Rabu, 13 Januari 2010

10.1.10

Dengan langkah ringan, pagi ini pukul 09.50 kami keluar dari ruang yang letaknya persis di antara dua lift. Juga, tepat lurus di antara jalan evakuasi yang landai. Sejak Minggu, 10 Januari 2010 pukul 11.01, istri saya tercatat sebagai "tamu" di ruang Amanah kamar 1B.

Secara faktual, kami baru memasuki kamar berkelas I itu pukul 14.30, setelah sebelumnya mampir dulu di ruang observasi seharga Rp 115.000. Ini ruang persinggahan yang tak jelas peruntukannya, setidaknya bagi istri saya. Di ruang sudut lorong tempat kebidanan itu, istri saya sama sekali tidak diberikan apa-apa. Hanya ditensi tekanan darahnya saja. Serta makana siang. Dokter anastesi yang katanya akan dihadirkan ternyata cuma dikabari lewat telpon. Praktis uang Rp 115 .000 itu menjadi mubadzir. Pertanyaannya, mengapa istri saya tidak ditempatkan saja dari awal ke ruangannya. Ini katanya standar bagi pasien yang akan menjalani operasi. Tapi, waktu pelaksanaan operasi masih pukul 19.30.

Kami datang pagi ke RS Haji itupun atas saran perawat karena dokter anastesi jam 12.00 sudah tidak ada. Padahal, dokter hanya menyarankan kami datang pukul 17.00. Betul saja, lewat jam 13.30 saya tanyakan mengapa tidak ada dokter anastesi yang berkunjung? Begitu entengnya, si perawat mengatakan sudah dilapori lewat telepon. Yang membuat gemes, kalau begitu mengapa kami harus berangkat pagi-pagi!!!

Kami pun tak protes dan tetap tenang. Berfikir positif. Sekuat mungkin menahan amarah, apalagi istri akan menjalani operasi syrodkart. Jenis operasi yang tanpa harus membelah perut meski organ yang dijahit adalah rahim agar bayi kami yang berumur 13 minggu tidak cepat-cepat keluar. Ketenangan batin dalam menjalani operasi 10 menit-perkiraan  dokter-dapat berjalan lancar.

Benar kata orang, mengendalikan diri teramat berat. Apalagi kami kemudian dihadapkan kenyataan bahwa benang operasi Marsilem 05/I yang mestinya disediakan pihak rumah sakit tidak tersedia. Dengan ringannya perawat bilang, "Pak, benangnya tidak ada."

"Lho, kemarin perawat di sini bilang ada," saya mempertegas.
"Kita cek lagi tadi ternyata tidak ada," ia membela.

Kami pun disodori secarik resep yang kemarin juga sudah diberikan dokter. Dokter sudah menduga benang khusus ini jarang di stok di ruang operasi, makanya saya diberikan resep sebagai jaga-jaga.

"Kalau kasih informasi yang bener, Sus. Mestinya saya bisa cari kemarin," nada saya mulai mengeras.
"Maaf, Pak."

Ya, sudah... karena ia meminta maaf, saya urung berdebat lebih lanjut. Toh juga tak menyelesaikan masalah. Istri saya harus mendapatkan benang operasi yang dibutuhkan. Saya tanya di apotik bawah ternyata juga tidak ada. Untuk menghemat waktu kami mencari lewat internet dan menghubungi apotik-apotik besar di Jakarta lewat telepon. Juga rumah sakit umum dan bersalin.

Beberapa apotik 24 jam yang biasanya lengkap juga tidak ada, seperti di Apotik Titi Murni dan juga Apotik Rini. Apotik K 24 yang berjaringan sama saja. Bagian farmasi di rumah sakit Hermina, Harapan Bunda, RS Cipto, juga Medistra mengaku tidak ada stok. Ibu mertua juga mencarikan tapi menjelang jam 14.00 mengabari hal yang sama. Kami mulai panik. Kami heran, mengapa mencari benang dibebankan ke pasien? Kalau memang tidak ada toh bisa diinformasikan dari awal.

Tapi, untungnya pihak RS segera mengabari bahwa benang dimaksud baru bisa datang menjelang Magrib. Kami diminta tidak usah mencari dan tenang. Kami tidak langsung percaya dan tetap menawarkan untuk "membantu" mencari meski semestinya itu bagian dari kewajiban rumah sakit yang seharusnya memiliki koneksi lebih luas ketimbang pasien.

Benang ini terbilang istimewa karena ia tidak melebur menjadi daging seperti umumnya benang-benang operasi biasa. Mengapa? karena suatu saat, ketika si bayi keluar benang ini bisa dilepas lagi. Wujudnya sama seketika benang ini disulam di tubuh. Yang membuat benang ini jarang ditemui karena umur pakainya yang terbatas. Harganya pun Rp 600.000. Apotik tidak ada yang berani stok karena kalau tidak terpakai sulit dikembalikan.

Istri akhinya dipindahkan juga ke kamar seharga Rp 357.000 itu. Jam 18.00 istri saya mulai gelisah, kok jam segitu belum dipanggil untuk persiapan operasi. Saya tanyakan ke susternya, katanya persiapan khusus tidak ada, kecuali puasa enam jam, sejak jam 12 tadi. Tapi, jam 19.05 belum juga dipanggil. Saya segera menayakan apakah sesuai operasi sesuai jadwal? ditegaskan bahwa dokter dalam perjalanan dan pada waktunya dipanggil.

Selang lima menit, suster ruangan membawa kursi dorong, dan mengajak ke ruang pra-operasi. Tak ada persiapan apapun di sana. Petugas medik operasi sempat keheranan mengapa tidak ada infus yang tertancap di tangan kiri istri saya. Dokter yang datang pukul 19.20 juga sempat bertanya mengapa infus tidak diberikan sejak di ruangan. Kelihatannya memang tidak ada koordinasi. Perdebatan kecil terjadi di antara mereka sendiri. Saya memilih diam, berkonsentrasi menjaga ketengan istri saya.

Jam 20.10 operasi seharga RRp 3,45 juta itu alhamduillah berjalan lancar. Dan 20 menit kemudian bisa dipindahkan dari ruang  pemulihan. Kami lega. Selama tiga hari di RS semua juga berjalan baik, untuk istri saya maupun bayinya. Rencana pulang tertunda hingga satu jam, karena konfirmasi bagian kasir soal invoice senilai Rp 6,4 juta dari asuransi Global begitu lambat. Kami sudah berulangkali memintanya agar dipercepat karena Vito rewel setelah tiga hari ini mengeluh sakit perut, meski Senin-nya sudah ke dokter Ismail.

Kami pulang dengan kelelahan karena saya juga kurang tidur. Istri masih bedrest sampai tanggal 27 Januari nanti, dan Vito badannya masih panas. Tapi kami lega bisa melewati ini semua dengan lancar. Alhamduillah yang Allah. Engkau berikan semua kemudahan....[]

Jakarta, 13 Januari 2010

Tidak ada komentar: