pencari berita itu begitu tinggi. Tak selayaknya melontarkan kata-kata yang merendahkan.
Artis dan media adalah dua profesi yang saling membutuhkan. Percayalah, dalam batin Luna Maya, ia tak ingin karirnya hancur karena dijauhi media apalagi diboikot. Sedangkan media, membutuhkan artis sebagai bahan liputan karena layak dijual dan begitu diminati. Keduanya sungguh tak bisa terpisahkan. Lantas mengapa kalau keduanya membutuhkan harus saling bermusuhan.
Saya percaya banyak pelajaran yang diambil dari peristiwa ini. Paling tidak, artis-tentu juga kita semua- dididik untuk tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan yang membuat hati orang lain terluka. Para pekerja infotainment ditegur agar bisa menjaga privasi orang, tak asal terabas dalam membuat liputan atau mengkonfirmasi, apalagi jika itu didasarkan pada isu dan gosip tanpa didasari fakta yang kuat.
Duduk bersama tentu paling baik. Toh, bagaimanapun perselisihan yang paling baik jika diselesaikan dengan saling memafkan dan kekeluargaan. Tidak ada pihak yang merasa dikalahkan apalagi dimenangkan. Terpenting dari semua itu, bagaimana agar UU ITE itu tidak lagi mengekang warga dalam berekspresi memuat pendapatnya. Kalau perlu agar direvisi, toh keberatan-keberatan cukup diberikan dengan hak jawab.[]
Bogor, 21 Desember 2009

Tidak ada komentar: