Senin, 11 Januari 2010

Apa Enaknya Jadi Koruptor? Enaklah...

Saya selalu membayangkan sebagai seorang koruptor. Tapi tidak ingin "mengampak" uang rakyatnya China karena sanksi di sana berat : sampai dihukum mati. Apalagi di Amerika, karena sistemnya yang canggih, sehingga  orang bodoh seperti saya yang bisanya cuma menjilat-jilat sehingga begitu terhormat menjadi penjahat berkerah akan mudah terjerat.


Saya juga tidak ingin ah, merampok anggaran negara punya Singapura yang mesti banyak melindungi
koruptor-koruptor dari sini, tapi kalau ada warganya yang mencoleng maka tak ada ampun.

Saya sama sekali tak berfikir untuk berbuat jahat di Jepang. Gila, di sana orang harus rela bunuh diri jika terbukti menyelingkuhi rakyat. Hidup ini enak, mana rela saya mati demi rakyat yang mestinya mengabdi pada saya. Lagi pula, saya mencuri uang mereka bukan untuk mati, tapi untuk hidup. Jepang,...noway.

Saya juga yakin kalau  bermain-main dengan hasil pajak orang-orang Itali, akan bernasib seperti PM Italia Silvio Berlusconi yang "hanya" gara-gara melacur, dipukuli orang. Nasib koruptor mungkin bisa tragis seperti para mavioso-maviosonya.  Bisa-bisa dibunuh di pinggir jalan.  Padahal, bahaya bermain perempuan tidak ada apa-apanya dibandingkan mencuri uang rakyat.

Rasanya Indonesia adalah tempat paling cocok untuk mengeruk keuntungan dari tipu-tipu uang rakyat. Di sini, hukum masih mungkin dijungkir-balikan. Mafia hukum toh bisa membantu. Kasus bisa dibelok-belokkan agar tuduhan berbalik arah, kalau ada orang yang coba-coba menyudutkan saya. Pasang saja pasal "Pencemaran Nama Baik".

Oknum penegak hukum di sini sudah tak lagi tegak. Bukan terhadap korps mereka mengabdi, tapi pada saya, tentu saja bukan diri saya tapi uang saya. Uang adalah energi terbesar yang pernah diciptakan manusia. Ia bahkan bisa menggerakkan hati nurani yang begitu tersembunyi. Begitu besarnya energi uang, sampai-sampai seluruh negara ini bisa digoyang.

Meski bertenaga besar, cara bekerja uang begitu lembut. Keluarga tidak akan tahu, apalagi masyarakat. Tuhan saja bisa "dibohongi". Lihatlah berapa banyak sumpah di pengadilan itu dikumandangkan. Berapa banyak kitab suci diusung-usung di atas kepala. Tapi, usai itu ya maksiat lagi. Uang, memang energi luar biasa. Lembut sekaligus perkasa.

Saya sama sekali tidak pernah khawatir jika toh harus dijadikan terdakwa. Para saksi bisa diatur. Pasal-pasal tuduhan akan saya pilih sesuai keinginan, tentu yang meringankan. Apa bisa? bisalah, wong saya punya uang kok. Saya ini pendendam, jadi yang melaporkan saya akan saya jebloskan juga. Gimana caranya? kan sudah saya bilang saya ini koruptor, uang bukan masalah.

Satu-satunya musuh saya cuma media. Kalau bukan karena mereka, mungkin saya bisa hidup berlimang korupsi dengan nyaman. Agar hasil  curian tidak menguap, saya akan turunkan ilmu dan harta saya pada anak-anak turunan saya kelak. Tidak malu? alaaah, apa masih ada budaya malu di sini. Semua orang terlalu sibuk dengan diri sendiri. Lagi pula orang hanya bisa dihargai kalau kaya. Jangan pernah bermimpi orang akan membungkuk kalau kita masih kere.

Media, lagi-lagi media. Lewat beritanya mereka membentuk opini yang menyudutkan saya. Bagaimana menyingkirkan mereka? beberapa saya akui bisa disumpal dengan amplop, tapi itu minoritas. Kalau kasus sudah terlalu besar begini, tidak akan mempan. Kekuatan masyarakat sipil sudah makin membesar. Dorongan masyarakat ditambah pemberitaan media seperti ini saya akan sulit berkutik.

Para oknum akan juga sulit bergerak. Sial, mengapa harus ada media dan kekuatan masyarakat sih??

Tenang, tenang....saya harus tenang. Kalau saya akhirnya dipenjara, saya toh masih bisa mengendalikan bisnis dari dalam. Saya percaya tidak semua mental para penegak hukum itu baik. Pasti ada saja oknum yang masih silau uang saya. Kalau saya dipenjara, saya bisa membangun kamar sekelas hotel bintang lima. Ber-AC pasti. Ruang penerima tamu, meja kerja, tempat rapat, ruang santai yang ada tivi LCD, karaoke, akses telpon dan internet pribadi. Tempat tidur juga spring bed. Kalau saya butuh perempuan bisa lebih nyaman. Kalau pingin ke dokter, ke salon biar tetap jaga wibawa tinggal panggil dokter atau perias. Jika bosan di dalam penjara ke luar saja jalan-jalan, dengan alasan ke dokter, sakit. Pasti bisa asal ada fulus.

Saya juga perlu memulihkan citra. Maka akan saya bangun beberapa fasilitas di LP yang bisa membantu para napi lain mengembangkan bakat. Juga sedikit dana operasional untuk  LP  yang sering tersendat karena anggaran dari negara yang terbatas. Kalau sudah begitu, urusan saya pasti akan lancar. Malah bisa-bisa saya dapat remisi besar karena dianggap sudah berjasa. Saya yakin tidak akan lama dipenjara. Para koruptor sebelumnya juga begitu. Bergelimang kemewahan di dalam penjara. Selama ada uang tidak ada yang sengsara. Kalau bebas, saya bisa meneruskan kebiasaan saya, ya korupsi lagi. Ya, menjilat-jilat lagi. Kalau tertangkap lagi, ya nyogok lagi.

"Ayahhh,.....banguuuuun...anter aku sekolah," anak saya teriak persis  di kuping kiri, memulihkan kesadaran. Saya menghela kantuk, mengucap syukur terjaga dari mimpi buruk. Teramat buruk.  Astagfirullah...[]

Jakarta, 12 Januari 2010

Tidak ada komentar: