Senin, 12 April 2010

Nikmat 10 Senti

Aku setahun ini berjuang keras mengendalikan gula darahku. Aku ingat betul, sepulangku dari tugas liputan ke Filipina dan Vietnam, kepalaku seperti mau pecah. Biasanya, hanya dengan diistirahatkan sebentar atau minim Panadol, rasa sakitnya hilang. Tapi ini, sudah dua hari cenut-cenutnya sulit sekali diusir.

Tukang pijat langganan juga telah dipanggil. Aku mengira masuk angin, karena sebelumnya memang cukup kelelahan setelah hajatan adik iparku yang menikah. Tapi di hari ketiga dan keempat, kepala seperti meledak. Badan melayang-layang. Kaki seperti tak menjejak di lantai. Aku makin limbung.

Istriku terlihat gelisah. Aku dimintanya berulang-ulang agar ke dokter. Untuk kesekian kalinya aku menolak. Di hari kelima, kondisi masih tidak berubah. Meski sempat hilang sebentar, tapi pusingnya tidak benar-benar pergi. Di hari ke tujuh sejak pelanconganku ke luar negeri, kliyenganku kembali muncul. Aku memutuskan ke dokter…

Aku divonis terkena diabetes. Gula darahku ketika itu 345 !!! Aku lunglai. Tak percaya. Orientasiku tiba-tiba hilang berubah menjadi ketakutan. Bagaimana bisa, di umurku yang baru 35 tahun, sudah terkena penyakit menyeramkan seperti itu? Ya, Allah berilah aku kekutan untuk menghadapinya….

***

Benar kata orang, silaturrahmi bisa memudahkan urusan. Aku ingat betul, sebulan sebelum aku divonis diabetes, aku secara kebetulan bertemu teman lama di sebuah acara. Kami berbincang-bincang, bertukar alamat rumah, e-mail dan telepon. Ia seorang dokter, spesialis diabetes. Dan kebetulan juga, rumahnya dekat-dekat saja.

Ketika hasil darahku keluar, aku langsung mengontaknya.. Sore itu juga aku konsultasi.

Dia begitu rinci menerangkan penyakitku. Mulai dari penyebab hingga menjaga dan pencegahannya. Salah satu penyebab gula darahku melonjak selain karena faktor keturunan juga akibat gaya hidup yang ngawur.

Makanku ‘jorok’ dan sembarangan, dan ini yang fatal : tidak pernah berolahraga. Ku ingat-ingat, terakhir aku rutin berolahraga sejak SMA, itupun seminggu sekali. Selama kuliah, hampir tidak pernah. Hanya sesekali saja berenang bersama kawan-kawan. Ini sulit dikatakan olahraga karena lebih banyak bermain airnya.

Ukuran makanku memang sering tak ditakar. Kalau perut belum terasa penuh, mulut sulit dihentikan. Jenis yang ku makan juga menakutkan. Sop kambing, atau tongseng. Aku juga penggemar masakan padang. Kuah berkilat-kilatnya selalu saja menggodaku. Sampai lupa perut, tak terasa sudah dua piring.

Kalau kebetulan dapat tugas liputan di hotel lebih parah lagi. Minuman soft drink dingin membuat tenggorokan makin madat untuk minta terus digerojok. Aneka makanan yang manis-manis sudah tak terhitung berapa saja aku hajar. Belum lagi makanan besarnya, yang lagi-lagi banyak lemaknya. Komplit sudah timbunan lemah dalam tubuhku.

Puncak krisisnya terjadi ketika aku berada di Vietnam. Di sana kami selalu disajikan makanan laut yang tinggi kolesterol: kerang, kepiting, cumi, dan tak lupa mie. Padahal, mie memiliki kandungan karboditrat tinggi. Konon, semangkuk mie setara dengan dua piring nasi. Aku penggila semua makanan itu. Maka, tanpa ampun apa yang disajikan aku embat. Syukurnya, di negeri orang, badanku baik-baik saja meski aktivitas begitu padat, sehingga menyita waktu istirahatku.

Bukan tidak ada yang mengingatkanku tentang kebiasaan buruk ini. Tapi semuanya aku anggap angin lalu. Libido makanku sulit dihentikan. Kian hari, beratku bertambah. Akibat absen olahraga sekian tahun, lemak jahatku makin bengis. Tanpa belas kasih menjajah pankreasku. Glukosa yang mestinya diurai, terus tertimbun. Insulinku yang bertugas ‘menarik’-nya dari darah kian sulit mengenalinya karena ditutupi lemak yang berlipat-lipat. Maka, gulaku itu beredar luas dalam darahku.

Kalian tahu, lemak-lemak itulah biang mengapa gulaku sulit dikontrol. Teman dokterku itu bilang, selama lemak itu menutupi glukosa maka insulin sulit bekerja. Insulin dan glukosa seperti pasangan setia. Satu unsur insulin hanya bisa mengenali satu glukosa. Kalau ia tertutup lemak, insulit sulit merangkulnyal. Insulin tidak mengenal poligami. Ia tidak mungkin menggaet dua glokosa sekaligus. Jadi, satu-satunya jalan hanya dua : mengatur pola makan, yang artinya mengurangi potensi lemak jahat. Serta, olahraga agar lemak-lemak itu hancur. Dan dua insan ini bisa saling bertemu…

***

Selama enam bulan aku berjuang di dua wilayah itu. Syukurnya, dalam tiga bulan pertama dosisku bisa dikurangi. Tes darah HbA1C-ku 5,6 persen, jauh di bawah ketika pertama aku dapati di kisaran 13,4 persen. Angka ini sebenarnya mengkhawtirkan, karena batas maksimal yang kutahu hanya 12 persen. Pada level ini, segala penyakit mudah mampir. Kalian pasti paham, kalau diabetes adalah pintu masuk bagi penyakit berbahaya seperti kebutaan, amputasi, jantung, darah tinggi, dan sebagainya.

Aku tak ingin dikalahkan oleh penyakit. Dalam perjalan setahun ini aku berusaha keras mengurangi makanan-makanan ‘enak’. Semua ada takarannya. Nasi, ku timbang. Lauk juga kutimbang. Bahan-bahan pun aku beli selektif seperti gula, santan, gula jawa, minyak kedelai, kentang, garam, madu, selai, juga susu. Semuanya aku pilih yang khusus bagi penderita diabetes. Dan, ini yang penting : alhamdulillah, aku diberi kesehatan untuk olahraga minimal setengah jam tiap hari, atau berenang yang merupakan olahraga kesukaanku paling tidak seminggu sekali.

Alhamdulillah, gulaku bisa terkendali. Obat sudah aku tinggalkan enam bulan lalu. Terapiku,ya ,…cuma selektif makanan dan olah-raga teratur. Namun, akhir-akhir ini beratku kembali naik ke 79 kg, dari sebelumnya 74 kg, pencapaian yang cukup lumayan dibandingkan ketika sebelum sakit pada 86 kg.

Dua minggu ini, aku mulai melanggar aturanku sendiri. Aku terlena dengan kenikmatan yang cuma sepuluh senti, dari mulut hingga tenggorokan. Padahal, akibat sepuluh senti itulah awal mula penyakit ini datang.

Kalian, apakah masih menganggap kenikmatan sepuluh senti itu segalanya? Kalau masih, sayangilah kesehatan anda. Mulailah berfikir ulang. Kenikmatan makanan mungkin bukan cuma di lidah hingga tenggorokan, tapi di otak. Ciptakanlah sensasi makanan enak bukan hanya dari rongga sepuluh senti tapi dari khayalan dan fikiran. Bisa? []

Gelora: 07:04:2010

Tidak ada komentar: