Minggu, 04 April 2010

Senin yang Tak Terulang

Senin ini, mestinya jadwal Vito les piano Yamaha. Nyaris sembilan bulan anakku itu mengikuti kursus pioano di CitraGrand Cibubur. Pertama kali kami memasukkannya ke sana, bertumpuk harapan  muncul deras di kepala.  Kami ingin Vito kelak  bisa seperti para komposer muda yang sudah piawai mengaransemen lagu. Kalau tidak bisa juga tak apa-apa. Tapi mudah-mudahan bisa menyeimbangkan jiwa : antara pelajaran akademik yang membebani, juga musik.

Kami selalu membayangkan ia anak yang tidak saja pandai, taat beragama, namun piawai pula bermain musik. Kami, ingin sekali dimainkan musik, di saat kami letih seharian bekerja. Ingin sekali ia mengiringi kami bernyanyi meski suara ini pas-pas-an.

Namun, impian itu sementara kami tunda. Vito dengan segala keyakinannya minta berhenti kursus. Aku menduga  ia trauma karena dua kali kursus aku antar dengan motor. Dalam dua kali perjalanan pertamanya itu, kami diguyur hujan deras. Terakhir, bahkan sampai motor kami mogok persis di tengah genangan, yang merendam separuh motor thunder silver kami.

Kami coba konsultasi ke kakak gurunya. Ia dibujuk untuk tetap kursus. Berhasil. Tapi, cuma berjalan satu pertemuan. Selanjutnya ia enggan berangkat. Segala upaya kami kerahkan. Mulai dijanjikan untuk tidak lagi naik motor, ia tetap menolak. Kami juga pernah membelikan, juga menjanjikan untuk jajan makanan kesukaannya asal tetap kurus. Sukses sekali, berikutnya upaya ini tak lagi berhasil.

Kami tanya sungguh-sungguh. Kami juga terus terang kalau berharap ia bisa handal di depan piano. Ia hanya berujar, “Aku sih, sebenarnya nggak mau, tapi kalau bunda-ayah maksa gimana lagi.”
Ia menganggap, bujuk rayu kami berikut trik di dalamnya  sebagai ‘paksaan’.

“Lho, ayah sama bunda gak maksa kok,” aku menegaskan.
“Kalu kamu gak mau lagi juga gak papa. Cuma kan sayang udah bayar mahal-mahal,” istriku menimpali.
“Aku bosen, ah. Gak mau lagi,”

Ya sudah. Karena ia secara eksplisit mengatakan itu, kami tidak bisa memaksa. Kami sepakat untuk tidak sekehendak  terhadap sesatu yang tidak diinginkannya. Kami sadar hal itu pasti tidak mengenakkan, meski sungguh nilainya nyaris sempurnya untuk ujian terakhirnya pada Desember 2009 lalu.

Dulu, waktu kursus Kumon juga begitu. Berjalan tiga bulan, ia minta berhenti. Kami juga tidak memaksa. Sekali lagi kami akui sedih karena keputusannya itu. Mengapa harus berhenti di saat nilai-nilai yang dicapainya begitu memuaskan? memaksanya apakah langkah tepat? untuk saat ini kami anggap itu bukan hal penting, jadi tidak perlu dipaksa-paksa.

Tapi, jujur aku begitu sedih saat memutuskan Vito untuk berhenti kursus piano. Aku tahu betul perkembangannya mengikuti setiap pelajaran dari kakak gurunya. Aku, meski satu-satunya ayah di ruangan itu, coba bertebal muka di antara orang-tua teman-teman Vito yang semuanya ibu-ibu.

Aku, berusaha keras  menepiskan rasa malu saat awal-awal menemaninya satu jam di dalam kelas. Jujur bukan perkara mudah. Tapi, aku bangga bisa menemaninya. Ia begitu lincah, komunikatif, juga cepat menyerap pelajaran. Dan ini yang selalu aku suka : tak pernah malu-malu untuk berpendapat atau bertanya. Celotehnya membuat suasana kelas begitu meriah. Teman-temannya selalu menghampiri meja kami, mencuri-curi waktu di tengah pelajaran.

Kakak gurunya sungguh menyayangkan keputusan kami. Ia mengakui, Vito anak yang cerdas. Bukan, aku bukan sedang narsis karena ia anakku. Pada pertemuan Senin, dua minggu lalu, aku masih melihat ia ceria. Sayangnya, di ujung pertemuan mendadak hilang semangat. Ia diminta memainkan satu lagu dengan dua tangan Ia terlihat salah-salah. Malas menekan tuts. Tentu saja aku marah. Ia tetap saja tak bergemik. Wajahnya kuyu, barangkali ngantuk.Mungkin karena dicecar dengan ocehanku. Ia membalas,” Yah, aku tuh bisa. Tapi aku bener-bener bosen tauk.”

“Kalau kamu bisa buktiin, donk,” cegatku.

Ia ternyata terpancing tantanganku. Badanya ditegapkan. Kepala naik-turun memadankan tangan dan not-not yang terpampang di depan. Kakinya yang semula berpangku, diturunkan menjuntai ke bawah kursi. Aku cermati anakku ini.

Sungguh, ia bisa memainkan lagu itu. Aku tak bohong.

“Hebat!!! kamu bisa. Tapi di depan Kak Rieke kok gak bisa,”
“Aku kan udah bilang….aku males…bosen!”

Satu lagi kejutan yang dipertontonkan padaku. Aku akhinya memang dihadapkan satu kenyataan bahwa anakku itu memang sedang jenuh dan sering jenuh terhadap sesuatu. Kecerdasannya dikalahkan oleh rasa bosannya yang memang sulit dilawan. Kami masih berharap ia bisa meneruskan keinginannya, entah apa. Kami belum tahu…[]

Gelora: 04:04:2010

Tidak ada komentar: