Jumat, 08 Januari 2010

Cerita Cinta (II)

Malam itu aku sulit sekali tidur. Mata seolah berseteru dengan kantuk yang menyerang. Sudah beberapa kali mulutku terbuka lebar tak terkendali, mengeluarkan suara-suara pengajak tidur. Tapi, pikiran ini bersekutu dengan mata, terus memikirkan arti perkataannya di gerbang rumahnya sebelum aku pulang.

"Kalau udah sampe telpon aku ya..."

Kalimat ini bagai mantra yang membiusku sepanjang malam. Badanku ikut-ikutan gelisah. Rasanya tidak ada posisi yang pas untuk rebahan di kasur. Sebentar hadap kiri, semenit kemudian hadap kanan. Persis Paskibra yang sedang belajar baris. Guling yang kubelit membuat ruangan tambah sesak, maka sesekali aku lempar. Namun, sejenak aku tarik lagi menutupi tubuhku yang kini terlentang menutupi remang lampu Philip yang memijar tepat di atas mukaku.

Suhu tubuhku berfluktuasi. Panas yang kurasakan bukan benar-benar panas. Kipas mini di sudut kiri kakiku bukannya menimbulkan sejuk malah membuat bising. Dingin...tiba-tiba saja sekujurku mengigil. Ku tarik sarung yang masih tersampir di kursi belajar, yang biasa kugunakan untuk sholat. Di kegelapan itu, mataku mengerjap-ngerjap masih terngiang apa yang dikatakannya tiga jam lalu.

"Kalau udah sampe telpon aku ya..."

Ah, mengapa kau mengatakan itu sih....

***

Ini hari Selasa. Mestinya siang nanti aku ketemu dosen pembimbing. Skripsiku telah memasuki Bab II. Ada beberapa materi yang perlu aku perbaiki. Dosenku ini terkenal tegas. Di awal aku mengajukan proposal sudah dua kali dipaksa revisi. Bukan soal tema yang aku angkat, tapi persoalan judul. Ia menganggap apa yang aku usulkan belum mencerminkan isi skripsi. Hipotesis yang sudah kubuat seminggu suntuk juga dibongkar-bongkar.

Kami adalah keluarga sederhana. Untuk membuat selembar hasil skripsi, bukan perkarga gampang. Banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Komputer adalah barang mewah buat kami. Hanya mesin ketik Brother yang masih tersisa peninggalan bapak. Itupun hurup A-nya sering macet. X-nya harus berulang kali ditekan agar mau bekerja. Tab-nya apalagi, loncat-loncat  semaunya sendiri. Lagi pula, sudah tidak jaman menggunakan mesin tik. Bukan persoalan malu, karena tidak efisien saja untuk bekerja. Untuk membuat rata kanan tulisan saja ada rumus-rumus yang bikin kepala mumet.

Ada tiga tempat yang biasa aku singgahi selama pengerjaan skripsi. Rental, rumah teman dan di Gedung DPD Golkar DKI  di Cikini. Jangan buru-buru menuduh ya. Aku ini bukan anak kampus yang berpolitik lho. Aku adalah anggota dari paduan suara yang juga tak berafiliasi dengan Golkar. Cuma kebetulan pembinanya adalah seorang Golkar yang dulu dikenal bagian dari anggota pelawak dan grup musik Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Salah satu yang ngetop adalah lagu "Fatimah"

Di ruang tempat kami biasa  latihan ada sebuah komputer operasional, agak kuno memang tapi masih cukup baik untuk digunakan. Untuk memudahkan aku mengerjakan tugas, teman-teman dengan senang hati memberiku kunci. Jadi kapanpun aku bisa mengunjungi. Tapi, karena jaraknya yang lumayan, aku jarang juga ke sana sendiri. Kecuali, usai kami latihan atau sebelum berlatih suara.

Pilihan pertama, biasanya aku ke Sunter. Temanku lain jurusan yang juga sedang ambil skripsi. Ibunya bekerja di Astra dan bapaknya wiraswasta. Rumahnya cukup mentereng di antara gang sempit dengan rumah berjejal. Selepas makan siang, aku biasa mengayuh sepeda ke rumahnya. Jaraknya hanya lima kiloan. Cukup membuat keringat. Tapi langsung terbayar jika sudah sampai di sana. Tempat tinggalnya sejuk dan luas. Yang terpenting, komputernya baik, jarang sekali rewel. 

Repotnya, ia sering tidak di rumah. Jadwal kuliah kami yang memang beda menjadi kendala sendiri. Aku yang sering menyesuaikan kegiatannya, mulai dari olah-raga, melancong sampai pengajian. Aku sering mengingatkan agar beberapanya dikurangi, tapi ia bergeming. Setahuku, skripsi dia akhirnya benar-benar tertunda. Akupun tak tahu sampai kapan pengerjaan akhir itu diselesaikan. Saat wisudah aku tak menemuinya.

Kalau sudah kepepet, aku ya terpaksa ke rental terdekat. Biayanya cukup lumayan Rp 500 per lembar. Belum lagi biaya sewa rentalnya. Aku tentu tak ingin membebani kakak-kakakku yang telah bersusah membiayai aku kuliah. Sepanjang aku kuliah hingga lulus tak satupun mata-kuliah yang aku ulang, meski mendapat nilai C. Berbeda dengan kebanyakan mahasiswa yang begitu mudah meminta dana tambahan untuk mengulang mata kuliah agar bisa memperbaiki nilai. Entalah ini kelebihan atau kekurangan. Cuma satu prinsipku : tak ingin memberatkan keluarga.

***

Aku kemrungsung memasuki lantai tiga. Anak tangga aku lompati dua-dua, agar cepat sampai. Sepuluh menit lagi, dosen pembimbingku masuk kelas. Ia harus terkejar. Batak satu ini memang terkenal ontime. Besok ia akan keluar kota hingga seminggu. Menunggunya usai kelas hampir tak mungkin. Kalau ia bilang sebelum mengajar mustahil ditawar.
 
"Si-siang, Pak.." sapaku sambil mengetuk pintu yang terbuka separuh.
"SIANG."
"Ini revisi yang Bapak minta minggu lalu," aku menyodorkan map berjepit.
"Taruh situ."

Mulutnya terkunci. Hanya tangannya saja yang bergerak, membolak-balik sebentar lembaran-lembaran yang aku buat dengan kepayahan. Kursi tempat duduku tiba-tiba seperti berpaku. Menusuk-nusuk  pantatku. Aku berjingkat sejenak lalu duduk lagi. Berjingkat lagi, kemudian duduk lagi. Kugeser-geser pelan tempat duduk besi hitam itu. Tetap saja tak nyaman. Dosenku melihat kegelisahanku. Keringat yang mengalir sejak aku masuk belum sempat aku seka.

"Tuh tisu, elap dulu keringatmu," suara beratnya memecah ketegangan.
"Ma-makasih Pak," aku berbasa-basi.

Sedetik kemudian kepalanya kembali tenggelam dalam kertas folio A4 yang terjereng di depan wajahnya. Sekali-dua, ia mengintaiku dari balik bingkai kacamatanya yang melorot dari batang hidung. Aku makin tegang. Jariku rapat mencengkram satu sama lain. Ia menurunkan kertas yang sejak hampir sepeluh menit lalu menutupinya. Sebuah pulpen Parker tertancap di samping telepon. Diambilnya dengan pelan. Matiiii, revisi lagi dah...

"Kamu kalau ngetik hati-hati.Banyak salah gini. Tanda baca juga harus bener. Biar enak orang yang bacanya. Sudah, lanjutkan," tangannya sambil melingkari beberapa tulisan dan tanda baca yang dianggapnya kurang tepat.

Tubuhku seperti diguyur air seember. Luar biasa segar. Penatku hilang dalam hitungan detik. Keringat yang belum terseka, tiba-tiba menguap. Tak berpikir lama, aku sorongkan tangan kananku. Ia meraih dengan hangat.

"Kalau kesini lagi langsung saja dua bab," katanya tanpa ragu.
"Gak papa, Pak?" aku kurang yakin.
"Bagus kok."

Baru kali ini aku melihat senyumnya yang mahal.Sebelum pikirannya berubah, aku buru-buru pamit meninggalkannya, yang terlihat begitu tergesa mempersiapkan kelas Akuntasi Manajemen di ruang 3-4.

Sepanjang lorong kampus, senyumku mengembang. Tiba-tiba saja aku begitu ramah pada setiap orang. Siapa pun aku lempari senyum. Tak peduli dibalas atau tidak. Mungkin dikira aku sedang stress.  Kaki ini seperti diberi per, mudah sekali mentul-mentul.

Hmm, nasib baik kali ini sedang memihakku. Apalagi bila mengingat kata-katanya "Kalau udah sampe telpon aku ya...", kenangan pertama saat berhasil mengantarkannya pulang. Ah, amboi....

Sepotong kalimat yang memberikanku energi luar biasa. Padahal, respon yang diberikannya ketika aku menelpon balik saat sampai dari rumah, ia terdengar biasa saja. Hanya mengatakan, "Syukur deh kalo gitu."

Aku memang mati bahasa ketika itu. Bingung ingin menerusan topik berikutnya. Lagipula waktu sudah malam, tak pantas berlama-lama ditelepon. Aku masih terpana dengan misteri kata-katanya "Kalau udah sampe telpon aku ya..."

Ini pertanda apa? apakah sebuah kepedulian? iba? atau sekedar basa-basi. Aku tetap berbesar hati. Wanita biasanya kalau sudah tak suka, maka jangankan ingin diantar, didekati saja pasti enggan. Tapi ini, bukan saja aku bisa mengantarkannya, tapi ia begitu peduli padaku.  "Kalau udah sampe telpon aku ya...",  benar-benar kalimat bersayap yang membuatku pening.

Sholat Dhuhur hampir habis, aku mempercepat langkah meloroti tangga dua-dua, menuju masjid di sudut belakang kampus. Jantungku derdentum-dentum, pertanda ada yang tak beres. Perasaanku memberi isyarat ada sesuatu di depan sana.

Benar!! Ia,...yang kemarin aku antar, terlihat begitu akrab dengan teman karibku yang juga sainganku. Dengan dandanan necis : bertopi pet merah ala Pak Tino Sidin, kalung perak berkilat, anting bermata batu hitam di kiri dan juga jam sebesar jengkol, ia berusaha mencari simpati. Derai tawa terdengar dari balik pintu. Aku urung melewatinya, memilih jalan lain ke mesjid.

Aku kalah saingan. Hatiku remuk...(bersambung)

Tidak ada komentar: