Rabu, 20 Januari 2010

Sepupu Tua

Perasaan ini berangkat dengan begitu gelisah. SMS kakak keempat saya mengabarkan, mas sepupu saya saat ini tergolek kritis di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Kami diminta menjenguk, khawatir umurnya tak sampai ketika keluarga Jakarta belum melihat kondisi terakhir.

Karena kesibukan-sebuah alasan klasik- Jumat lalu kami sempatkan berangkat ke Bandung. Ia termasuk orang sukses di lingkungan keluarga besar dari garis bapak. Bapaknya adalah kakak tertua dari bapak saya. Puncak kesuksesannya ketika ia dipercaya menjadi Direktur Operasional Pos dan Giro. Sebelumnya, berbagai jabatan penting di Posgiro pernah dipegangnya.

Ia sangat sederhana, taat ibadah dan peduli dengan keluarga, termasuk pada Pak’le-nya yang tak lain adalah bapak saya. Umur kami sangat jauh dibandingkan dengan mas saya itu. Saat ini ia sudah menginjak 76 tahun. Dengan bapak saya juga terpaut sedikit. Barangkali ketika mbah putri saya hamil berbarengan dengan istri Pak’de tertua saya itu. Makanya, mas saya di Bandung jarang memanggil Le’ pada bapak saya. Mungkin rikuh. Ia sering menjeluknya Pak Musimin.

Bapak terbilang kurang beruntung. Dengan delapan anak, kerja bapak serabutan. Ibu pernah cerita, ketika ia mengandung saya, bapak sedang tidak bekerja. Posisi terakhirnya adalah pegawai di PPTI, sebuah LSM yang mengurusi penyakit tuberkolusa di Indonesia. Dengan gaji sangat minim, bapak dipaksa menyekolahkan delapan anak, dan menyuapi sembilan mulut yang makannya sulit diukur.

Rumah kami begitu sederhana. Lantai masih dipelur berwarna abu-abu . Bahkan, beberapa dinding menggunakan gedek. Kamar pun cuma tiga. Terlalu sumpek dan sempit untuk enam bocah laki-laki yang doyan berlarian. Kondisi ini berjalan cukup lama. Karena tak mampu membangun kamar lagi, bapak memasang kamar darurat di loteng. Kami harus berjibaku dengan kucing dan sesekali tikus yang berseliweran di sudut dipan dari papan bekas.

Dalam tekanan kesederhanaan seperti itu, memaksa mbak perempuan saya bekerja agar ada tongkat estafet berganti . Ibu memang bekerja di pasar, tapi jelas belum memberikan andil apa-apa bagi keperluan pendidikan yang ketika itu sudah mahal. Nah, berkat lobi bapak dan ibu pada mas sepupu saya itu, akhirnya mbak saya berhasil diterima di Posgiro. Mungkin mas sepupu saya  tidak tega juga melihat Le’-nya hidup dalam kekurangan.

Dari sana, kehidupan kami berjalan agak membaik. Beberapa keperluan sekolah tujuh adiknya bisa dibiayai sebagian oleh mbak saya. Mas kedua saya bisa kuliah di APP. Begitu juga dengan mas ketiga yang kuliah di UMS. Tapi biaya dua adiknya yang kuliah terlalu berat untuk ditanggung sendirian. Bapak pun kemudian meminta bantuan lagi pada mas sepupu saya. Kali ini, bapaka dan ibu tidak meminta mas keempat saya bekerja, tetapi agar bisa diterima di diklat Pos. Sama seperti dua mas saya sebelumnya : bisa merasakan gengsinya sebagai mahasiswa.

Beruntung, mas saya bisa diterima dengan nilai cukup memuaskan. Dan, kelak, ia bisa dibanggakan. Prestasinya di kantor terbilang cermerlang, bahkan dibandingkan dengan anak mas sepupu saya sendiri  yang juga bekerja di Posgiro. Karena di asrama, bapak dan ibu tidak lagi memikirkan biaya kuliah. Malah, ia mendapatkan uang saku.

Rupanya tekanan hidup belum juga reda. Meski bebas ongkos kuliah, tapi mbak kelima saya juga harus mendapatkan pekerjaan, karena baru saja lulus SMA. Entah mengapa, bapak-ibu lebih mementingkan anaknya yang laki-laki untuk kuliah. Mungkin karena akan memikul tanggung-jawab terhadap keluarganya nanti.

Lagi-lagi, bapak dan ibu meminta agar mbak saya yang baru lulus SMA itu bisa dibantu. Beruntung, karena kecerdasan dan keuletannya, ia bisa masuk sebagai pegawai tanpa bantuan berarti. Tiga laki-laki lainnya akhirnya bisa kuliah dengan biaya estafet dari mbak-mbak dan mas-mas saya itu. Tentu tak lepas dari peran mas sepupu saya di Bandung itu.

***

Iba saya tak tertahankan ketika mendapati mas sepupu saya yang semula gagah, selalu rapi dan bicara tegas, tiba-tiba menyerah di pembaringan. Wajahnya tirus. Matanya dalam. Tulang pipinya maju hampir-hampir mengalahkan batang hidungnya yang tegak lurus dengan bibirnya yang mengering. Kerut-kerut sekujur tubuhnya melatari  urat-urat hitam yang menyembul saling-silang di tangan, leher, dahi dan kening.

Ia memang masih sadar, meski penyakitnya sudah begitu kronis. Organ-organ penting seperti paru, ginjal dan jantung bekerja di bawah seharusnya. Matanya kosong menatap arah tak jelas. Bukan terhadap tamu tapi  pada langit-langit seolah menatap “masa depan”.

Giginya mengintip dari celah bibir yang retak-retak  ketika menginginkan sesuatu. Jari-jari itu bergerak naik turun di atas bantal yang menopang, menandadakan sebuah hasrat. Gumaman yang keluar dari tenggorokannya yang kerempeng begitu  terbata hingga sulit dimengerti. Bahasa verbal harus berbentuk pertanyaan. Ia akan menggeleng lemah jika tidak, dan mengangguk pelan jika ya.

Tiba-tiba saja air mengalir dari sudut mata saya. Batang leher ini mengeras menahan suara sendat. Sesenggukan saya batasi sampai di dada yang mendadak penuh. Saya sungguh tak tega melihat kondisinya yang begitu kepayahan menahan sakit. Hebatnya,  ia tetap mengenali saya dan mbak-mbak dan mas saya yang diperkenalkan dengan berbisik.

Yang lebih mengagetkan, ia menunjuk-nunjuk saya meminta mendekat hanya untuk menanyakan apakah saya membawa kendaraan sendiri. Saya sampai kini heran mengapa begitu dikenalnya. Padahal, sebagai anak bontot frekuensi pertemuannya sangat minim. Jauh dibandingkan dengan mas dan mbak-mbak saya. Saya juga tidak mengerti mengapa rasa sayang terhadapnya begitu menggebu, justru di saat ia terbaring di kesendiriannya.

Hingg lewat Magrib kami masih di sana. Anaknya meminta kami bertahan karena sebuah kabar yang menyentak. Dokter memperkirakan hanya sampai malam, kakak sepupu saya bisa bertahan. Maka, seluruh anaknya dipanggili, tanpa kecuali. Tekanan darahnya secara mendadak drop ke angka 80/60. Oksigen yang sejak awal menemaninya bernafas sulit diajak masuk ke paru-paru. Infus yang tertancap di pergelangan kirinya seperti digrojok. Hanya dalam setengah jam sudah empat botol ludes. Matanya menutup separuh dengan bola mata yang memutih. Keadaan begitu genting.

Ponakan  yang umurnya jauh di atas saya, sulit membendung tangis. Dua gepok tisu yang saya beli sebelumnya, salah satunya sudah tinggal separuh, habis untuk menyeka air kesedihan. Saya pun larut di dalamnya. Untaian doa dan lantunan ayat-ayat berkumandang dari dalam kamar  yang sesak. Para kerabat, semua tertunduk sambil mengangkat tangan sebatas perut. Ada juga sampai di atas dada. Begitu syahdu. Tegang. Terlebih ketika sang Ustad mendekat, membisikkan kalimat syahadat.

Kami pun  bersiap-siap dengan segala kemungkinan. Setidaknya begitulah sikap kami semua, merujuk pada informasi yang diberikan dokter bahwa mas sepupu saya  sulit bertahan hingga pagi.

Manusia memang makhluk kecil dengan ilmu yang secuil. Semua prediksi dokter terbantahkan. Dalam hitungan menit tiba-tiba tekanan darah mas sepupu saya  melonjak naik ke posisi normal. Kami tentu senang bercampur kaget. Ia bisa tersenyum dan mengenali satu-satu orang yang mengerumuninya di tepian tempat tidur. Kami semua lega meski rasa kekhawatiran ini tetap saja sulit dihapuskan.

Kami serombongan dari Jakarta pun pamit. Kami menciumi pipi dan tangannya. Ia mengangguk. Air mata merembes dari sudut kiri matanya. Ia bahagia masih bisa dijenguk. Hingga cerita ini dibuat, alhamdulillah mas sepupu tua kami masih bisa bertahan. Tegar dan bersemangat  seperti pernah saya mengenalnya dulu. []

Bojong Kulur, 19 Januari 2010

Tidak ada komentar: