Minggu, 21 Februari 2010

Senjata Ampuh Menikam Rakyat

Rencana Pertamina menaikkan harga elpiji tahun ini benar-benar meresahkan. Bagaimana bisa, sebuah kebijakan yang menyengsarakan dilakukan di tengah himpitan hidup masyarakat.

Pemerintah mengaku tidak bisa mengintervensi kebijakan korporat, karena itu akan dikatakan melanggar UU. Tapi, bukankah pemerintah adalah pemilik 100 persen BUMN minyak ini. Katakanlah pemerintah tidak bisa masuk ke dalam putusan itu, tentu bukan berarti bisa membiarkan Pertamina seenaknya saja melonjakkan harga elpijinya.

Pertamina selalu berdalih mengalami kerugian di bisnis elpiji. Konon, saat ini Karen dkk harus nombok Rp 2,6 trlyun. Kekurangan itu pun sudah memperhitungkan kenaikan harga elpiji tahun lalu sebesar Rp 100 per kilogramnya. Semula, bahkan diusulkan kenaikan hingga Rp 500 per kg. Tetapi ditentang keras oleh masyarakat dan juga parlemen. Kenaikan bertahap selama tiga bulan sejauh ini memang belum terlaksana. Hingga tertunda beberapa bulan, dan usulan itu kini muncul lagi.

Pertamina mengaku sudah tidak tahan menanggung rugi, karena harga keekonomiannya sudah mencapai titik Rp 8.000 per kg, jauh di atas harga elpiji non-subsidi yang hanyadibandroli  Rp 5.850 per kg. Pertamina berkilah jika kenaikan yang diusulkan itu untuk menambah koceknya. Tetapi  hanya sebatas menutup kerugian yang tiap tahun membengkak. Pertanyaannya, sudah tepatkan harga elpiji keekonomian itu seluruhnya dibebankan pada masyarakat?

Butuh jawaban panjang menjabarkannya. Tapi masyarakat hanya paham, negaranya memiliki kekayaan luar biasa berlimpah termasuk gas. Mengapa rakyatnya justru harus membayar mahal untuk sesuatu yang dipunyai begitu banyak. Sementara negara lain, katakan Cina bisa menikmati harga gas yang begitu rendah dari Indonesia.

Bukankah sebelum memaksa-maksa rakyat menutupi kerugian Pertamina itu, dilakukan renegosiasi perjanjian jual-beli dengan Cina. Itu jauh lebih bermanfaat. Buat apa memiliki kekayaan kalau tidak bisa dinikmati. Bangsa Indonesia ini seperti orang kaya yang berpenyakit. Tidak boleh menikmati harta berlimpahnya sendiri.
Pertamian boleh mengaku rugi, tetapi secara keseluruhan bukankah bisnis di minyak menguntungkan? Tahun lalu saja bisa menanggok laba Rp 15 trilyun, meski di bawah targetnya sendiri sebesar Rp 30 trilyun. Salah satu penyebabnya adalah harga minyak yang terjun bebas hingga  37 persen, dari 97,02 dolar AS per barel pada 2008 menjadi 61 dolar AS perbarel pada tahun 2009.

Kemudian faktor lainnya adalah harga bahan bakar minyak pada 2008 mencapai 111,53 dolar AS turun menjadi 66,53 dolar ASper barel. Juga, tak ketinggalan, alpha BBM subsidi yang ikut turun dari 9 persen menjadi 8 persen. Kesemuanya berkolaburasi menyeret turun laba Pertamina.

Okelah. Tapi, apakah dari laba itu tidak bisa disisihkan untuk menutupi kerugian di elpiji. Toh, besarnya cuma Rp 2,6 trilyun. Apalagi tahun ini Pertamina optimis bisa mengumpulkan laba lebih banyak hingga Rp 25 trilyun. Tentu, kekurangan dari bisnis elpiji itu bisa ditutupi.

Ini memang menyederhanakan cara saja. Pemerintah memang harus berkorban banyak buat rakyat. Jadi, janganlah banyak-banyak mengambil dividen Pertamina untuk disetoran ke kas negara. Pertamina memang masih dijadikan mesin pemerintah. Upetinya saja sekarang mencapai 60 persen! Kalau bisa dikurangi setoran itu, dan dialihkan untuk membayarkan kekurangan gas tentu akan lebih baik.

Sekali lagi, ini hanya menyederhanakan pola pikir saja. Masyarakat memang sulit untuk diajak berumit-rumit. Tentu saja ada banyak cara untuk menghindarkan kenaikan elpiji. Kenaikan memang paling mudah dilakukan guna menutup kekurangan, sekaligus menjadi senjata ampuh untuk menikam rakyat.

Bagaimana tidak, rakyat dipaksa-paksa untuk beralih ke gas. Tetapi begitu dialihkan, gas dinaikkan tanpa kompromi. Alternatif energi lainnya tidak disediakan. Ini jelas memojokan rakyat. Subsidi memang ada, tapi tidak ada kontrol ketat sehingga ketika elpiji nonsubsidi dinaikkan, elpiji 3 kg juga ikutan naik. Sebagian besar kini mulai berfikir untuk beralih. Lantas, diamana keberpihakan itu? []

Gelora : 16:02:2010

Tidak ada komentar: