Senin, 11 Januari 2010

Kami Rindu

Ada yang membedakan di ruang setengah lengkung bercat hijau itu. Berlampu terang, berbau khas, serta boks-boks mungil terjejer rapi.  Menempel di dinding samping kanan, dua kotak kaca dengan sepasang lubang berdiamter sejengkal di masing-masing sisinya  terlihat dipasangi beberapa alat. Lampu sorot memijar di dalam, persis seperti akuarium. Suara-suara dari ruang itu mendominasi kamar-kamar kubik yang mengelilinginya.

Saya sering kali tertegun tiap melewati ruang di lantai dua itu. Badan selalu terpanggil singgah, untuk sekedar melihat-lihat. Wajah polosnya. Kulit bersihnya. Suaranya... Ya, suaranya sangat menentaramkan.  Bagi saya tak ada suara semerdu yang dikeluarkan bayi-bayi merah itu. Bahasa tunggal yang diciptakan Allah agar manusia dewasa mudah mengerti.

Lewat tangisan ia meminta. Lewat tangisan ia menolak. Tapi dengan tawa kita mendengar. Kita bergembira di tengah tangisannya. Belum ada senyum, apalagi tawa yang diberikan. Tapi dengan tabah kita menanti tangisnya untuk kemudian kembali berlinang sukacita. Sampai ia tertidur, kita tetap berharap besok akan ada tangis lagi. Tersenyum lagi...

Sudah lima tahun lebih saya tidak lagi mendengar suara-suara itu. Saya betul-betul rindu bisa mendapati ada suara tangis di  kelelapan saya. Bisa terjaga malam ketika ia minta digantikan popok. Menggantikan bedong yang kuyup oleh pipisnya. Atau saya ingin sekali melumurinya minyak telon dan membalurinya bedak kalau kedinginan. Membedonginya lagi.  Saya sungguh ingin menikmati berdua saja dengannya. Bundanya, biarlah beristirahat. Menyelesaikan tidurnya yang tak sempurna.

Keinginan ini makin menggebu ketika sepanjang tiga hari ini diberikan "kesempatan" untuk terus melihat bayi-bayi mungil itu. Sebelumnya, hanya sebulan sekali saya bisa meliwati ruang setegah kubah itu, ketika harus mengantarkan istri kontrol ke dokter untuk memeriksa kehamilan yang memasuki minggu keempat belas.

Sejak Minggu, istri saya menginap di Rumah Sakit Haji karena harus menjalani operasi ikat rahim. Keputusan ini dibuat setelah sehari sebelumnya kontrol dengan dokter muda Reino Rambe. Kami terpukul ketika mendapati kenyataan jalan rahim istri saya sudah terbuka. Kalau tidak ditangani segera tak kurang dari 16 minggu anak kedua saya itu akan keluar dari perut bundanya. Tentu saja kami tak ingin hal ini terjadi. Apalagi, tingkat kegagalan jika kasus semacam ini dibiarkan mencapai 90 persen. Secara awam ini yang sering disebut sebagai kandungan lemah.

Kami sampai sekarang belum mendapat jawaban kenapa pintu rahim itu bisa terbuka sebelum waktunya. Karena kelelahan setelah seminggu sebelumnya liburan akhir pekan di Lembang? belum tentu. Atau istri saya nekat berendam di air panas di Ciater yang dilarang bagi ibu Hamil? belum tentu. Atau, ini yang lebih misteri lagi : istri saya seringkali mengutarakan keinginannya agar bayi ini cepat keluar. Alasannya, sudah ingin segera melihat Adek agar bisa  mengurusinya dan cuti tiga bulan di kantor. Apa karena itu? ah, saya tidak tahu. Tapi, sejak kejadian ini, ia instrospeksi mengungkapkan keinginannya itu.

Dokter yang menangani hanya mengatakan, terbukanya jalan bayi itu bisa karena bakteri atau faktor lainnya yang sifatnya sangat individual. Berbeda-beda kasus pada tiap ibu hamil. Saat ini kami masih menanti pemulihan pasca operasi. Dan, tetap berdoa agar semua berjalan lancar. Kembali bisa mendengar tangis bayi, apalagi dari darah sendiri.  Bisa menggantikan popoknya. Melumurinnya minyak telon dan membalurinya bedak. Membedonginya lagi. Bundanya, biarlah menyelesaikan tidurnya yang tak sempurna seharian ini.

Nak, sehat ya..Bunda, Ayah dan Masmu Vito sudah menunggu. Kami rindu....[]

RS Haji, 12 Januari 2010

Tidak ada komentar: