Selasa, 05 Januari 2010

Satu Malam di Nirwana

 Liburan Awal Tahun 2010 (bag 5-habis)

Roda saya arahkan menuju Subang. Kami benar-benar kapok melewati Bandung jika harus pulang ke Jakarta. Saat kami berangkat Jumat, rayapan kendaran bukan dari bawah saja. Tetapi dari atas menuju Bandung juga sama. Agar aman, kami memutuskan balik melalui Subang.

Laju kendaraan saya jaga betul. Memastikan kepala tetap bekerja nyaman, juga supaya motel atau tempat penginapan bisa terpantau. Hingga menjelang magrib, tidak satupun tempat yang cocok. Kalau ada pasti harganya selangit, seperti di Sindang Reret atau Hotel Sari Ater yang ratenya saja Rp 998 ribu ++. Yang murah juga banyak, tapi pasti tidak nyaman. Tahun lalu kami pernah menginap di sekitar Ciater. Kami dapat dari para calo pinggir jalan, yang selalu memampangkan papan "Villa" di tangan.

Kepala ini seperti retak. Pusingnya sulit lagi tertahankan. Saya harus segera istirahat. Apalagi Vito batuknya mulai nyeprus lagi setelah beberapa hari ini sempat terhenti. Doa saya terpenuhi. Satu kilo dari Sindang Reret, ada sebuah baliho besar bertuliskan Nirwana. Kami langsung belok kiri. Namun, kesan pertama sudah tak enak. Jalan yang terjal dan rusak berlubang. Gedung utama juga terlihat kusam, dengan rumput dan pohon yang dibiarkan tumbuh liar. Lahannya cukup luas. Ada tempat outbond, kolam pemancingan, ATV, restoran juga agrowisata. Tapi entah mengapa, dengan fasilitas begitu lengkap tamu terlihat sepi. Hanya ada beberapa mobil terparkir di tepian kolam pemancingan.

Dua bungalow bertema alam yang terbuat dari kayu berdiri di atas bukit.  Cuma, karena penataan taman yang kurang apik, justru terasa aneh dan kumuh. Agrowisata yang menjadi sajian utama resort ini  dibiarkan teronggok rusak. Ruang penginapan pribadi memang tak banyak, paling-paling lima kamar. Selebihnya adalah barak besar yang bisa menampung tamu hingga 200 orang. Kelebihan kamar di tempat ini adalah dua tempat tidur ranjang tunggal berukuran 180x200. Cukup untuk dua keluarga. Air panasnya cukup mencos, berbeda dengan Villa De' Rossa yang airnya seemprit dan panas yang tak konsisten. Harganya Rp 400 ribu permalam. Kalau hari biasa malah cuma Rp 288 ribu. Kami memilih tempat ini cuma karena satu alasan : bisa pakai kartu kredit.

Menjelang isya, pusing ini makin menjadi. Kami tidak melancong kemana-mana. Keluar sebentar cari ganjalan perut. Dalam kondisi "tertekan" seperti ini, agak sulit berburu tempat makanan. Hanya ada warung besar, lagi-lagi bermerek Brebes. Kami sebenarnya ogah, tapi karena tuntutan kondisi, akhirnya mampir juga. Benar saja, rasa yang disajikan jauh dari enak. Sayur asem yang lebih cocok dibilang sayur manis. Ayam bakar kelewat gosong. Dan juga nasi tembil lengkap yang tak sesuai dengan harga yang dibandrol Rp 30 ribu hanya untuk sepaha goreng ayam, tahu-tempe dan jambal asin sebesar jempol. Kami kecewa berat karena malam itu harus mengeluarkan makan malam Rp 81 ribu untuk rasa yang justru menganggu lidah dan selera. Saya heran mengapa tempat ini bisa begitu ramai.

Sampai di hotel saya  minum Panadol dan langsung menubruk kasur. Tarik selimut dan peluk guling. Dingin udara Lembang malam itu terasa lebih ganas. Sampai-sampai kepala pun ditutupi batal dan selimut. Tak ada kegiatan malam itu...Vito dan istri juga kelihatannya lelap terlalu awal dari biasanya.

***

Saya bangun lebih pagi dari mereka. Badan jauh terasa lebih bugar. Penyakit kepala yang menyerang kemarin sudah benar-benar hilang. Rasa sakit yang menusuk, cukup bisa diobati dengan istirahat total. Mungkin masuk angin karena kelelahan. Tahun baru pada Kamis malam,  kami rayakan hanya di rumah dengan keluarga dari Pondok Gede. Setelah berkelililing sebentar di sekitar Cibubur, kami balik, membuat keramaian sendiri hingga hampir pukul 2 dini hari. Besoknya harus berangkat ke Bandung.

Kami memutuskan untuk tidak berlama di Nirwana. Ini hari minggu, jadi jangan sampai besoknya kelelahan karena harus masuk kantor. Apalagi ini adalah arus balik, banyak  wislok yang pulang ke Jakarta dan sekitarnya. Sebelumnya kami ingin terlebih dulu menghilangkan pegal-pegal,  merendam badan di Ciater. Walau check out dari Nirwana sudah terbilang pagi, sampai di Ciater sudah sesak. Manusia terlihat memenuhi tiap sudut lapangan. Tepian kali air hangat itu sudah dijejali orang yang berkecupak, mandi dengan pakaian seadanya. Untuk bergerak saja sulit, apalagi nyemplung ke kali. Tempat bilasan lebih rusuh lagi. Antrian mengular dan sulit diatur.

Tempat yang paling baik barangkali kolam berbayar. Paling tidak, bisa berendam lebih nyaman dan tempat bilasan juga pasti bersih. Tiket masuk untuk kolam kelas dua yang kami masuki Rp 20 ribu per orang. Cukup sepi dan bersih. Saya baca seksama petunjuk perendaman. Sebab, ada peringatan keras bagi orang yang berpenyakit darah tinggi, diabetes, jantung dan manula. Juga terhadap ibu hamil. Bagi kategori ini air hangat  yang bersuhu 45 derajat dengan tingkat keasaman 2,5 tidak mudah bisa diterima. Kalau dipaksakan maka muncul gejala mual, pusing, lemas sebelum akhirnya pingsan.

Saya sembilan bulan lalu memang telah divonis kena diabetes. Tapi sejak lima bulan alhamdulillah sudah lepas obat dan terapi olahrga juga makanan. Jadi mestinya tidak masalah untuk berendam. Dugaan saya salah. Baru berendam lima belas menit badan sudah melayang. Merasakan gejala aneh ini saya segera berhenti dan istirahat sambil minum teh panas pahit. Saya sampai sekarang masih bingung mengapa ini terjadi padahal rendaham hanya separuh perut, selebihnya saya guyur dengan gayung yang disediakan.

Kami pun tidak berlama di pemandian, karena istri saya yang begitu menikmati air hangat alamai itu juga tidak bisa berlama karena sedang mengandung. Lepas Dhuhur kami balik ke Jakarta. Kondisi jalan relatif lancar tapi harus diakui memang lebih jauh. Kami tak sempat membeli oleh-oleh kecuali manggis tiga renteng masing-masing isi 10 biji seharga Rp 20 ribu dan rambutan empat ikat Rp 10 ribu.

Magrib masih terkejar ketika kami memasuki gerbang Villa Nusa Indah III, tempat kediaman kami. Liburan panjang ini benar-benar memberikan nuansa lain. Menyenangkan sekaligus memberikan banyak pengalaman. Semoga liburan berikutnya masih bisa diberikan kesempatan dan rezeki untuk melancong lagi, bersama Andriani istri tercinta, Vito anak saya yang selalu membu semangat. Syukur-syukur bisa membawa keluarga lebih besar lagi. Tentu lebih seru dan asyik.[]

Lembang-Bojong Kulur-Gelora : 04-06 : 01 : 2010

Tidak ada komentar: