Selasa, 09 Maret 2010

Bara Itu Berinitial C

Anda boleh kaget, atau silahkan geleng-gelengkan kepala. Sebuah kerja tiga bulan yang menyita begitu banyak biaya, energi dan perhatian berhenti di titik C. Pansus Century yang semula diharapkan dapat memberikan banyak kejelasan soal silang sengkarut, sakwaksangka, tuduhan dan saling ancam hanya dijelaskan oleh satu huruf : C.

Untuk mendapatkan huruf C juga bukan perkara mudah. Kita harus menyaksikan para wakil rakyat yang terhormat itu unjuk urat moral di hadapan publik. Tindak laku mereka sungguh menggelikan dan lucu. Menggemaskan dan terkadang menjijikkan. Norak, kampungan. Padahal, mereka hadir di sidang itu tidak gratis. Satu kali datang di Paripurna selama dua hari, pada Senin dan Selasa itu cukup besar lho. Mencapai Rp 5 milyar!

Data yang dicuplik dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebutkan, untuk ketua DPR honor seharinya mencapai Rp 6 juta. Sedangkan untuk empat wakil ketua yang jumlahnya empat kepala selama dua hari mencapai Rp 22 juta. Bagi anggota DPR yang jumlahnya 426 orang, negara harus merogoh sebesar Rp 2,1 milyar. Itu artinya, masing-masing dari mereka saat beraksi panggung di Senayan itu dibayar Rp 5 juta perhari. Memang murah jika dibandingkan dengan artis yang kalau show langsung bisa mencapai puluhan juta untuk beberapa menit saja.

Yang membuat geli, rekomendasi Pansus Century untuk opsi A yang menerima langkah bailout dan opsi C yang mempersalahkan pemerintah, coba dipadukan dalam opsi A plus C. Dua kebenaran versi yang coba dicampuradukkan. Kacau!!.

Coba anda pikir, bagaimana sebuah kebenaran harus divoting dan dipilih berdasarkan suara terbanyak. Kebatilan coba disamar-samarkan dengan kebenaran. Apakah air zamzam yang suci itu bisa tetap sakral dan enak diminum serta halal jika dipadukan dengan alkohol. Sensasinya mungkin dapat, tapi apakah kebenaran dan kebatilan bisa seenak-enaknya saja dipersatukan.

Konyolnya lagi, jika sebuah kebenaran dilandaskan atas sebuah kepentingan dan suara terbanyak. Kalau itu yang dianut, dunia bisa rusak. Nilai-nilai kemanusiaan bisa saja bergeser ke arah selera. Padahal, selera belum tentu bisa sesuai pada peradaban. Kebenaran tidak bisa divoting dan ditentukan oleh segelintir orang. Makanya, saya sejak awal tidak terlalu tertarik dengan ribus-ribut Century terlebih setelah rekomendasi dibuat berdasarkan voting. Aneh,…

Sekarang, kebenaran versi voting sudah keluar. Dan, kesepakatan politik itu memang memiliki kekuatan hukum. Pemerintah akan tersandera oleh huruf C. Tapi, tanpa ada pansus yang menguras energi berhari-hari pun sebenarnya pemerintah sejak awal memang menginginkan kesalahan diteruskan ke jalur hukum. Dan, bukankah itu diinginkan Pansus?

Cuma memang, tanpa desakan kuat barangkali pengusutan skandal ini tetap dipertanyakan. Yang membuat saya khawatir sebenarnya persoalan kredibilitas pemerintah. Rekomendasi jelas menyebutkan Boediono dan Sri Mulayani Indrawati dianggap yang palig bertanggung-jawab.

Meski Presiden telah pasang badan, dengan mengatakan kebijakan bailout benar, tetap saja ada bara dalam sekam. Lihatlah, beberapa saat sejak pidato tanggapan disampaikan SBY, segala protes tetap muncul. Aksi protes terhadap Sri Mulyani dan Beodiono tetap kencang disuarakan.

Beberapa elit saya yakin akan pasang strategi baru untuk terus menggoyang-goyang. Jelas, mereka tidak puas jika hanya menyelesaikan Century lewat jalur hukum. Harus ada imbas politik terhadap kasus ini. Beberapa diantaranya ada yang menyuarakan agar DPR mengajukan hak pendapat : sebuah hak yang dekat dengan proses pemakzulan.

Kelihatannya energi bangsa ini masih akan terkuras untuk beberapa bulan ke depan setelah ada jeda sejenak. Padahal, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mengangkat segera rakyat dari kesulitan

Kasus Century mungkin reda tapi belum padam. Ada sisa bara yang siap disulut kapanpun. Itu akan sangat tergantung kepentingan dan momen yang tepat. Jadi, skandal ini jauh dari selesai. []

Gelora : 08:03:2010

Tidak ada komentar: