Kamis, 07 Januari 2010

Berhati-hati Dahulu, Sesal Kemudian

Angka inflasi sepanjang 2009 mencatatkan rekor baik. Selama setahun ini tekanan harga-harga dalam keranjang indeks bisa menyentuh level rendah di 2,78 persen, jauh di bawah pekiraan pemerintah. Pencapaian ini tentu saja sia-sia jika langkah kebijakan berikutnya tidak diikuti. Inflasi yang melandai ini sejatinya merupakan sinyal ekonomi yang memulih. Salah tafsir justru membuatnya berbalik arah.

Barangkali ini pula yang membuat kita  bertanya mengapa Bank Indonesia mempertahankan BI Rate berada di level 6,5 persen. Karena kalau dilihat dari apa yang dicapai itu, mestinya peluang menurunkan bunga acuan  sangat terbuka. Nyatanya hal itu urung dilakukan.  Padahal, momentum untuk menurunkan bunga saat ini sangat pas di tengah situasi inflasi yang sudah terkendali.

Paling tidak, suku bunga seharusna bisa ditekan lagi di tingkatan 6,25 persen. Dengan begitu bank bisa mengikuti langkah BI  dengan mengerek turun bunga kreditnya. Kita bisa menduga kebijakan BI Rate yang tetap itu karena masih relevan untuk mengejar inflasi sepanjang 2010 di kisaran 5 persen plus minus 1 persen. Namun pertanyaannya, apakah ini merupakan sinyal bahwa inflasi ke depan akan tinggi?
Bisa saja demikian, sebab BI Rate bisa dibaca sebagai ekspektasi inflasi.


Dengan begitu justru bank akan menahan bunganya kembali. Jika memang begitu, pertanyaan selanjutnya apakah BI Rate 6,5 persen sejalan dengan upaya BI sendiri yang menginginkan agar bunga kredit bisa digenjot ke arah 15-20 persen, sebuah angka yang cukup diandalkan guna merangsang sektor riil bergerak.

Yang mengkhawatirkan saat ini, bank sendiri tersandera oleh tingkah debitur yang menahan langkah untuk mengajukan atau menarik kredit baru. Bayangkan, tahun lalu saja kredit yang tak ditarik alias undisbursed loan  mencapai Rp 270-280 trilyun!!

Tentu saja banyak penyebabnya. Bisa karena situasi yang belum menentu atau bunga kredit yang masih dianggap terlalu tinggi karena berada di kisaran 13-15 persen. Memang, BI tengah mempersiapkan sejumlah jurus agar bank bisa mendongkrak kreditnya. Sejauh ini, kebijakan itu masih digodok di dapur BI.
Salah satunya adalah penerapan insentif dan disinsentif terhadap Giro Wajib Minimum (GWM). Kebijakan ini pernah diterapkan, tetapi dihapus dua tahun lalu. Nantinya, bank dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) atau rasio kredit terhadap dana tinggi akan dikenakan GWM yang rendah. Juga sebaliknya. Bank akan lebih senang dikenakan GWM rendah, karena dengan begitu akan banyak dana yang bisa diputar untuk mencari keuntungan ketimbang harus dieramkan di BI.

Namun, pertanyaan pentingnya tetap berada di tingkat debitur. Kalau mereka merasa bunga kredit yang ditawarkan terlalu tinggi, mengapa tidak langsung menyasar saja ke inti persoalan. Bank harus dipaksa agar bisa kembali menurunkan bunga kreditnya. Sebab, kalau dibiarkan melemah tentu saja sasaran ekonomi menjadi taruhannya. Saat ini pertumbuhan kredit hanya 10,6 persen, jauh dari pencapain tahun 2008 yang mencapai 30 persen. Toh, BI Rate sebenarnya masih memiliki pelung untuk turun. Kalau memang khawatir, terapkan kebijakan ini paling tidak untuk triwulan I 2010. Sebagai sinyal awal kondisi memang sedang membaik. Yang ditakutkan kita akan kehilangan momentum, dan menyesal di kemudian hari.

Lebih jauh lagi, apa yang dikhawatirkan soal membanjirnya produk China ke dalam negeri setelah diberlakukannya AFTA Asean-China bisa makin menjadi. Kok bisa? begini dengan bunga yang seperti ini, peluang terjadinya hot money makin tinggi. Padahal, saat ini nilai tukar rupiah sudah dianggap over value. Kalau hot money kian memblduk rupiah akan makin menguat.

Importir seperti diberi insentif karena belanja barang tentu lebih murah. Maka, industri dalam negeri makin merana dan makin sulit bersaing dengan produk-produk dari China. Dari kacamata konsumen tentu lain. Mereka akan senang-senang saja mendapat dana barang murah. Tapi dalam jangka panjang, produk dalam negeri makin hancur dan bakal terjadi deindustrialisasi. Jutaan orang akan kehilangan pekerjaan. Kalau sudah begitu, apakah tingkat kemiskinan tidak bertambah naik.


Bisa-bisa Indonesia hanya akan menjadi ladang pasar, yang terjajah tanpa bisa mengembangkan hasil karya bangsanya sendiri.  []


Bojong Kulur, 7 Januari 2009

Tidak ada komentar: