Senin, 22 Februari 2010

Dilumat Dendam

Sinopsis dan Tinjauan Film "Edge of Darkness"

Ayah mana yang rela menyaksikan anaknya diberondong senapan mematikan, di tangga teras rumah, tepat di saat putri tunggalnya itu ingin menyampaikan sesuatu rahasia.

Penonton diawal film sudah dimainkan emosinya oleh sang sutradara, Martin Campbell. Sungguh, tema "Edge of Darkness" bukan hal baru. Bahkan, membosankan. Alur cerita yang begitu mudah ditebak dan terlalu umum, untuk sebuah karya yang mestinya pantas dimainkan pada era 90-an : sebuah tema lingkungan dan isu nuklir yang marak ketika itu. Bisa jadi karena film pertama Gibson setelah absen pada 2002 di film "Signs" diangkat dari sebuah serial teve tahun 1985.

Plot cerita mengalir begitu lambat, terlalu banyak obrolan dari satu tokoh ke tokoh lainnya.  Sebuah konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan pejabat juga bukan hal baru. Gibson dipaksa untuk masuk dalam pusaran intrik yang melibatkan para penegak hukum. Ini, bahkan, juga kerap kita temui di tema-tema film dalam negeri.
Mel Gibson yang begitu dikenal sebagai aktor laga, seperti kurang tertantang. Gibson memang mengikuti kursus menembak demi memerankan Thomas Craven di  film ini. Sayang, aksi itu tidak terlalu memukau.  Gerakan fisiknya mungkin memang dibatasi, mengingat usianya yang tak lagi muda: 54 tahun. Pun begitu, sebagai aktor kawakan, Gibson tetap enak untuk dilihat. Ia cerdas, taktis dan tetap gesit menemukan satu demi satu rangkaian kejadian yang membawanya pada pembunuhan dan motif sesungguhnya dari kematian  Emma Craven (Bojana Novakovic).

Sebagai seorang veteran polisi Bagian Pembunuhan di Boston, kematian Emma semula diduga sebagai sasaran antara, dari target utamanya, Thomas Craven. Tapi, sebuah petunjuk awal dari pistol yang ditemukan Craven di kamar Emma membawanya pada sebuah jawaban penting. Ia terlibat kasus serius hingga terancam dibunuh.

Dari pucuk senjata itu, rangkaian mulai terkuak. Bekal pistol itu rupanya dari sang pacar, Burnham (Shawn Roberts), yang tak menginginkan kekasihnya mati tertebak, meski keduanya tahu, Emma telah diracun oleh suatu zat radioaktif mematikan. Sebagai insyur bermoral, hatinya tergerak ketika menemukan fakta bahwa perusahaan tempatnya bekerja, Northmoor, telah melakukan perselingkuhan keji dengan Departemen Pertahanan.

Emma terlalu jauh melangkah, tapi tak surut tekad, walau ia tahu pasti tiga rekannya yang tergabung dalam organisasi pecinta lingkungan, Nightflower, telah mati sebelumnya. Craven, yang mengetahui sepak-terjang anaknya melalui sebuah video yang dibuatnya, makin yakin anaknya telah menjadi target sasaran sebuah konsipirasi negara.

Maka ditugaskanlah Jedburgh (Ray Winstone) agen CIA untuk membersihkan jejak pembunuhan Emma. Tapi sebuah dendam sulit dipadamkan. Craven makin berang, dan mendatangi satu-satu pembunuh Emma. Termasuk bos Northmoor, Bennet (Danny Huston) yang ditembak di rumah mewahnya, setelah sebelumnya dijejali susu beracun yang juga terlanjur diminum Craven.

Garis merah film ini adalah soal penghianatan. Craven tiga kali dikhianati. Pertama, oleh rekan kerjanya sendiri yang nyaris membuatnya terbunuh oleh cecunguk Bennet. Kedua, penghianatan terhadap hati nurani. Soerang senator, bernama Pen ternyata bagian dari konspirasi demi motif ekonomi. Northmoor adalah tambang uang bagi Massachusetts . Ketiga, pengacara yang diajak Emma untuk mengadukan kebobrokan justru berpaling dan berusaha menutupi demi sebuah ambisi : menjadi jaksa wilayah.

Ending yang dibuat Campbell agak unik. Para tokoh utamanya tewas. Pengacara sableng, senator gila serta orang pemerintah sinting tewas di ujung pistol Jedburgh. Agen CIA itu jengah menyaksikan kebusukan dan jijik melihat konspirasi kotor dan ingin mengakhiri drama konyol itu. Ia sendiri tewas oleh polisi penjaga Senator Pen.

Craven, akhirnya dilumat dendamnya sendiri, "dijemput" Emma untuk pergi bersama meninggalkan rumah-sakit, setelah tak tertolong akibat peluru yang bersarang di dada, juga racun yang ditenggaknya.  []

Gelora : 22:02:2010

Tidak ada komentar: