Senin, 04 Januari 2010

Bandung Tumpah

Liburan Awal Tahun 2010 (bag 1)

Kami memutuskannya tak sampai tiga hari. Memang, terlalu minim untuk sebuah perjalanan liburan yang membutuhkan persiapan. Bukan saja soal uang tetapi kepadatan lokasi tujuan berikut akomodasinya. Bandung, sebuah kota gemerlap wisata belanja dan kuliner. Kota ini menjadi mainstream bagi siapa saja yang ingin menuntaskan uang dan waktu bersama keluarga dan kerabat.

Saya bersama istri dan tentu saja anak sungguh menghindari kota ini karena alasan klasik : macet dan terlalu sibuk dengan factory outlet serta orang yang gemar berburu makanan yang sebenarnya banyak juga ditemui di Jakarta sini. Tapi, kebetulan ada kerabat yang bisa dikunjungi, maka Bandung terpaksa harus juga disinggahi. Bukan untuk bermalam, namun sekedar lewat.

Kepadatan mulai terasa ketika memasuki Sadang. Tepat sholat Jumat, kerumunan orang mengantri di depan tempat Wudhu, begitu juga toilet di SPBU KM 72 yang belum lama dibuka. Saya curiga jalanan bakal macet kelak saat keluar pintu tol Pasteur. Sebab, kalau bukan ke Kota Kembang, kemana lagi dong  orang-orang ini mengarah? Untuk mengurangi ketegangan saya mencicipi Soto Sadang yang kesohor itu. Enak sih, tapi harganya itu lho,....

1 Januari saya pikir waktu paling pas untuk berpergian. Logikanya orang sudah kelelahan menghabiskan tahun baru hingga menjelang pagi. Tentu tak ada lagi energi tersisa untuk jalan-jalan besoknya. Namun, dugaaan saya keliru. Sejak berangkat pagi, mobil sudah jejal-berjejal di pintu-pintu masuk tol. Aneh juga, rupanya stamina manusia-manusia Jakarta cukup kuat ya untuk urusan senang-senang.


Memasuki Bandung tepat pukul 13.55. Kepadatan sudah terasa tetapi mobil masih bisa melaju wajar. Saya membelokan stir ke kiri, menuju Lembang tepat di persimpangan flyover Pasopati. Perjuangan pun dimulai, kendaran langsung mengular hingga ratusan meter. Ada Paris Van Java di sebelah kiri sebagai biang kemacetan. Seliweran mobil yang keluar masuk makin membuat kisruh. Mal raksasa itu bahkan mengambil separuh badan jalan khusus untuk tamu-tamunya. Egois betul.

Rupanya mal yang tergolong baru itu bukan satu-satunya biang kemacetan. Di sepanjang jalan berikutnya, berderet-deret FO, resto dan warung makan, persimpangan, pengkolan yang diisi kaki lima, sembarangan orang memarkir mobil sampai bis mogok seolah  bersekutu, bersekongkol ingin membuat Bandung tumplek. Polantas, arah jalan, rambu-rambu tak lagi digubris. Semua egois demi sebuah kesenangan. Sama sekali tak ada urusan mendesak di sini. Namun, mengapa orang terlihat bergitu bergegas seperti kekurangan waktu. Sampai-sampai, moncong mobil saya nyaris beradu dengan sedan Ford hijau tepat di persimpangan jalan Sukajadi. Untung tidak sampai berselisih paham. Mungkin sama-sama menyadari beradu mulut hanya membuat masalah bertambah panjang.

Sudah satu seperempat jam saya merayap di sepanjang jalan Sukajadi-pecahan Setiabudi. Sebuah bus Damri terparkir melintang dengan ranting pohon di pantatnya, memandakan sedang rusak. Saya lega karena pasti lepas itu akan lancar. Nyata tidak juga. Persis ditikungan tajam  tiba-tiba mobil di depan saya ngerem mendadak, rupanya mobil depannya juga begitu.  Sebuah Kijang Super merah  tak kuat lagi diajak nanjak. "Beruntung" saya hanya tiga mobil dibelakangnya jadi tidak sampai merasakan kemacetan karena masih sempat ambil kanan dan melaju.


Tapi, seratus meter dari situ, mobil kembali harus tarik rem tangan. Tanjakan tajam seperti ini bila menahan dengan setengah kopling bisa hangus dan urusannya repot. Tak jauh dari situ memang ada tempat wisata Rumah Sosis yang diserbu pelancong dari Jakarta. Padahal, tawaran yang diberikan juga sama : flying fox, berkuda, sepeda air, arena bermain yang hitungannya perjam. Menunya meski spesialis sosis, tapi rasanya juga sama saja. Saya pernah sekali ke sana dan sama sekali tak tertantang untuk kembali.

Jangan mengira perjalanan akan mulus setelah Rumah Sosis. Kemacetan sudah mewabah hingga sepanjang jalan raya Lembang. Mobil hanya maju 50 meter, kemudian berhenti 15 menit. Kadang hanya maju 10 meter berhenti 20 menit. Begitu berulang-ulang dengan jarak dan intensitas berhenti yang berbeda-beda. Bukan saja fisik tetapi juga mental. Apalagi, kemacetan di tanjakan seperti itu butuh stamina dan konsentrasi. Jujur, bukan perkara mudah menghadapi kemacetan di tanjakan.

Kerapatan kendaraan belum juga mereda, hingga dua kilo dari tempat saya menginap di Villa De' Rossa. Bahkan, makin menjadi di tukungan Brebes-disebut demikian karena di sana berjejer warung bermerek Brebes-terus hingga ke persimpangan  Subang-Maribaya-Bandung. Saya memilih lurus arah Maribaya karena hanya 500 dari situ, Villa De' Rossa berada.

Magrib hanya kurang lima menit lagi, ketika saya memasuki sebuah kamar berornamen klasik. Dinding bata yang hanya dicat putih, lantai kamar mandi yang berbatu, perabot serba kayu, serta tanpa AC. Dinginnya kalah jauh dari suhu paling minim di mesin pendingin sekalipun.

Saya merebahkan badan sebentar, sholat Magrib dan bersiap makan malam....(bersambung)

Tidak ada komentar: