Minggu, 21 Februari 2010

Serunya Udah Jebol

Kejadian itu kembali terulang. Di acara yang sama, tujuan yang sama, namun beda waktu. Hanya terpaut  satu jam. Kondisinya pun sama, tetapi peristiwanya jauh sekali berbeda.

Seperti biasa, tiap Senin saya mengantarkan Vito les piano  Yamaha di CitraGrand Cibubur. Menjelang 2.30 siang, cuaca masih mendukung. Bahkan cenderung terik. Sampai-sampai Vito enggan dipakaikan jaket merahnya. Ia memang paling sulit menerima panas. Di rumah, ia selalu bawel kalau kamar tak dinyalakan AC. Di suhu 20 derajat pun ia sering hanya menggunakan cawet dan kaos dalam. Kalau tidur, tak bisa lebih dari 20 derajat. Tubuhnya selalu gelisah dan keringat mengucur dari kening dan leher.

Tapi siang itu, matahari seolah menunjukkan kembali keperkasaannya, setelah  sejak seminggu  seperti ‘banci’ : mendung dan kelabu. Begitu melankolis. Kondisi seperti ini memang pas untuk selalu berasyik-masyuk…
Awalnya Vito memang mengeluh panas karena jaket itu membekapnya begitu ketat. Tetapi, hingga dua kilo ia mulai terbiasa. Thunder saya tarik hingga mendekati 60 km/jam dan udara semilir menerobas masuk  melalui kisi-kisi baju, resleting depan, juga helm yang separuh terbuka. Sengaja saya pilihkan helm open face agar ia leluasa menghirup udara luar.  Barangkali karena kenyamanan ini membuatnya  kembali terantuk-antuk. Kelopaknya sulit lagi bertahan. Menutup-nutup,… sejenak kemudian melolo-lolo begitu sadar atau saya sadarkan.

Ia selalu semangat seperti yang sudah-sudah. Tidurnya tidak benar-benar tidur. Sadarannya juga tidak benar-benar sadar. Lihat saja, dua tangannya berusaha dikokoh-kokohkan  mencengkram stang motor. Tapi kantuk tak bisa ditipu. Sikunya berulangkali  membentuk 90 derajat, dan bersamaan dengan itu tubuhnya tersodok ke depan, hampir-hampir berbenturan dengan tanki bansin. Dikuatkan lagi, sikunya lagi-lagi tak kokoh. Tiap saya tawari pulang, ia selalu mengaku tidak ngantuk. “Aku gak tidur kok Yaahhhh,…”

Hingga di lokasi  ia terlihat semangat. Namun, jelang lima-belas menit  mengendur. Kantuknya tiba-tiba menyerang. Kelelahan karena malamnya tidur hingga larut dan bangun pagi-pagi sekali.

Keluar kelas, cuaca begitu gelap. Saya bergegas ke motor, tapi sengaja tak mengenakan jas hujan, berharap bisa sampai rumah sebelum hujan turun. Saya keliru!! baru lima ratus meter hujan menerjang. Saya tepikan motor dan di sebuah warung sate kambing. Angin bergulung-gulung. Limpahan hujan berjuta-juta kubik itu memotong jarak pandang.

Saya memaksakan untuk tetap jalan, karena sudah terlalu sore dan saya mesti bergegas ke kantor karena dalam kondisi seperti itu, jalanan bisa macet parah. Lagi pula, Vito minggu lalu juga senang-senang saja diajak berhujan ria saat berangkat ke Yamaha. Saya berharap ia tetap menyambut guyuran hujan dengan ceria.

Memang, sepanjang jalan Vito begitu bergembira. Celotehnya tak henti-henti mengomentari hujan. Kota Wisata merupakan jalur yang sengaja saya pilih karena kondisi jalan yang relatif baik dan sepi sehingga bisa memacu motor lebih cepat. Baru melewati gerbang, motor tiba-tiba berulah. Tarikan mendadak sirna. Suara brebet-brebet keluar dari pantat knalpot. Saya berusaha tenang, tetapi tidak dengan Vito. Suara senangnya drastis berganti takut.

Saya paksakan motor untuk tetap berjalan dengan kecepatan terbatas. Saya sulit berhenti karena memang tidak ada tempat berteduh. Rumah-rumah mewah itu memang berdiri mewah di tepian jalan, tapi tak satupun yang bisa untuk dijadikan tempat berteduh.  Hingga menjelang bundaran Fresh Market motor sulit lagi tertolong. Begitu melewati sekolah Al Fajar, genangan sudah begitu tinggi. Motor saya terendah hingga separuh roda. Thunder saya benar-benar keok dikalahkan banjir.

Saya terpaksa mendorong motor di tengah hujan yang sedang lebat-lebatnya. Vito tegang. Wajahnya benar-benar takut. Ia sama sekali tak menyangka, keceriaan hujan bisa begitu menyeramkan. Mogok di tengah hujan adalah pengalaman pertamanya. Saya tetap berusaha tenang dan menepikan motor di sebuah pos satpam yang berjarak 100 meter. Vito menggigil. Berulangkali ia menanyakan mengapa hujan bisa membuat banjir. Dan, kapan motor saya bisa dihidupkan lagi. Ia benar-benar ingin segera pulang apalagi sore segera pergi. Waktu mulai bergerak ke pukul enam sore

Saya terpaksa meminta bantuan tukang ojek langganan. Babeh, saya suruh menjemput dan segera mengantarkannya pulang. Sementara saya bersegera mencari bengkel, karena akan dibawa ke kantor.
Di rumah, Vito sudah rapi. Mandi air hangat dan minum teh hangat. Saya lega karena bisa membawa Vito tetap dalam kondisi baik. Ia masih tetap ceria, meski tetap ada rasa kekhawatiran. Saya tahu, ia sebelumnya senang dan seru berkendara motor, apalagi di saat hujan. Saya coba tanya lagi, kali ini.

“Serukan, Mas. Hujan-hujanan lagi. Kena banjir dan mogok lagi,…”
“Seru sih, Yahh. Tapi serunya udah jebol,”
“Lho, kok jebol?”
“Iya, kalau  seru banget kan bisa mentok. Ini malah udah jebol, Yah..saking serunya,.”

Saya terpingkal mendengar menjelasannya yang sungguh saya tidak mengerti dari mana ia dapat logika seperti itu.

Tapi tiap peristiwa selalu saja ada hikmah dibaliknya. Kini ia bisa mengetahui bagaimana ayahnya harus berjuang mencari nafkah. Menerobos jarak  hingga 65 km,  dan pulang hingga larut, terkadang harus melawan sengatan hujan dan panasnya siang. Ia seminggu ini selalu bertanya pada saya, “Yah…motornya mogok lagi nggak...Ati-ati, ya. Aku berdoa sama Allah supaya motor Ayah gak mogok lagi. Kasihankan Ayah.”
Saya tersenyum. Senang,bisa memberinya sebuah pengalaman dan menanamkan sebuah empati. []

Bojong Kulur: 20:02:2010

Tidak ada komentar: