Minggu, 14 Februari 2010

Semangat

Lima belas menit sudah jarum panjang jam itu meninggalkan angka dua. Vito masih gelisah memandang cuaca di luar yang sejak tadi gelap. Mestinya, kami sudah bersiap-siap berangkat ke Nuansa Musik Yamaha. Perjalanan memang hanya dua-puluh menit ke ruko CitraGrand Cibubur, tetapi kalau tidak lebih awal, dipastikan telat. Jam di studio selalu terlewat sepuluh menit. Dan aku selalu lupa untuk menyesuaikan jam dinding yang tertempel di muka kelas. Tiap hadir, teman-teman Vito sudah berjejer-jejer meriung di tepi kakak guru. Biasanya anakku itu langsung merangsek di barisan tengah tanpa peduli lagu apa yang sedang diajarkan.

Menit terus bergerak, situasi makin tak nyaman bagi Vito. Padahal, ia sudah siap dengan pakaian lengkap : celana panjang, kaus tebal,  serta jaket merah kupluk yang baru kemarin kami beli. Tas berikut perlengkapan serta tugas membuat not di buku balok sudah tersampir di sandaran kursi. Helm Naruto pilihannya telah lama berada di jok motor. Ia masih termenung. Gelisah antara ingin berangkat dan tidur bermalasan di kamar. Tapi aku tahu betul, sungguh ia sangat berhasrat untuk tetap les, tapi hujan membendung keinginannya.

Aku coba tanya sekali, ia terlihat bimbang. Ini justru menandakan ia memang ingin berangkat. Kalau ia menolak pasti sudah sejak awal diutarakannya.  Tapi kali ini, ia mengangguk pelan. Aku coba kuatkan niat untuk tetap pergi meski di luar sana hujan deras siap menemani sepanjang jalan.

Perjalanan jauh menggunakan motor di saat hujan Senin itu memang pertama baginya. Sejak seminggu, mobil tua kami satu-satunya digunakan istri untuk ke kantor. Ia memang harus menggunakan kendaraan lebih nyaman karena kandungannya sudah mulai membesar. Dan, syukurnya Vito tidak pernah rewel jika diantar  dengan motor : ke sekolah atau les membaca Bimba AIUEO. Saat ke Yamaha ia justru gembira karena aku selalu memberinya kesempatan untuk menarik pedal gas.

Kami melangkah tepat di saat langit sedang mual-mualnya. Serupa orang yang masuk angin seluruh air tertumpah ke bumi. Sayangnya, waktu sulit diajak berunding. Kalau tidak bersegera, maka akan sia-sia saja. Jatah les itu cuma satu jam. Keputusan sudah bulat. Kami berangkat menembus ‘kabut’ yang membatasi jarak pandang.

Di perjalanan, mulanya ia begitu menikmati hujan yang seperti menyerbu dari arah depan. Ia kegirangan karena merasa aman dengan tameng Naruto-nya. Ia juga tertunduk-tunduk melihat aspal jalan yang bergerak cepat di bawah. Teriakannya tak henti begitu kami melewati belantara ribuan air yang menjuntai-juntai di langit. Menyibak ‘lautan’ air coklat yang terhampar di kiri-kanan jalanan.

Tiba-tiba sebuah truk Hino muncul di kelokan. Tak sempat menghindar,  raksasa hijau itu melempari air lumpur pekat dari sebuah kubangan yang dicelatkan  oleh dua roda besar  belakangnya yang melaju kencang. Sekejap,… tubuh kami berubah coklat lengket penuh pasir. Bukan marah, kami berdua malah terkekeh-kekeh. Vito bertempik girang. Pengalaman tak terlupakan!


Beruntung hujan masih turun, hingga meluruhkan seluruh kotoran yang menempel di jas hujan kami yang mulai tembus ke badan.

Selanjutnya,….perjalanan agak membosankan. Hujan mulai reda meski tetap saja membuat jaket hujan ini bertambah lepek. Ia terantuk-antuk. Mungkin ternina-bobokan ayunan roda Thunder 125 yang sengaja saya pacu di 50 km/jam. Melihat situasinya yang sedemikian, aku sebenarnya tak tega. Ia aku tawari pulang dan batal les. Tapi dengan sigap ia menjawab, “Aku gak tidur kok Ayaaah. Cuma lihat jalanan di bawah.”

Aku putuskan melanjutkan perjalanan. Kali ini  tubuhnya ganti bergoyang. Dadanya nyaris menyatu dengan tanki bensin. Aku gugah-gugah tubuh kecilnya agar bangun karena sangat membahayakan dan sekali lagi aku tawari pulang. “Masih jauh gak sih Yaah….,” suaranya lemah dikalahkan klakson Avanza hitam yang meminta angkot di depan saya bergerak. Aku tahu ia masih semangat untuk les. Aku tanya lagi, ” Kalau ngantuk kita pulang aja ya sayang,….”

Bukannya menjawab, ia malah meminta padaku, “Kalau udah sampe kasih tahu ya…Aku sih sebenarnya nggak ngantuk.” Ia sekuat tenaga bertempur dengan kelopak matanya yang menyeret-nyeretnya turun.
Menjelang palang parkir, secara mendadak ia terkesiap. Tubuhnya melenting. Dadanya tegap. Kepala berusaha tegak, sambil mengedarkan pandangan ke kanan ke kiri. Kesadarannya secara mengejutkan pulih. “Udah sampe ya Yaaah,…,” tangannya menyorongkan meminta agar karcis parkir ia yang merobek dari mesin. Kesadarannya pulih total.

Vito begitu bersemangat hingga di kelas. Aku  bersyukur bisa ikut mengantarkan anakku yang begitu antusias untuk sesuatu yang disukainya. Di kelas ia masih saja lantang menjawab pertanyaan-pertanyan kakak gurunya. Bertanya, maju ke muka atau sekedar meledak teman-temannya. Kantuknya sirna, tenggelam oleh semangatnya yang telat kusadari. []

Gelora : 09:02:2010

Tidak ada komentar: