Senin, 08 Februari 2010

Dunia Makin Telanjang

Jari-jarinya begitu lincah bergerak-gerak di atas tuts. Sebentar pindah ke mouse yang tertancap di plug USB kanan. Klak-klik bunyi tak henti mengiringi kesibukannya berselancar di depan laptop. Ia, yang masih belum genap enam tahun begitu piawai dan paham tuts mana yang harus disentuh untuk bisa menyalakan laptop yang sengaja saya sering geletakkan di meja.

Memorinya tajam mencari windows explorer dan langsung menuju mydoc dimana folder games cilik berada. Lincah betul. Saya tak pernah memandunya tiap kali bermain. Cukup sekali, ia langsung paham. Jika bosan, ia langsung me-minuskan layar dan mengklik modem flas terlkom lengkap dengan password yang juga saya berikan sekali. Begitu terdengar suara sambung, ia langsung klik mozilla dan siap berselancar. Yang dicarinya adalah games online yang tersedia ribuan di internet. Ia sudah paham alamat yang dituju.. Kalau yang ini saya tak pernah mengajarkan.

Saya tanya, ternyata ia bisa mengakses internet alamat games online itu dari mbak sepupunya.  Saya kagum tapi khawatir. Kagum karena memori anak semurnya kok bisa selengket itu. Komputer baginya bukan lagi barang asing. Berbeda dengan saya yang baru mengenal betul saat kuliah. Itupun sebatas hanya mengerjakan tugas-tugas akhir. Selebihnya tidak pernah, karena di rumah yang ada cuma mesin tik merk Brother.

Saya khawatir karena internet sesungguhnya adalah dunia tanpa batas. Informasi apapun bisa di dapat di sana. Mulai dari urusan tetek sampai bengek. Mau yang esek-esek, bejibun situs mudah dicari. Kalau yang informatif lebih banyak lagi. Repotnya untuk anak-anak remaja yang dicari adalah yang cenderung ada tantangannya : menjurus negatif. Yang rada serius jarang sekali disentuh.

Masalahnya pengguna internet, 64 persennya dinikmati kalangan 15-19 tahun (hasil survei Yahoo di Indonesia, 2009).  Mereka ini tergolong anak di bawah umur, bila mengacu pada UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berada di kisaran 0-18 tahun.  Pengawasan terhadap anak-anak agar tak menjurus destruktif baik pada dirinya sendiri, terlebih orang lain sulit dipantau. Karena 53 persen dari pengguna anak-anak itu mengakses internetnya  di luar rumah, seperti di warnet  atau hape.

Kecenderungan ini makin besar karena sekarang, kemudahan terkoneksi makin luas, setelah munculnya fenomena Facebook, Twitter, Friendster atau jejaring sosial lainnya. Provider pun berlomba memasarkan produk hape berinternet murah. Maka, dunia pun main telanjang. Orang tua makin kelimpungan membuat pagar-pagar proteksi bagi anak-anak mereka. Termasuk saya, yang mulai khawatir soal kebiasaannya berselancar di depan internet, meski sejauh ini baru bermain di games online. Seiring usia dan pergaulan,  lambat laun saya sadar keinginannya pun bergerak.

Kejahatan ibarat mode. Ia bergerak selincah tren dan keinginan. Maka, ketika dunia makin gandrung akan internet, peluang terjadinya kejahatan justru terbuka. Kita sering tidak menyadari bahaya internet karena mungkin tidak ada kontak fisik. Tetapi, yang maya itu justru bisa menimbulkan kerugian fisik. Berapa banyak saja kasus prostitusi dipesan lewat Facebook.  Judi dilakukan secar online. Orang berkenalan lewat chatting,  yang berujung kejahatan. Belum lagi kerusakan mental akibat gambar-gambar dan tayangan-tayangan yang cabul dan menjijikan.

Proteksi memang tidak bisa mengandalkan pemerintah, meski diperlukan. Sebagai orang tua, kita harus membentengi sejauh yang kita bisa. Anak-anak kita sudah berada jauh di depan dari generasi pendahulunya. Boleh saja kita mengklaim sebagai generasi penemu komputer, tetapi kecanggihan penggunaannya justru di tangan mereka. Kita jauh tertinggal. Kita seperti pendatang yang memasuki kawasan asing penuh jebakan. Kita mudah dikelabui oleh trik baru yang basic-nya justru dari kita. Kita menciptakan jembatan tapi lupa membuat pelindung. Sehingga, siapapun bisa tercebur. Termasuk kita. Keluarga kita...

Saya, jelas tak ingin keluarga menjadi santapan teknologi. Ia mestinya bisa dikendalikan. Mengekangnya sulit, karena sama saja memasung keluarga dan anak dari peradaban. Melepaskannya itu seperti membiarkan keluarga dan anak dicabik-cabik mahluk ganas bernama informasi teknologi. Mencari jalan tengah memang yang terbaik. Tapi lewat apa??!

Kiat-kiat proteksi sudah banyak beredar. Seperti pernah saya baca : menempatkan komputer di ruang keluarga atau terbuka. Ini menghindarkan anak mengakses situs-situs terlarang. Atau, memblokirnya lewat layanan gratis di: http://www1.k9webprotection.com atau http://kidrocket.org

Atau, saya juga pernah membaca tips menjaga pengaruh buruk internet misalnya memberikan hape yang tidak memiliki layanan internet. Saya bersyukur karena anak saya masih enam tahun belum kepingin hape-hape-an. Tapi entah kalau nanti sudah beranjak umur.

Kalau internet-an memang harus didampingi, dijelaskan dan dibatasi waktunya. Dan, jadikan kita anggota juga dalam jejaring sosialnya agar mudah dikontrol. Apakah tips itu semua ampuh?!  Tidak.Tetapi jelas bisa mengikis dampak buruk yang mungkin timbul.

Saya sadar penjaga satu-satunya pengaruh buruk yang terdengar amat klise adalah tanamkan agama dengan kuat.  Pertanyaan selanjutnya, sudahkah kita sendiri menjadikan agama sebagai landasan. Kalau tidak jangan berharap keluarga kita akan mengikut. Mudah-mudahan saya diberikan selalu petunjuk agar bisa menjadi imam dalam keluarga. Dan, vito anak pertama saya itu, bisa tetap berselancar dengan iman di internet. Tanpa harus saya awas-awasi.....semoga! []


Gelora : 08:02:2010

Tidak ada komentar: