Selasa, 20 April 2010

Mencari Aku

Kami memanggilnya Ivan. Sepanjang sekolah, aku selalu menghindari anak ini. Sebenarnya ia tak pantas disebut anak. Usianya memang tidak aku tahu persis. Dari badannya yang besar, betisnya yang talas, dan telapak kakinya yang piring, aku menduga ia sepantaran anak SMP kelas 3.

Ia gila atau kami yang gila. Tiap melewatinya kami bergidik sendiri. Wajahnya besi. Minus ekspesi. Matanya tajam menyayat. Dahinya meneliti setiap yang lewat. Bukan saja kami, anjing juga dipelototinya. Ivan memang ganjil. Usai menyimak lingkungan, tiba-tiba tawanya bisa begitu meledak. Terkekeh-kekeh sendiri. Udelnya yang bodong sampai-sampai tersembul, karena tersibak kaos longgarnya.

Keganjilan Ivan sudah lama. Sebelum pindah ke tempat tinggalku sekarang, setahuku ia sudah ada. Ia orang kaya. Rumahnya gedong, bertingkat dua setengah. Bapaknya seorang pejabat di sebuah BUMN. Ibunya sekretaris di perusahaan minyak asing. Jadi jelas, bukan karena uang Ivan tidak sekolah. Ivan tidak gila. Hanya kami  saja yang dianggapnya gila.

Suatu kali, Ivan berlaku sopan. Wajah besinya tak tampak. Senyumnya mengembang. Bahkan menegur kami yang sudah ketakutan.  Kami jalan melipir hingga ke tepi kali. Ia justru makin gencar mendekat. Kami terbirit. Ia ikut lari. Ia menoleh ke belakang. Dikiranya kami dikejar orang gila. Ia ikut-ikutan lari.

“Mana orang gilanya?” ia berteriak.
“Cepetan ia ngejar terus!” aku tak kalah berteriak.

Ivan makin mempercepat ayunan kakinya.

“Mana orang gilanya?” lagi-lagi Ivan menoleh ke belakang.

Kami diselamatkan gerbang sekolah. Penjaga sekolah cepat-cepat menutup pintu pagar dan menghardik Ivan dengan keras.

“Husss, sana pergi!”
“Pak, katanya ada orang gila. Aku takut. Mo masuk..” Ivan melolong iba.
“Ya kamu orang gilanya!”

Tawa kami spontan berderai. Tapi tidak lama. Wajah besi Ivan tiba-tiba keluar. Aku tahu, ia bukan Ivan yang tadi. Kakinya seperti tertancap.  Dua tangannya kokoh mencengkram pagar besi. Dagunya sembilan puluh derajat dengan leher. Matanya seperti mau keluar.

“Sudaaaah, sana pergi..” suara Mang Doel pelan.

Ivan tak beranjak. Bahkan makin tegas. Melihat gelagat ini, Mang Doel, yang sudah lima belas tahun menjaga sekolah SD kami paham. Ia meninggalkan Ivan sendirian, karena memang kebetulan lonceng masuk sudah berdentang. Meladeninya hanya membuang energi. Ia sepanjang hari bisa berpatung seperti itu. Kalau tidak dibujuk oleh Iyam, pengasuhnya, ia tidak akan bergerak.

Kejadian ini bukan pertama. Sebelumnya juga begitu. Ia merasa waras sendiri. Dan memang, ketika kewarasannya timbul, tidak ada hal aneh yang ditunjukkan. Hanya kami saja yang gila. Ketakutan sendiri oleh kegilaannya. Meski prilakunya tidak biasa, ia tidak pernah melukai. Justru kami yang sering melukainya.

Terkadang, kami sering meledeknya. “Ivan gilaa..aa…Ivan gilaaa..aa…Ivan gilaa..aa….”
Ia tetap tenang. Ketenangannya membuat kami tidak puas. Sesekali kami lempari ia dengan kerikil. Ivan sama sekali tidak membalas. Ayam yang sedang kawin justru lebih menarik perhatiannya. Entahlah mungkin ia membayangkan si jantan adalah dirinya. Aku tidak berlebihan, sebagai anak laki-laki yang mungkin sudah balikh ia juga tertarik pada perempuan.

Ivan gemar betul mengejar-ngejar anak perempuan, dibandingkan kami yang melemparinya dengan krikil. Ia candu dengan suara-suara mereka. Ketakutan dan teriakan anak-anak perempuan itu makin membangkitkan gairahnya untuk makin gencar mengejar.

Kalian jangan salah duga, ia tidak memiliki kelainan seksual. Begitu anak-anak itu benar-benar ketakutan Ivan berhenti. Langkahnya surut kalau ia mendapati teman perempuan kami sudah meringkuk ketakutan. Cuma sampai disitu. Tidak lebih. Ivan sekedar mencari sensasi dari ketakutan.

***

Siang ini, aku pulang lebih lama. Ada beberapa les yang harus aku ikuti. Anak kelas enam SD memang begitu. Beberapa les yang kuikuti sebenarnya membosankan. Matematika yang bukan kesukaanku terpaksa harus dijejalkan-jejalkan ke dalam otak. Ini bukan wajib, tapi guru tidak bertanggung-jawab kalau nanti tidak dapat SMP negeri. Lho?!

Kebetulan tiga temanku yang biasa searah tidak dapat ikut les. Ada yang sakit. Menjemput Budenya di terminal Pulo Gadung dan satu temanku tidak jelas. Ia sih masuk, hanya saja, usai pelajaran terakhir izin ke kamar mandi, lantas menghilang.

Aku menyusuri jalan yang tidak biasa. Lebih dekat memang, hanya saja jalan ini agak sepi. Kalau dengan teman-temanku lebih memutar. Meski begitu aku lebih suka karena bisa bergurau sepanjang jalan.
Aku menyusuri jalan yang tidak biasa. Lebih dekat memang, hanya saja jalan ini agak sepi. Kalau dengan teman-temanku lebih memutar. Meski begitu aku lebih suka karena bisa bergurau  sepanjang jalan. Dengan perlahan aku melawati gili-gili jalan yang berundak, sisa penggalian yang becek.

Dari belakang, aku mendengar langkah orang. Terdengar rusuh sekali. Dari caranya berjalan, aku tahu orang ini pasti sedang tidak stabil. Seperti kekurangan waktu, ia menerabas  pundakku dengan keras, sampai-sampai aku nyaris tersungkur.

Sosok bongsor itu menoleh kebelakang. Baru beberapa langkah melewatiku ia berbalik. Ia mencermatiku dengan teliti. Wajah besinya lagi-lagi dimunculkan. Ia seperti hendak menerkamku. Aku mengigil. Lututku bergerak-gerak sendiri. Gigi-gigi atas-bawahku mengunci satu dengan lainnya.  Hanya bibirku saja yang sulit dihentikan. Bergeletar, mengeluarkan suara yang tak kupahami sendiri.

Ia menghampiriku dengan tegap. Langkahnya yakin. Dalam jarak satu langkah, ia tiba-tiba berhenti.
“Aku Ivan,” tegasnya sambil menyodorkan tangannya yang penuh kapalen.
“A-aku Ahsani,” aku menyambut tangannya yang tiba-tiba terasa dingin.

Aku sendiri sulit menebak rasa batinku saat itu. Mengapa ia bisa begitu ramah. Atau jangan-jangan ini hanya strategi agar ia bisa mendekat dan, kemudian memperdayaiku. Aku harus pergi, batinku makin kencang.

Namun, Ivan menghalangiku. Tubuhnya yang besar menutupi  jarak pandang lurusku. Aku tengok ke belakang, tak seorangpun lewat. Ivan masih tegar dihadapanku. Ia begitu menikmati ketakutanku. Tidak ada senyum. Cuma tatapan kosong merunduk ke mukaku.

Tiba-tiba ia menarik tanganku. Cekatan sekali, hingga aku sulit berkelit. Tangannya yang lebar melingkari tulang pergelangannku yang mungil. Diajaknya aku ke sebuah tanah lapang, yang ditumbuhi begitu banyak ilalang dan pohon liar. Ivan mengajakku duduk.

***

Kejadian siang itu sulit aku hapus. Besoknya aku seperti orang linglung. Aku kali ini berangkat sendiri. Lebih pagi, karena ada seseorang yang ingin kutemui. Ia sudah menunggu di tempat siang kemarin kami berbincang.

Pagi itu aku kembali diajaknya duduk-duduk. Berbincang yang tak tentu arah. Aku menikmati betul suasan seperti itu. Apalagi Ivan, ia memiliki teman sejati sekarang. Teman untuk bisa mencurahkan keluh kesahnya. Teman yang bisa diajak untuk melihat realita : bahwa dunia disekelilingnya sudah gila.

“Bukan…bukan aku yang gila…tapi mereka,” tegas Ivan berulang-ulang.

Aku mengamini saja perkataannya. Itu yang membuatnya tentram. Aku juga begitu. Aku merasa berada di dunia yang sama sekali berbeda. Kami kian akrab. Bukan cuma itu, kami makin menyatu satu dengan lainnya.

Ujian akhir tinggal dua pekan lagi. Teman-teman makin giat belajar. Tapi, aku makin tidak peduli. Aku lebih memilih bolos dan bermain dengan teman baruku. Aku juga tidak lagi peduli apa yang dinasehati guru. Orang tuaku juga menyerah. Dokterpun didatangkan  ke rumahku. Padahal, aku merasa tubuhku baik-baik saja. Aku tidak gila. Pikiranku juga sehat.

Aku lari kencang meninggalkan lantai dua, kamarku. Ibu dan ayahku ikut mengejar. Aku makin kencang. Satpam rumahku juga ikut mengejar. Tapi karena tak ingin ambil risiko yang mengancam-ancamnya, aku dibiarkan pergi. Aku terus berlari, mencari Ivan, ke lapangan tempat kami biasa berbincang.

Hingga berkeliling tiga kali, aku tidak juga menemui Ivan. Hanya Iyam saya yang tiba-tiba muncul dari semak. Melihatnya hatiku luluh. Aku tak tahu mengapa dekat dengannya begitu damai. Ibuku tak sehangat ini kalau memeluk.

“Bi,…aku ingin dekat sama bibi terus,” aku memeluk Iyam begitu erat.
“Iya..iya. Tapi kamu harus pulang. Mereka menunggu.”
“Gak mau. Aku mau ketemu Ivan dulu,” suaraku mengeras.

Bi Iyam hanya tersenyum mendengar keinginanku. Ia tak memaksa, tapi ia memberikan solusi.
“Ya sudah nanti Bibi yang cari, kamu pulang dulu ya…”

Entah mengapa aku turuti kemauannya.

Di rumah aku sudah disambut beberapa orang. Ia membujuk-bujukku. Aku tetap berkukuh ingin menemui Ivan. Cuma ia yang bisa mengerti kondisiku. Dokter itu kembali tersenyum, persis seperti senyum Bi Iyam. Hanya ayah dan ibuku saja yang masih memasang muka tegang. Khawatir sekali kelihatannya.

Aku dibaringkan di kamaku lantai dua. Badanku tiba-tiba lelah, berkunang-kunang. Aku mendengar suara Ivan, juga mereka. Aku bangkit. Samar-sama aku mendengar perkataan mereka.

“Anak Bapak memang belum stabil. Kelihatannya butuh perawatan serius. Kalau perlu dibawa ke Rumah Sakit,” terang dokter muda itu.
“Tapi ia masih bisa sekolah,” ayahku membela.
“Iya tapi tetap belum stabil. Kadang-kadang muncul. Ini berbahaya, juga,”  Dokter itu coba meyakinkan.
“Saya tidak mau, anak saya masuk SLB,” ayahku meninggi, “Aku juga tidak mau sampai ketahuan anak saya gagal mental.”
“Pak, Muhammad Ivan Ahsani itu butuh perawatan serius,” dokter itu mulai mengeras.

Kalimat terakhir ini seperti gledek siang hari yang menerabas ubun-ubun kepala. Aku, Ivan??? Bukan…bukan, mereka pasti salah. Aku Ahsani.Ivan itu sinting, gila…A-aku waras, masih bisa sekolah…mereka pasti salah.

Aku berontak. Teriak sekencang-kencangnya. Akan kubuktikan kalau Ivan itu ada. Dan, dia bukan aku. Ya, bukan aku. Ivan gila, aku waras. Aku berontak, tapi tubuh kecilku tak mampu menahan semua serbuan tangan-tangan itu. Aku menyerah.

***

Hanya Iyam yang sesekali menemuiku di sebuah kamar sempit dan bau ini. Teman-temanku yang lainnya sibuk berteriak-teriak. Menangis. Terbahak-bahak. Ayahku telah lama meninggalkanku, bersama ibuku yang sudah pergi besama laki-laki lain, begitu tahu kebohongan absolut tentang diriku. Iyam adalah ibu sejatiku. Ia yang merawatku, juga melahirkanku.

Ivan, akan tetap kucari. Hanya si sinting itu yang membuatku bisa  dibui seperti orang gila….[]

Bojong Kulur: 20:04:2010

Tidak ada komentar: