Selasa, 23 Februari 2010

Tragedi di Pagi Buta

SEBAGAI anak tertua, Barkah, dibebani berupa kewajiban. Baik tertulis apalagi yang tidak. Garis wajahnya jelas sekali bahwa dipundaknya syarat beban yang harus dibawa. Ia boleh tidak suka, tapi kondisi memaksanya. Menolak sama saja mengkhianati Tuhan, yang mentakdirkannya lahir lebih awal dari empat adiknya yang semuanya lelaki.

Bapaknya hanya buruh panggul di pasar. Kian hari, tubuh ceking itu makin bungkuk saja. Tidak cuma beras, tapi juga sekarung kentang, kubis, singkong, sayuran,  terkadang malah besi bekas. Kebetulan lokasi tempat Saukani mangkal berdekatan dengan dermaga tua. Ia sulit menolak permintaan yang datang padanya. Bahkan, ketika ia diminta untuk membawa karung basah ke sebuah mobil bak terbuka di satu pagi yang buta, ia siap.

Naif atau bodohkan Saukani, hingga ia sulit membedakan mana bau anyir daging ikan dan tubuh busuk  manusia. Bukan cuma satu karung goni, tapi dua. Dua karung yang dibawa Saukani dalam pagi buta yang berbeda. Otaknya terlalu lurus. Ataukah  saraf di batok kepalanya hanya mengenal satu sensor saja : uang.
Di saat pria berkumis seperti palang kereta itu memberinya order secara mendadak selepas isya, Saukani tak sempat bertanya, atau dihalang-halangai bertanya. Ia dipojokkan oleh iming-iming bayaran besar untuk sebuah pekerjaan mudah yang dilakoninya tiap hari. Jadi, buat apa membantah, toh, yang penting keluarga besok bisa tetap makan. Keluguannya membawa malapetaka yang kelak disesalinya seumur hidup.

Saukani dicokok aparat kepolisian, selang tiga hari sejak ia membawa karung basah yang kedua di pagi buta yang kedua. Matanya mendadak loncat, dadanya sulit ditegakkan ketika dua polisi memaksanya bangkit dari dipan reotnya. Perlakuan dua pria bersergam coklat itu tegas bahkan terlalu tegas untuk menghadapi pria kerempeng yang cuma mengenakan kaos oblong bolong-bolong dan celana kolor hijau yang robek di selangkanganya.

Bukan cuma Saukani yang terperanjat. Istrinya juga sontak terkaget, saat didapati rumahnya sudah dikepung puluhan polisi, lengkap dengan senjata, beberapa mobil yang diatasnya dilengkapi lampu mutar serupa di ruang disko. Maimunah, ingin sekali membekap Saukani dan menariknya masuk lagi ke rumah. Sayang, tenaganya hilang mendadak tertahan batuknya yang sudah lima tahun ini menemaninya.

Di pagi buta itu, suara seraknya kalah oleh TBC-nya yang bahkan untuk kesekian kalinya bercampur darah kental. Siapa yang peduli dengan wanita rusuh berpenyakit seperti itu. Para tetangga yang gemar keramaian apalagi berbau tragedi, dan juga aparat justru bergerak menghindar. Mereka tentu saja takut tertular. Lalu, mana Barkah? semestinya sebagai anak tertua lebih bisa berperan penting. Paling tidak, memberikan penjelasan atau usaha apalah agar bapaknya tak diseret ke kantor polisi.

Tubuh Bakrah yang invalid akibat kecelakaan tiga tahun lalu itu malah keras mencengram guling. Entah karena takut atau memang sulit bergerak cepat. Kiri kakinya lebih menggantung karena urutan tradisional oleh mbah dukun di pangkal paha tidak sempurna.

Cacat Barkah sebenarnya karena ulah Saukani sendiri. Kala itu ia bersama tiga rekannya tengah menuruni sebuah besi tua sebesar tubuh orang dewasa, bekas badan kapal yang hampir karam. Barkah yang gila babi, mendadak kelojotan. Seluruh tubuhnya mengejang. Kaki, tangan, badan, batang leher sekejap tegap di tanah. Mulutnya mengeluarkan busa. Matanya mendelik-delik.

Saukani yang mengajak Barkah siang itu, tentu saja panik. Ujung besi yang menjadi bebannya dilepas begitu saja. Tak menyadari, posisi Barkah persis di belakang kanannya.  Besi sebarat seribu kilogram itu menimpa pangkal pahanya. Tidak sampai remuk, karena hanya satu sisi dari besi itu saja yang menimpali.

Saukani juga tidak pernah tahu, dari mana penyakit itu diturunkan. Setahu dirinya, kakek-buyutnya dan garis atas keturunan dari dia atau istrinya tak ada yang pernah mengidapnya. Para tetangga yang senang dengan penderita orang lain seringkali bergunjing. Sudah sejak lama, Barkah dijauhi begitu kedapatan ia sering berkelejatan. Tak mengenal tempat dan waktu. Pertolongan selalu datang terlambat. Tidak ada satupun para tetangga yang turun tangan. Keluarga Saukani diisolasi sosial dengan beragam alasan.

Barkah tumbuh sebagai anak mandiri. Besar dalam banyang-bayangnya sendiri. Teman sebayanya, sejak lama menghilang. Bukan saja karena dilarang, tapi takut jika tiba-tiba Barkah kumat. Anak-anak itu tentu tak ingin tertular. Keterbelangan masyarakat membuat informasi terhambat, juga menyesatkan. Penyakit menyeramkan selalu saja dihubungkan garis keturunan. Dan juga mewabah. Berbagai saran para tetangga agar Barkah dislameti ditolak mentah-mentah Saukani.

Sebagai bekas karyawan swasta Saukani sedikit banyak paham soal penyakit yang diderita anak pertamanya. Yang diidap Barkah bukanlah keturunan atau bisa menular. Ia hanya terserang penyakit kelainan pada jaringan otak. Mungkin saja, ketika istirnya hamil, Maimunah, kekurangan gizi. Sebagai pengangguran, Saukani kerja serabutan. Apa saja dikerjakan untuk istrinya yang tengah berbadan dua.

Upaya itu ternyata  masih kurang, dan itu terjawab sekarang : otak Barkah tumbuh secara kurang sempurna.Tapi, lingkungannya memaksa ia menerima pakem yang sudah turun-temurun. Saukani digiring pada opni itu, tanpa bisa menolak. Tragisnya, ia kini menyakini alur salah itu.

Barkah sudah terlanjur hidup diimajinya sendiri. Ia bukan sedeng. Bahkan, ia heran mengapa orang bisa bekerja di luar alam pikirnya. Barkah juga masih sanggup berkomunikasi lancar dengan orang. Tapi, tiba-tiba bisa mendadak melenceng dengan idenya sendiri. Soal tugas dan tanggung-jawab ia mengerti betul. Ada rasa iba, juga senang. Ia menerima dengan sabar ketika diajak Saukani bekerja demi tambahan uang dapur untuk bisa menghidupi ibu dan tiga adik laki-lakinya.

Tenaganya imbang dengan kecepatan berfikirnya. Masalahnya adalah ia sulit merajut logika. Sukar menerka-nerka arah pikiran orang. Informasi diserap mentah-mentah. Maka, ketika ia berdialog dengan pria berkumis seperti palang kereta itu, seminggu lalu, Barkah begitu antusias. Barkah terbawa arus perbincangan yang menyeretnya pada sebuah konspirasi.

Pria berkumis seperti palang kereta itu, paham sekali bagaimana menggiring Barkah, dan membawanya pada kejahatan tak terampunkan. Barkah menerima pekerjaan ini hanya satu alasan : bisa membantu meringankan beban Saukani dan ibunya. Adik-adiknya butuh pendidikan, meski ia sendiri tak sampai tamat SMA.

Barkah sungguh  tidak menyadari bahwa imbalan besar itu untuk membunuh dua orang, yang rupanya berasal dari sepasang kandidat kades. Barkah tidak paham politik, apalagi intrik-intriknya. Ia hanya tahu bagaimana para kandidat itu mengumbar janji. Memberikan pekerjaan layak bagi seperti dirinya. Membantu berobat keluarga miskin, agar ibunya bisa segera sembuh dari TBC. Atau agar adiknya tidak perlu bayar kalau sekolah.

Siang itu, empat hari hari lalu, Barkah hanya ditugaskan mengantarkan bungkusan berwarna coklat. Ia tidak tahu apa isi didalamnya. Ia mengira-ngira itu adalah semacam bubuk. Sehari berikutnya, ia lakoni hal yang sama di alamat yang berbeda. Selanjutnya, terjadilah kejadian itu. Barkah tidak mengerti apa hubungan antara bungkusan berwarna coklat yang diantarkannya, dengan ditangkap bapaknya di pagi buta itu.

Ia sampai sekarang juga sulit menyatukan logika bagaimana kemudian, dua hari sejak bapaknya dimasukkan sel, di pagi buta itu, ia juga ikut dicokok untuk sebuah tuduhan serius : pembunuhan berencana bersama bapaknya. []

Bojong Kulur : 24:02:2010

Tidak ada komentar: