Selasa, 05 Januari 2010

Maribaya yang Merana

Liburan Awal Tahun 2010 (bag 4)


Kawasan sekitar tempat saya menginap relatif mudah untuk mencari keramaian. Selain, De' Ranch, ada juga pasar Lembang yang selalu bikin macet. Dua kilo dari situ ada kebun strowbery yang bisa dipetik sendiri. Atau kalau mau lebih menantang, sedikit ke arah Bandung, lalu belok kanan menuju Cimahi. Di sana ada taman bunga dan curug yang katanya indah. Saya sendiri belum sempat mengunjungi karena sempitnya waktu.
Pilihannya cuma ke Maribaya. Jaraknya lima kilometer dari Villa De' Rossa. Tapi, belum sampai ke sana, ada tempat wisata lain, supermarket tanaman. Saya lima tahun lalu  pernah mengunjungi tempat ini. Sayang, karena kami bukan penyuka tanaman,  tempat itu cuma kami lewati saja. Maribaya terletak di lembah yang cukup curam. Sepanjang perjalanan hanya terlihat pohon-pohon menjulang-julang. Mengombak diterpa angin. Panas memang terik, tapi anehnya hembusan yang disemprotkan alam tetap saja terasa sejuk. Kami sengaja mematikan AC mobil yang ternyata kalah dingin dengan udara dari luar. Apalagi bau tanah dan rerumputan yang membawa ketentraman raga terlebih jiwa.

Maribaya begitu terkenal. Sejak kecil saya sering mendengar tempat ini, tapi entahlah baru pada kesempatan kemarin saya bisa mengunjungi curug-curugnya yang terkenal. Memasuki gerbang suasana ramai para penjaja makanan dan mainan begitu kental. Dingin makin menggigit. Beberapa orang mengenakan jaket, tapi saya tidak. Sengaja mencari sensasi dinginnya lembah yanag jarang-jarang saya rasakan. Untuk lebih menikmati  kesejukan Maribaya,  tiket Rp 5.000 tergolong murah. Apa barangkali karena dikelola Pemda. Harga tiket ini sama dengan karcis masuk De' Ranch yang belum main sudah ditagih.

Tapi, harga memang tidak membohongi. Kawasan nan indah itu, terlihat kurang tertata rapi. Sampah kami lihat berserakan. Rumput-rumput dibiarkan memanjang tanpa aturan. Demikian juga pohon-pohon yang mestinya bisa diatur rapi. Patung binatang banyak yang dibiarkan menderita tanpa kaki, telinga, hidung bahkan sebagian kepalanya hancur. Tubuh-tubuh "binatang" itu persis habis dikuliti, yang ada hanya warna abu-abu semen.  Diranggas oleh terik dan lembab. 


Busa putih tebal terlihat menumpuk di tepian kali. Pijakan tangga banyak sekali compal. Jembatan dari kayu amat usang dan bolong-bolong. Istri saya sampai ketakutan harus menyebrangi dua kali jembatan berpegangan besi yang juga sudah karatan. Tapi ada yang lebih "horor" lagi. WC yang tersedia begitu menyedihkan. Jorok, bau dengan kloset cemplung yang menjijikkan. Itu belum seberapa. Mushola yang seharusnya suci dan bersih, terlihat kusam dan lagi-lagi bau.

Kolam air panas alami yang ditawarkan juga tak pantas untuk wisatawan. Terlihat coklat seperti air di kali Ciliwung. Beberapa orang terlihat asyik mengayun-ayunkan kaki di tepian kolam yang tidak mengalir. Kami langsung beringsut balik badan begitu memastikan tempat bilasan juga tak jauh beda dengan WC yang saya ceritakan tadi. Namun begitu, kami sempat-sempatkan juga menikmati udara dingin dengan menyewa tikar lima ribu rupiah per helai.

Lokasinya sungguh ajib, persis di depan air terjun mini. Sejam terlewati begitu saja, tak terasa mendung menggelayut. Rintik sudah menimpa ujung hidung saya dan juga rambut. Kami bersiap angkat badan, pulang meninggalkan Maribaya yang merana, dan tak sempat ke Air Terjun Ciomas yang tingginya 25 meter. Keindahan Cimoas terpaksa terlewati karena istri saya tak memungkinkan untuk itu, mengingat kandungannya sudah memasuki bulan keempat.

Jam makan siang sebenarnya sudah terlewat. Kami sengaja menunda makan siang di Maribaya. Ada tempat yang sejak saya datang ke Lembang membuat liur ini sulit dikendalikan. Adalah Toko Tahu Tauhid yang sejak buka sudah dipadati pembeli. Lokasinya yang bersebrangan dengan De' Ranch membuat dua tujuan wisata ini saling melengkapi. Sebagai penggila tahu, saya akui rasa tahu di Tahu Tauhid luar bisa beda. Teksturnya halus tapi kekenyalannya terjaga, sehingga tidak mudah hancur. Tahu tetap padat berisi meski baru saja diangkat dari wajan yang kemapul.  Coba saja bandingkan dengan tahu pong yang sering ditemui tukang gorengan pinggir jalan.

Rasanya pun gurih dan orisinil karena selalu disajikan begitu tahu matang dari dapur olahan. Freeesh.  Dan yang tak tertandingi, harganya sangat murah. Satu buah tahu mentah hanya dihargai Rp 500 dan yang matang Rp 700. Karena antrian yang mengular, saya urungkan membeli sebagai oleh-oleh. Saya cukup puas dengan membeli sekeranjang tahu panas isi 30 biji seharga Rp 21 ribu.

Mega hitam kembali mengintai. Langit kelihatannya tak lama lagi akan menumpahkan isi perutnya. Kami bergegas menuju mobil. Badan saya mulai greges, pening menjalar mulai dari tengkuk. Tanda-tanda seperti ini biasanya saya kurang istirahat atau makan-makanan sembarangan. Saya tak berani melanjutkan perjalanan. Kami berdiam di dalam mobil yang diguyur deras hingga setengah jam. Kami ragu antara pulang dan menginap lagi, karena kondisi saya yang tak memungkinkan.


Matahari makin bersembunyi. Kepala saya kian berat saja. Istri yang berusaha mencari tempat penginapan dari buku yang kami beli di Gramedia belum juga berhasil. Bukan karena tidak ada kamar kosong tetapi lebih karena harganya yang rata-rata  naik berlipat minimal 100 persen. Kami tak menyediakan uang tunai, sementara hotel melati jarang yang bisa menerima kartu kredit.

Kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalan. Menembus hujan dan kabut. Melawan pusing yang terus memukul-mukul batok kepala.  Mencari tempat singgahan murah...(bersambung)

Tidak ada komentar: